Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi utang (freepik.com/freepik)
Ilustrasi utang (freepik.com/freepik)

Intinya sih...

  • Utang global tembus rekor baru hampir 337,7 triliun dolar AS (Rp5,6 kuintiliun) pada akhir kuartal kedua 2025.

  • Penurunan dolar AS mempengaruhi utang global dan lonjakan utang terjadi di pasar negara berkembang.

  • Risiko dan tekanan pada pasar obligasi dan utang jangka pendek AS meningkat, mengancam independensi kebijakan moneter.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Institute of International Finance (IIF) melaporkan bahwa utang global mencatat rekor baru dengan nilai hampir mencapai 337,7 triliun dolar Amerika Serikat (AS) (Rp5,6 kuintiliun) pada akhir kuartal kedua 2025. Kenaikan ini dipicu oleh kondisi keuangan global yang lebih longgar, melemahnya nilai tukar dolar AS, serta sikap akomodatif dari bank sentral utama di dunia.

IIF juga menyatakan utang global naik lebih dari 21 triliun dolar AS (Rp351,8 kuadriliun) hanya dalam enam bulan pertama tahun ini. Lonjakan utang ini menunjukkan bahwa pasar keuangan dunia sedang menghadapi tekanan signifikan yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak masa pandemi 2020.

1. Penurunan dolar AS dan pengaruhnya terhadap utang global

IIF mencatat bahwa nilai tukar dolar AS mengalami pelemahan sekitar 9,75 persen sejak awal tahun 2025 terhadap keranjang mata uang utama dunia. Penurunan ini turut berkontribusi pada kenaikan angka utang global yang dihitung dalam dolar AS.

"Penurunan dolar ini membuat negara-negara seperti China, Prancis, AS, Jerman, Inggris, dan Jepang melaporkan kenaikan utang dalam denominasi dolar, meskipun sebagian kenaikan itu dipicu oleh efek kurs," jelas laporan yang diterbitkan oleh IIF pada Kamis (25/9/2025), dilansir Economic Times.

Hal ini memperlihatkan bagaimana nilai tukar mata uang utama berpengaruh besar terhadap akumulasi utang global, sehingga faktor eksternal seperti fluktuasi nilai dolar bisa memperbesar beban utang tersebut.

2. Lonjakan utang pasar negara berkembang

Laporan IIF mengungkapkan bahwa utang di pasar negara berkembang naik tajam sebesar 3,4 triliun dolar AS (Rp56,9 kuadriliun) pada kuartal kedua, sehingga total utang mereka melewati angka 109 triliun dolar AS (Rp1,8 kuintiliun).

IIF memperingatkan bahwa negara-negara berkembang menghadapi hampir 3,2 triliun dolar AS (Rp53,6 kuadriliun) kewajiban obligasi dan pinjaman yang harus dilunasi pada sisa tahun 2025. Kondisi ini meningkatkan risiko tekanan fiskal yang signifikan.

"Pasar negara berkembang menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kewajiban utang jangka pendek yang akan jatuh tempo akhir tahun," menurut pernyataan resmi laporan tersebut.

Peringatan ini mengindikasikan potensi masalah yang berkelanjutan bagi stabilitas ekonomi di kawasan tersebut.

3. Risiko dan tekanan pada pasar obligasi dan utang jangka pendek AS

IIF juga mengungkap kekhawatiran atas peningkatan utang jangka pendek pemerintah AS. Saat ini, utang jangka pendek AS mencapai sekitar 20 persen dari total utang pemerintah dan sekitar 80 persen dari penerbitan surat utang Treasury.

Laporan itu mengingatkan bahwa ketergantungan ini dapat mendorong tekanan politik pada bank sentral AS untuk mempertahankan suku bunga rendah, yang bisa mengancam independensi kebijakan moneter.

Selain itu, pasar obligasi global juga menghadapi risiko dari investor yang dikenal sebagai bond vigilantes yang cenderung menjual obligasi negara dengan keuangan yang dianggap tidak stabil, menambah ketidakpastian pasar obligasi dunia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team