Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi perang( pexel.com/pixabay)
ilustrasi perang( pexel.com/pixabay)

Ketika perang antarnegara besar pecah, dunia keuangan dan investasi cenderung mengalami guncangan besar. Ketidakpastian geopolitik, gangguan pasokan global, dan fluktuasi mata uang bisa mengubah arah pasar secara drastis. Dalam kondisi seperti ini, ada beberapa jenis investasi yang sebaiknya dihindari agar portofolio tidak tergerus nilai dan menghindari kerugian besar.

Memahami risiko dalam masa konflik global sangatlah penting, terutama bagi investor individu yang tidak memiliki kemampuan manuver secepat lembaga keuangan besar. Berikut adalah lima jenis investasi yang sebaiknya dihindari ketika terjadi perang antar negara besar yang dilansir dari investopedia.com.

1. Saham

ilustrasi saham (pexels.com/pixabay)

Perusahaan multinasional yang bergerak di bidang teknologi konsumen, jasa, atau industri nonmiliter sangat rentan terhadap dampak perang. Ketika rantai pasok terganggu dan perdagangan internasional dibatasi oleh sanksi atau hambatan logistik, operasional mereka bisa lumpuh. Contohnya, perusahaan teknologi asal Amerika yang menggantungkan produksi pada pabrik-pabrik di Asia bisa terdampak langsung jika terjadi konflik bersenjata di wilayah tersebut.

Selain gangguan operasional, sentimen pasar terhadap saham perusahaan multinasional juga menurun drastis ketika ada ketegangan geopolitik. Investor global cenderung menarik dana dari aset-aset berisiko tinggi, dan saham perusahaan multinasional menjadi salah satu yang pertama terkena imbas. Penurunan harga saham ini bukan hanya karena fundamental bisnis yang terganggu, tetapi juga karena kepanikan pasar dan perpindahan dana ke aset yang lebih aman.

2. Obligasi negara yang terlibat perang

ilustrasi berinvestasi (freepik.com/jcomp

Obligasi pemerintah biasanya dianggap sebagai instrumen investasi yang relatif aman. Namun, jika negara penerbit obligasi tersebut terlibat langsung dalam perang, risikonya meningkat drastis. Perang menekan anggaran negara, meningkatkan pengeluaran militer, dan sering kali menyebabkan defisit yang membengkak. Dalam skenario seperti ini, kepercayaan investor terhadap kemampuan negara membayar utangnya bisa menurun.

Selain itu, negara yang sedang berperang sering kali mengalami tekanan mata uang, inflasi tinggi, dan potensi penurunan peringkat utang oleh lembaga pemeringkat kredit. Semua faktor ini bisa membuat nilai obligasi pemerintah tersebut turun tajam di pasar sekunder. Dalam kondisi ekstrem, negara bahkan bisa gagal bayar atau menunda pembayaran bunga dan pokok obligasi.

3. Aset properti di wilayah terjadinya perang

ilustrasi properti (pexels.com/pixabay)

Investasi properti memang bisa memberikan keuntungan stabil dalam jangka panjang. Namun, ketika perang terjadi, terutama di wilayah yang dekat dengan zona konflik, nilai properti bisa jatuh drastis. Risiko kerusakan fisik terhadap bangunan, pengungsian massal, dan ketidakpastian hukum atas hak milik membuat investasi properti di wilayah ini sangat berisiko.

Lebih dari itu, sektor properti sangat bergantung pada stabilitas politik dan sosial. Ketika masyarakat tidak merasa aman, permintaan properti menurun, dan sektor konstruksi juga bisa mandek. Bahkan di wilayah yang tidak langsung terkena dampak fisik perang, kekhawatiran akan ketidakstabilan bisa mempengaruhi nilai properti dan pendapatan sewa secara signifikan.

4. Mata uang dari negara berkembang

ilustrasi mata uang asing (pexels.com/tima)

Dalam kondisi perang besar, investor global cenderung mengalihkan aset ke mata uang yang dianggap sebagai safe haven seperti dolar AS, franc Swiss, atau yen Jepang. Sebaliknya, mata uang negara berkembang sering mengalami depresiasi tajam karena dianggap lebih berisiko dan kurang likuid. Nilai tukar yang menurun akan sangat merugikan bagi investor yang memiliki aset dalam mata uang-mata uang tersebut.

Selain depresiasi nilai tukar, negara berkembang juga bisa menghadapi masalah seperti pelarian modal, inflasi tinggi, dan intervensi moneter yang tidak efektif. Semua ini akan memperburuk kondisi pasar domestik dan memperbesar risiko kerugian bagi investor. Oleh karena itu, selama terjadi konflik besar antar negara adidaya, sebaiknya hindari eksposur berlebihan terhadap mata uang negara-negara berkembang.

5. Komoditas seperti tembaga dan aluminium

ilustrasi tembaga (pexels.com/patrycja)

Komoditas seperti tembaga, nikel, dan aluminium sangat bergantung pada kestabilan rantai pasok global. Ketika perang pecah, distribusi dan produksi bahan-bahan ini bisa terganggu, terutama jika negara penghasil utama terlibat dalam konflik. Akibatnya, volatilitas harga menjadi sangat tinggi dan sulit diprediksi. Untuk investor yang tidak terbiasa dengan fluktuasi ekstrem, ini bisa menimbulkan kerugian besar.

Sementara beberapa komoditas seperti emas cenderung naik saat krisis, komoditas industri nonenergi sering kali tidak memiliki karakteristik safe haven. Harga bisa jatuh karena menurunnya permintaan global atau karena gangguan ekspor dari negara tertentu. Dalam masa ketidakpastian geopolitik, sebaiknya pilih komoditas yang lebih stabil dan tidak terlalu tergantung pada kondisi politik dan militer global.


Saat dunia berada di ambang konflik besar, pendekatan konservatif dengan memilih instrumen keuangan yang terbukti tangguh dalam krisis seperti emas, surat utang negara yang stabil, atau reksa dana pasar uang menjadi pilihan lebih aman. Fokus utama dalam masa ini bukan pada keuntungan tinggi, tetapi pada keamanan dan keberlanjutan aset dalam jangka panjang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team