Sebelumnya, Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi meminta pemerintah menghapuskan pasal power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) karena melanggar konstitusi, mengurangi pendapatan negara, dan menggerus APBN.
“Mengizinkan Independent Power Plant (IPP) menjual listrik secara langsung kepada konsumen merupakan bentuk liberalisasi kelistrikan yang bertentangan dengan konstitusi. Hal itu karena cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara,” kata dia dalam keterangan tertulis kepada IDN Times, Senin (9/9/2024).
Menurut Fahmy, power wheeling justru akan menggerus pendapatan negara lantaran 90 persen penjualan listrik berasal dari pelanggan industri.
"Selain menggerus pendapatan negara, skema power wheeling akan meningkatkan biaya operasional PLN untuk membiayai pembangkit cadangan, yang dibutuhkan menopang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) yang bersifat intermittent dipengaruhi matahari dan angin," kata dia.
Peningkatan biaya operasional itu akan memperbesar harga pokok penyediaan (HPP) listrik. Jika tarif listrik ditetapkan di bawah HPP, maka negara harus merogoh APBN untuk membayar kompensasi dari biaya operasional ketenagalistrikan.
"Membengkaknya pengeluaran APBN untuk kompensasi tersebut sudah pasti akan menggerus APBN yang berpotensi mengurangi anggaran APBN untuk membiayai program strategis Presiden terpilih Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis," ujar Fahmy.