Masih ada kesenjangan yang besar antara tingkat inklusi dan literasi digital di Indonesia dan selama kesenjangan ini masih ada dan cukup lebar. Jadi, peluang terjadinya konsumsi produk keuangan yang tidak sesuai kebutuhan akan tetap ada.
Sering kali masyarakat tidak tahu dan tidak menyadari aktivitas mereka di dunia digital seperti browsing, belanja, dan aktivitas di media sosial melibatkan data mereka yang penting. Dan data ini sering kali diolah oleh third party seperti untuk kepentingan iklan, market research, dan sebagainya.
Tidak hanya tidak sadar bahwa data mereka dikelola, namun mereka juga tidak mengetahui pasti mengenai hak-hak mereka, yakni sejauh mana data itu bisa dikelola dan bisa di-request untuk dihapus. Hal yang advance ini belum sampai ke masyarakat dengan baik perihal kurangnya sosialisasi dan perkembangan digital jauh lebih cepat daripada regulasi yang ada.
Berapa persen yang sudah mempunyai kesadaran untuk melindungi data pribadinya dalam bertransaksi secara digital?
Kita di CIPS belum ada angka statistiknya. Tapi yang pasti ini adalah isu yang utama. Kesadaran digital yang berdampak pada tingkat digital literacy.
Sebagai perbandingan, bagaimana tingkat literasi digital dan perlindungan konsumen di negara-negara lain?
Mayoritas negara-negara di Asia Tenggara telah memiliki Data Protection Law jauh lebih dulu daripada Indonesia yang saat ini masih dalam grace period (2 tahun).
Malaysia dan Singapura, contohnya, mengikuti EU GDPR yang dinilai sebagai regulatory benchmark paling mumpuni dan bertumpu pada consumer-centric. Di Singapura, ada Personal Data Protection Committee (PDPC) yang berfungsi layaknya seperti DPA di Indonesia, yang saat ini belum ada kepastiannya.