TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Bos BCA Sebut Ada Startup yang Jadi Popcorn, Apa Maksudnya?

Presdir BCA bilang ada tiga penyebab kolapsnya SVB

Presiden Direktur BCA, Jahja Setiaatmadja di Fortune Indonesia Summit 2023 (IDN Times/Ridwan Aji Pitoko)

Jakarta, IDN Times - Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA), Jahja Setiaatmadja mengungkapkan saat ini masih banyak perusahaan rintisan atau startup yang tidak stabil.

Hal itu diungkapkan Jahja ketika menanggapi soal kolapsnya Silicon Valley Bank (SVB) di Amerika Serikat beberapa waktu lalu.

Salah satu penyebab kolapsnya SVB di mata Jahja adalah karena terlalu banyak menerima simpanan dari startup, padahal dari segi keuangan para startup belum banyak yang stabil.

"Tetapi startup sorry to say, banyak startup yang sukses sebagai decacorn, unicorn, tetapi jangan lupa yang jadi popcorn juga banyak. Ribuan jadi popcorn, meletup meletup. Nah kalau Anda menerima cashflow dari perusahaan-perusahaan seperti ini, itu ada ketidakstabilan," ucap Jahja dalam Fortune Indonesia Summit (FIS), dikutip Kamis (16/3/2023).

Baca Juga: 3 Kesalahan yang Bikin Silicon Valley Kolaps Versi Bos BCA

1. Kesalahan lain SVB

Menara BCA (bca.com)

Jahja pun mengungkapkan alasan berikutnya yang jadi biang kerok bangkrutnya SVB.

Menurut dia, SVB yang hanya menerima dana dari nasabah-nasabah besar kelimpungan ketika para nasabah tersebut menarik dananya dari SVB.

"Mereka menerima hanya nasabah-nasabah besar. Artinya, kalau nasabah-nasabah besar ini keluar, mereka harus menyediakan fund yang besar," kata Jahja.

Baca Juga: Jokowi Revisi Aturan Devisa Ekspor, Begini Kata Bos BCA

2. Terlalu percaya kepada US Treasury

Ilustrasi Obligasi/Surat Berharga. (IDN Times/Aditya Pratama)

Kesalahan berikutnya dari SVB di mata Jahja adalah lantaran terlalu yakin kepada trusted bond atau obligasi terpercaya, dalam hal ini US Treasury. Tak salah juga, karena dari segi risiko kredit, US Treasury memiliki risiko nol alias zero risk.

"Karena ini bicara Amerika. Kecuali, Amerika bangkrut. Dari segi credit risk no doubt, tetapi yang mereka lupa adalah begini, terima pembiayaan besar dari wholesale. Wholesale itu kalau taruh duit gak pernah mau bunga kecil, gak mungkin. Pasti, minta bunga tinggi," ujarnya.

Hal itu kemudian membuat SVB meletakkan simpanan dari wholesale tersebut ke dalam treasury bills jangka panjang atau sekuritas pemerintah berumur pendek yang tidak menghasilkan bunga, tetapi diterbitkan dengan potongan harga pada penebusannya.

Celakanya, sambung Jahja, saat itu suku bunga Bank Sentral AS atau The Fed terus mengalami kenaikan dan itu kemudian berdampak pada treasury bills SVB.

"Bond ini rumusannya kalau interest naik, harga bond turun. Kalau interest turun, harga bond naik. Yang terjadi adalah interest naik, kelelep, underwater dari segi nilai bond itu sendiri karena mismanage dari segi likuiditas. Seharusnya kalau mereka terima wholesale dan jangka pendek, harusnya mereka menempatkan treasury bills betul, gak salah, tetapi jangan jangka pendek juga," papar Jahja.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya