Ilustrasi UMKM. (IDN Times/Aditya Pratama)
Menurut Pasal 56 ayat (3), untuk memenuhi syarat fasilitas PPh final 0 persen, pelaku usaha harus memenuhi kriteria tertentu, antara lain memiliki tempat usaha atau cabang di wilayah Ibu Kota Nusantara, melakukan kegiatan usaha di sana, dan terdaftar sebagai wajib pajak di kantor pajak yang mencakup wilayah tersebut.
Selain itu, mereka juga harus telah melakukan penanaman modal di IKN dan memperoleh kualifikasi UMKM yang diterbitkan oleh instansi berwenang. Permohonan untuk memanfaatkan fasilitas tersebut harus diajukan paling lambat dalam waktu tiga bulan sejak penanaman modal dilakukan.
Dalam ayat (4), untuk wajib pajak yang memiliki lebih dari satu tempat usaha atau cabang di wilayah IKN, batasan nilai penanaman modal dan peredaran bruto usaha ditentukan berdasarkan total dari semua lokasi usaha atau cabang yang dimiliki.
Fasilitas PPh final 0 persen, dijelaskan dalam ayat (5) diberlakukan sejak persetujuan pemberian fasilitas hingga 2035.
Selain itu, ada persyaratan administratif yang harus dipenuhi. Menurut ketentuan yang tertera dalam ayat (7), wajib pajak harus menyelenggarakan pembukuan secara terpisah bagi yang diwajibkan menyelenggarakan pembukuan.
Sedangkan bagi yang tidak diwajibkan menyelenggarakan pembukuan, mereka diharuskan melakukan pencatatan secara terpisah antara penghasilan yang mendapatkan fasilitas PPh final dan penghasilan yang tidak mendapat fasilitas tersebut.
Selain itu, dalam ayat (8), dalam situasi di mana terdapat biaya bersama yang tidak bisa dipisahkan dalam perhitungan penghasilan kena pajak bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan yang mendapat fasilitas PPh final dan yang tidak, pembebanannya akan dialokasikan secara proporsional.
Menurut ayat (9), peraturan tersebut merinci tata cara pengajuan permohonan, penerbitan, pembatalan atau pencabutan surat persetujuan, dan pelaporan terkait dengan PPh final 0 persen atas penghasilan dari peredaran bruto usaha tertentu pada UMKM.