UE dan Jepang Perkuat Aliansi di Tengah Ketegangan Global

- UE dan Jepang bentuk aliansi untuk perdagangan dan inovasi, fokus pada rantai pasok, kelebihan kapasitas, dan praktik dagang yang dianggap tidak adil
- Tarif AS dan ekspor China picu respons dari Jepang dan UE, dengan Jepang mencapai kesepakatan baru soal tarif dengan AS
Jakarta, IDN Times – Uni Eropa (UE) dan Jepang sepakat memperkuat kerja sama ekonomi dan strategis dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-30 yang digelar di Tokyo pada Rabu (23/7/2025). Keduanya menyoroti pentingnya menghadapi pemaksaan ekonomi di tengah ketegangan global yang melibatkan China dan Amerika Serikat (AS).
Fokus utama kolaborasi ini mencakup rantai pasok, kelebihan kapasitas, dan praktik dagang yang dianggap tidak adil. Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyampaikan perlunya solidaritas dalam situasi global yang berubah cepat.
“Dunia berubah dengan cepat. Bagi mitra strategis seperti kami, ini berarti menjadi lebih dekat untuk menghadapi realitas zaman kami,” katanya setelah KTT, dikutip dari Euro News.
1. UE dan Jepang bentuk aliansi untuk perdagangan dan inovasi
Dilansir dari Kyodo News, Presiden Komisi Ursula von der Leyen, Presiden Dewan Eropa António Costa, dan Perdana Menteri Jepang Shigeru Ishiba meluncurkan inisiatif baru bernama Aliansi Daya Saing Jepang–UE. Tujuan utamanya untuk memperkuat keamanan ekonomi, mendorong pertumbuhan industri, serta memperluas kerja sama di sektor energi dan inovasi. Langkah ini disebut krusial untuk menghadapi berbagai tantangan ekonomi bersama.
Kedua pihak juga bertekad mempercepat implementasi perjanjian dagang yang diteken sejak 2019. Dalam kerja sama itu, perusahaan-perusahaan UE setiap tahun mengekspor barang senilai hampir 70 miliar euro dan jasa sebesar 28 miliar euro ke Jepang. Perdagangan bilateral antara kedua ekonomi ini pun tumbuh 20 persen sejak perjanjian berlaku.
Von der Leyen menyatakan komitmennya untuk memperluas ruang lingkup kerja sama di berbagai bidang. Ia menyebut pengadaan pemerintah dan standar sanitasi sebagai fokus utama dalam tahap selanjutnya. Di sisi lain, Jepang dan UE menyatakan dukungan terhadap sistem perdagangan internasional yang berbasis aturan, dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai landasannya.
Keduanya juga sepakat memperluas Dialog Ekonomi Tingkat Tinggi Jepang–UE yang akan digelar di level menteri. Forum ini akan difokuskan untuk menyelaraskan strategi dan memperkuat rantai pasok bahan baku penting. Keputusan itu diambil sebagai respons atas kebijakan pembatasan ekspor China terhadap mineral seperti logam tanah jarang.
2. Tarif AS dan ekspor China picu respons dari Jepang dan UE

Sehari sebelum KTT digelar, Jepang mencapai kesepakatan baru soal tarif dengan Amerika Serikat (AS). Presiden AS, Donald Trump,mengumumkan tarif impor produk Jepang ke AS ditetapkan sebesar 15 persen, turun dari rencana sebelumnya yang mencapai 25 persen. Perjanjian ini memberi ruang lebih besar bagi Jepang untuk menjaga stabilitas ekspornya.
Sementara itu, UE belum mendapatkan kesepakatan tarif baru dan kini menghadapi beban tarif tinggi dari AS. Produk baja dan aluminium dikenai tarif sebesar 50 persen, kendaraan bermotor 25 persen, dan seluruh jenis impor lainnya dikenai tarif 10 persen. Langkah sepihak ini memperburuk hubungan perdagangan antara AS dan UE.
Sebelum KTT berlangsung, Costa dan von der Leyen sempat mengunjungi lokasi Pameran Dunia di Osaka pada Selasa (22/7). Mereka dijadwalkan terbang ke Beijing untuk bertemu Presiden China, Xi Jinping, pada Kamis (24/7), dan membahas ketegangan perdagangan. Agenda pembicaraan mencakup isu kendaraan listrik, produk susu, daging babi, dan minuman keras.
3. UE dan Jepang sepakat tingkatkan kerja sama keamanan dan pertahanan
Selain isu ekonomi, KTT juga menghasilkan kesepakatan untuk memperkuat kerja sama di bidang keamanan antara Jepang dan Uni Eropa. Kedua pihak sepakat mengadakan Dialog Industri Pertahananpertama pada 2026 dan memulai negosiasi perjanjian pertukaran informasi keamanan. Tujuannya adalah mendukung berbagi data rahasia guna merespons tantangan di Eropa maupun kawasan Indo-Pasifik.
Jepang dan UE juga menyampaikan keprihatinan terhadap situasi di Laut Tiongkok Timur dan Selatan. Mereka menolak segala bentuk tindakan sepihak yang mencoba mengubah status quo melalui kekerasan atau tekanan, sebagai respons halus terhadap kebijakan China. Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan atas meningkatnya ketegangan militer di kawasan tersebut.
Kedua pihak turut mengutuk invasi Rusia terhadap Ukraina dan menyatakan komitmen untuk menjatuhkan sanksi tambahan. Mereka juga menyatakan akan terus memantau upaya penghindaran sanksi serta mengecam kerja sama militer antara Rusia dan Korea Utara. Seluruh langkah ini dianggap penting untuk menjaga stabilitas dan keamanan global.