Ada Tarif Baru Cukai Rokok KLM, CORE Wanti-Wanti Pengusaha Cari Celah

Batasan produksi rokok KLM perlu diterapkan pada rokok biasa

Jakarta, IDN Times - Pemerintah merilis tarif cukai terbaru untuk rokok jenis sigaret kelembak kemenyan (KLM) dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 109/PMK. 010/2022 tentang Perubahan atas PMK Nomor 192/PMK.010/2021.

Dalam aturan itu, tarif cukai rokok sigaret KLM ditetapkan berdasarkan dua kategori yang berkaitan dengan batas produksi perusahaan per tahun.

Pada PMK tersebut, pabrik yang memproduksi rokok KLM lebih dari 4 juta batang per tahun termasuk kategori I, dengan tarif cukai Rp440 per batang, dan harga eceran Rp780 per batang. Adapun perusahaan yang memproduksi di bawah 4 juta batang per tahun termasuk kategori II, dengan tarif cukai hanya Rp25 per batang, dan harga eceran Rp200 per batang.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal menilai dengan adanya batasan tersebut, maka seharusnya kebijakan batasan produksi pada segmen rokok biasa juga perlu ditinjau.

Dia mencatat, sejak 2017, batasan produksi tertinggi untuk rokok biasa adalah 3 miliar batang per tahun, mengacu pada batasan rokok mesin. Batasan ini dinilai membuka celah bagi perusahaan besar dan asing untuk menikmati tarif cukai murah.

Sebelumnya, hingga 2016, batasan produksi tertinggi untuk rokok mesin yang tidak padat karya adalah 2 miliar batang per tahun.

“Makanya perlu diawasi dan dilihat celah yang memungkinkan perusahaan bermanuver dalam pembatasan itu. Jadi, kalau misalnya batasan 3 miliar batang, perusahaan-perusahaan besar bisa mengirit produksinya supaya tidak sampai batas pagunya atau batas threshold-nya. Ini harus diantisipasi oleh pemerintah,” kata Faisal dikutip dari keterangan resmi, Rabu (13/7/2022).

Baca Juga: Rumitnya Lapisan Tarif Cukai Rokok di RI Bikin Konsumsi Rokok Naik

1. Perusahaan besar dan asing bisa masuk ke kategori dengan tarif cukai lebih murah

Ada Tarif Baru Cukai Rokok KLM, CORE Wanti-Wanti Pengusaha Cari CelahIDN Times/Aji

Menurut Faisal, praktik tersebut memungkinkan perusahaan besar dan asing masuk ke golongan yang lebih rendah dengan tarif cukai yang lebih murah. Padahal, seharusnya perusahaan itu mampu membayar tarif cukai yang tinggi sesuai golongannya.

Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Oce Madril juga menilai pengaturan batasan produksi pada rokok biasa yang berlaku saat ini sudah tidak relevan untuk mengatur besaran tarif cukai yang harus dibayarkan oleh perusahaan.

Oce mengatakan kebijakan pengaturan volume produksi yang kurang tepat berpotensi membuka peluang penghindaran cukai yang membuat penerimaan negara tidak optimal.

Dia menjelaskan, penelitian yang dilakukannya sepanjang 2021 menunjukkan ada beberapa potensi penghindaran yang bisa muncul dari skema struktur tarif cukai saat ini. Hal tersebut disebabkan, antara lain, lebarnya selisih tarif cukai rokok antara golongan I yang paling tinggi dengan golongan II yang lebih murah.

“Dengan selisih tarif yang lebar antara golongan I dan II, maka pengusaha memiliki peluang yang lebih menguntungkan dengan bertahan di golongan II, meskipun sebenarnya secara kemampuan produksi, mereka masuk dalam kategori golongan I. Pengusaha yang masuk dalam golongan II tersebut tentu akan membayar tarif cukai yang jauh lebih murah,” ujar Oce.

Baca Juga: PT Sampoerna Berhasil Bermitra dengan 21 Ribu Petani Tembakau 

2. Pabrik bisa hindari bayar cukai lebih tinggi

Ada Tarif Baru Cukai Rokok KLM, CORE Wanti-Wanti Pengusaha Cari CelahIlustrasi pekerja pabrik (ANTARA FOTO/Siswowidodo)

Lebih lanjut, saat ini, Oce mengatakan pabrikan dengan produksi lebih dari 3 miliar batang rokok per tahun akan masuk dalam golongan I dan masuk ke dalam golongan II jika produksinya tidak lebih dari 3 miliar batang rokok.

Menurutnya, salah satu dugaan modus yang dapat terjadi untuk pabrikan menghindari membayar cukai tinggi adalah tidak melaporkan produksi secara benar dan faktual. Apalagi jika pengawasan yang dilakukan lemah, maka pelanggaran jenis ini dapat terjadi.

Dia mengatakan modus itu bisa terlihat ketika terjadi selisih antara jumlah pelekatan pita cukai dengan jumlah produksi yang dilakukan perusahaan. Oce mengatakan praktik modus tidak melaporkan jumlah produksi rokok secara benar dapat merugikan penerimaan negara. Praktik tersebut juga dapat dimanfaatkan untuk menghindari tarif cukai tinggi, mengingat penetapan golongan tarif sangat berkaitan dengan jumlah produksi dalam satu tahun.

Kedua, perusahaan menahan produksi rokok. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan agar produksi mereka tetap berada di bawah 3 miliar dan menikmati tarif cukai yang lebih murah.

Untuk menghindari potensi kerugian negara, Oce merekomendasikan pemerintah menurunkan skema jumlah produksi yang menjadi dasar penggolongan pabrikan rokok. Dia juga menyarankan agar Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memperkuat audit secara berkala untuk verifikasi laporan produksi pabrikan rokok.

Baca Juga: Pemerintah Stop Subsidi BBM di 2023? Begini Jawaban Sri Mulyani

3. Kebijakan batasan produksi bisa kendalikan konsumsi rokok

Ada Tarif Baru Cukai Rokok KLM, CORE Wanti-Wanti Pengusaha Cari CelahIlustrasi pekerja pabrik. (ANTARA FOTO/Siswowidodo)

Di sisi lain, menurut Faisal, kebijakan tarif dan struktur cukai rokok KLM yang ditetapkan pemerintah kini lebih proporsional. Kebijakan ini dapat mengendalikan konsumsi, mengoptimalkan penerimaan negara, serta membedakan perusahaan besar dan kecil.

“Selama ini, rokok jenis itu harga cukainya rendah sekali,” kata Faisal.

Dia juga menilai kebijakan tersebut telah mengkategorikan perusahaan yang memproduksi minimal 4 juta batang rokok KLM per tahun sebagai pabrikan besar. Sementara yang memproduksi di bawah itu tergolong perusahaan kecil atau rumahan.

Topik:

  • Hana Adi Perdana

Berita Terkini Lainnya