Ilustrasi grafik (IDN Times/Arief Rahmat)
Sangat berbeda. 98 itu karena pada saat itu banyak swasta itu melakukan utang luar negeri besar-besaran yang kemudian tidak dilihat terhadap kemampuan bayar ya, karena begitu mereka harus membayar ternyata lebih banyak kebutuhan dari pada supply-nya. Sehingga mulailah krisis di Asia karena tidak hanya di Indonesia tapi juga Thailand dan beberapa negara lain itu mengalami hal yang sama. Sehingga rupiah kita yang tadinya satu dolar itu Rp2.500 tiba-tiba menjadi Rp16 ribu. Jadi Anda bisa bayangkan saat itu utang daripada swasta di Indonesia itu naik lebih dari 100 kali lipat pastinya. Sehingga akhirnya asetnya jauh lebih rendah daripada utangnya.
Nah itulah yang membuat pada saat 98 itu krisisnya luar biasa. Nah yang kedua 98 juga ada semacam kita ada tanda tangan dengan IMF di mana waktu itu bank harus tutup. Begitu bank tutup, maka terjadilah rush. Nah disitulah krisis kita cukup panjang karena pada saat rush daripada bank-bank itu semua orang pegang duit kas. Ini berbahaya sekali. Makanya ketika itu terjadi mulailah muncul kebijakan-kebijakan baru untuk mengarah pada bagaimana kita bisa mengontrol utang luar negeri, lalu kita bisa membuat BI independen itu adalah bermula sebenarnya dari krisis 98.
Kemudian ketika 2008 itu berbeda lagi asal krisisnya. Kalau 98 itu asalnya dari Asia yaitu utang luar negeri yang besar, yang jatuh tempo ya sehingga membuat rupiah kita melemah. Nah ketika 2008 itu berbeda, justru krisisnya berasal dari global yang terutama dari Amerika-Eropa di mana ternyata mereka banyak mengeluarkan obligasi yang CDS ya, ibaratnya tuh obligasi yang diperjualbelikan di seluruh dunia itu adalah yang sudah package dan ternyata itu isinya adalah banyak yang tidak prudent ya. Misalnya ada banyak kredit-kredit orang miskin yang diperjualbelikan.
Nah begitu terjadi masalah pendapatan terhadap orang miskin, maka kredit itu tidak bisa terbangun, ya akibatnya apa banyak Hedge Fund yang apa mencairkan dana di seluruh dunia termasuk di Indonesia pada saat itu, di mana ketergantungan kita terhadap investasi asing itu kan tinggi. Ketika Hedge Fund itu menjual obligasi pemerintah, maka rupiah kita juga mengalami pelemahan.
Tapi pada saat itu ada kecepatan dari Gubernur BI membuat kebijakan bahwa obligasi yang dijual oleh asing itu akan dibeli oleh Bank Indonesia. Maka kita tidak mengalami krisis pada saat itu. Jadi krisisnya tuh cuma sebentar, sehingga orang tidak merasakan hal itu krisis. Nah salah satunya memang ada korban, yaitu Bank Century, di mana kalau itu ditutup mungkin terjadi rush itu akhirnya diselamatkan supaya tidak terjadi rush.
Nah sekarang ini setelah 2008 ada proses lagi krisis utang di Eropa tahun 2012 ya tapi kita gak terlalu terdampak. Jadi kalau kita lihat sebenarnya krisis itu makin lama makin pendek. Nah ini yang kita harus aware semua pelaku ekonomi maupun masyarakat juga pemerintah, kalau ini makin lama makin pendek, maka manajemen resiko kita ini harus makin baik. Kedua kerjasama di antara tiga pelaku harus makin bagus, juga kalau tidak kayak sekarang misalnya dikit-dikit pengen keluarin Perppu.
Akhirnya persepsi pasar menjadi buruk dan kita bisa aja kan terpuruk hanya gara-gara masalah kita sendiri yang seharusnya tidak perlu. Nah jadi menurut saya sekarang ini juga sudah lebih bagus kebijakannya dengan Perppu dan yang sudah menjadi undang-undang itu saya rasa sudah cocok ya. Hanya tinggal pada level birokrasi.