Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
BPJS Ketenagakerjaan (IDN Times/Hana Adi Perdana)
BPJS Ketenagakerjaan (IDN Times/Hana Adi Perdana)

Jakarta, IDN Times - Pakar ekonomi keuangan sekaligus Profesor Keuangan Investasi, IPMI International Business School, Roy Sembel, menanggapi kasus penurunan nilai investasi (unrealized loss) yang menimpa BPJS Ketenagakerjaan atau BPJAMSOSTEK.

Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) RI melakukan penyidikan terhadap BPJS Ketenagakerjaan perihal dugaan perkara tindak pidana korupsi pada pengelolaan keuangan dan dana investasi. 

Pada Agustus hingga September 2020, BPJS Ketenagakerjaan mengalami unrealized loss mencapai Rp43 triliun. Selanjutnya pada akhir Desember 2020 menurun jadi Rp 22,31 triliun,  dan pada Januari 2021 unrealized loss sebesar Rp 14,42 triliun.

1. Dampak fluktuasi pasar modal

Default Image IDN

Menurut Roy, unrealized loss BPJAMSOSTEK merupakan kondisi penurunan nilai aset investasi saham atau reksa dana sebagai dampak dari fluktuasi pasar modal, terlebih jika melihat krisis pandemik COVID-19 dan resesi ekonomi. 

Menurutnya, saat IHSG berada di level 5.979 pada 31 Desember 2020 unrealized loss mencapai Rp22,308 triliun, tapi ketika IHSG di level 6.429 unrealized loss-nya menurun menjadi Rp14,417 triliun atau 2.91 persen dari total portofolio Rp495 triliun yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN. 

“Bukan tak mungkin, ketika IHSG di level 7.000, bukan unrealized loss, tapi bisa berbalik arah menjadi unrealized gain. Naik turunnya potential loss itu sangat tergantung dari pergerakan IHSG. Ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham,” kata Roy Sembel.

2. Berbeda dengan kasus Jiwasraya

Jajaran pimpinan BPJAMSOSTEK meninjau layanan Lapak Asik di Kantor BPJAMSOSTEK Cabang Semarang Pemuda (Dok. BPJAMSOSTEK Wilayah Jateng dan DIY)

Menurut Roy, unrealized loss BPJS Ketenagakerjaan tidak bisa disamakan dengan kasus PT Jiwasraya (Persero). Ia juga menjelaskan bahwa kasus tersebut terkesan dipaksakan karena berdasarkan kajiannya, proses investasi portofolio BPJS TK sudah prudent dan sesuai kaidah-kaidah investasi. 

“Kerugian ini terkesan dipaksakan seolah sama dengan kasus Jiwasraya yang menghebohkan beberapa waktu sebelumnya. Alokasi aset telah memperhatikan aspek pengelolaan resiko yang relatif baik,” jelasnya dalam keterangan tertulis Jumat (12/3/2021).

Lebih lanjut Roy merincikan, dari sisi alokasi aset porsi saham dan reksa dana di Jiwasraya lebih dari 91 persen pada 31 Desember 2019. Sementara di BPJAMSOSTEK pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56 persen untuk porsi saham dan reksa dana. Dari data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di antara keduanya. 

“Jelas hal ini berbeda, meski tampak sama. Banyak perbedaan riil antara kerugian Jiwasraya yang sudah realized loss dengan unrealized loss di BPJAMSOSTEK. Hal yang mendasar terjadi, seperti persyaratan pemilihan manajer investasi. Di BPJAMSOSTEK sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar,” imbuh dia.

3. Bisa pulih kembali seiring dinamika pasar modal

Default Image IDN

Roy Sembel juga mengatakan bahwa BPJAMSOSTEK dengan dana kelolaan mencapai Rp484,38 triliun merupakan investor institusional dalam negeri yang dapat berperan dalam peningkatan pendalaman pasar finansial di Indonesia. 

Menurutnya, unrealized loss yang dialami masih dianggap wajar dan merupakan bagian dari  risiko investasi saham di pasar modal, dan bisa recovery kembali seiring dengan dinamika pasar modal. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa berbalik menjadi unrealized gain atau profit

“Jadi, kerugian portofolio saham BPJAMSOSTEK masih di atas kertas yang wajar sebagai risiko investasi, dan bisa kembali untung sejalan dengan membaiknya ekonomi setelah pandemik COVID-19. Unrealized loss ini tidak logis jika dikategorikan sebagai kerugian hasil manipulasi yang berpotensi pidana. Lebih pada risiko bisnis yang sudah dikalkulasi dengan baik,” tutupnya. (CSC)

Editorial Team