ilustrasi uang (pixabay.com/Maklay62)
Pada 1997/98, krisis ekonomi yang melanda Indonesia telah menimbulkan berbagai permasalahan yang demikian berat serta peningkatan kerentanan kondisi ekonomi Indonesia.
Dalam perspektif lain, permasalahan dan kerentanan kondisi ekonomi yang terjadi pada masa krisis tersebut juga mengindikasikan adanya beberapa kelemahan dalam penerapan kebijakan ekonomi makro yang selanjutnya menimbulkan distorsi ekonomi serta tidak sehatnya struktur dan perkembangan perekonomian nasional.
Di sisi lain, semakin kompleksnya tantangan kebijakan moneter di Indonesia membuat perkembangan ekonomi global yang demikian pesat. Tinginya fluktuasi perkembangan beberapa indikator ekonomi makro utama, menjadi cerminan pada tingginya seperti tingkat harga, output, besaran moneter, dan suku bunga.
Dengan kondisi tersebut, isu strategis yang muncul adalah terkait dengan sampai sejauh mana derajat kredibilitas dan efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter dalam mencapai sasaran akhir yang ditetapkan.
Di sisi lain, berbagai perubahan yang terjadi dalam perekonomian dan peralihan sistem nilai tukar dari sistem mengambang terkendali menjadi sistem mengambang pada periode krisis tersebut, juga mempunyai implikasi terhadap keterkaitan antar variabel, termasuk mekanisme transmisi kebijakan moneter.
Sementara itu, dengan dikeluarkannya UU No 23 Tahun 1999, dari sisi kelembagaan, sebagaimana diamandemen dengan UU No 6 Tahun 2009 tentang Bank Indonesia sebagai landasan hukum yang baru, menjadikan tujuan Bank Indonesia lebih terfokus, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah, yang dalam hal ini lebih diidentifikasikan sebagai kestabilan harga (inflasi).
Akhirnya mengarahkan kebijakan moneter pada penerapan strategi kebijakan yang menargetkan inflasi (inflation targeting framework/ITF), dengan perubahan tatanan kelembagaan di atas.
Reorientasi sasaran tersebut merupakan bagian dari kebijakan pemulihan perekonomian makro untuk keluar dari krisis ekonomi. Proses pemulihan ekonomi selain berbiaya relatif mahal juga berjalan relatif lama jika dibandingkan dengan kondisi yang dialami oleh negara-negara kawasan yang mengalami krisis.
Sehingga, hal tersebut bukanlah sesuatu mudah dicapai mengingat pengaruh negatif krisis ekonomi yang begitu dahsyat.
Jadi, inflation targeting framework merupakan kerangka kerja di mana bank sentral merumuskan dan melaksanakan kebijakan moneternya, sehingga bukanlah suatu kaidah (rule) yang baku dan kaku.
Demikian pula, dengan penerapan inflation targeting framework bukan berarti bahwa kebijakan moneter hanya mempertimbangkan inflasi saja. Dari sisi teoritis maupun prakteknya, dalam penetapan sasaran inflasi selalu dipertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sesuai dengan fenomena Phillips Curve jangka pendek, untuk penetapan sasaran inflasi dalam konteks trade-off inflasi dan output. Bukti empiris juga menunjukkan bahwa pertimbangan output riil dalam penerapan inflation targeting framework adalah suatu yang niscaya di berbagai negara.
Dengan demikian, pencapaian stabilitas harga dalam inflation targeting framework diupayakan untuk tidak terlalu mengorbankan pertumbuhan ekonomi.