[WANSUS] Nasib Ekonomi Indonesia Pasca-COVID-19 Versi Ekonom Aviliani

Jakarta, IDN Times – Ekonomi dunia dan juga Indonesia hancur lebur dengan adanya pandemik COVID-19 yang menerpa sejak awal tahun. Resesi pun tidak dapat dihindari. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pun disebut akan mengalami resesi pada kuartal III ini meski tidak sedalam pada kuartal II sebesar 5,32 persen.
Berbeda dengan krisis yang terjadi pada 1998 dan 2008 di mana faktornya adalah masalah moneter. Kali ini, dunia dihadapkan pada permasalahan kesehatan. Lalu bagaimana nasib ekonomi Indonesia di sisa tiga bulan terakhir ini dan tahun depan? Akankah bisa pulih seperti sebelum terjadi pandemik?
Berikut hasil wawancara IDN Times bersama ekonom INDEF Aviliani. Wawancara ini dilakukan dalam rangkaian Indonesia Millennial Report 2020 yang akan diluncurkan saat acara Indonesia Millennial Summit (IMS) 2021 mendatang.
Apa tanggapan Anda terhadap kebijakan ekonomi yang diterapkan pemerintah selama pandemik ini? dan bagaimana kebijakan di tingkat daerah
Saya melihat pemerintah responnya lebih cepat ya dibandingkan krisis-krisis sebelumnya di mana ada Perppu dan kemudian menjadi undang-undang itu untuk menyelamatkan tidak hanya sektor keuangan, karena pada masa-masa krisis sebelumnya itu hanya memikirkan sektor keuangan. Tapi kali ini sektor riil pun dipikirkan oleh pemerintah melalui kebijakan moneter dan fiskal.
Memang ada beberapa yang belum terealisasi khususnya adalah belanja pemerintahnya, tapi sebenarnya kebijakan yang dikeluarkannya sudah baik hanya tinggal pada tataran implementasi. Problem-nya mungkin kalau daerah di luar Jakarta nggak masalah karena nggak ada pemerintah pusat gitu. Menurut saya seharusnya ini tidak boleh menjadi problem karena memang khusus untuk PSBB ini adalah harus pemerintah daerah karena mereka yang paling tahu seberapa jauh peningkatan dari pada yang kena pandemik dan kemudian juga kapasitas dari rumah sakit.
Sehingga menurut saya daerah memang sudah apa pada porsinya untuk melakukan ini hanya saja memang pada tataran kebijakan di pusat ini seringkali belum dilaksanakan sosialisasi kepada daerah. Jadi ada kadang-kadang kebijakan yang tidak sinkron ya. Misalnya ketika ada kebijakan fiskal dari pusat yang nantinya harus dilaksanakan oleh daerah, tapi daerah tidak diberikan petunjuk maka jadi problem juga tidak terjadi implementasi.
Kemudian harus ada pengalihan anggaran di APBD daerah, tetapi sosialisasinya untuk apa dan bagaimana itu seringkali tidak dapat tunjuk dan akhirnya pengeluarannya menjadi terlambat. Padahal dalam kondisi pandemik ini yang dibutuhkan sekarang adalah kita harus bicara tentang demand side karena apa? Karena sekarang ini banyak orang kehilangan pekerjaan atau pendapatannya berkurang secara drastis baik orang yang bekerja di sektor formal, informal maupun UMKM.