5 Jurus Cerdas Brand Lokal Bertahan saat Perang Tarif

Kita hidup di era di mana promo dan diskon seolah gak pernah tidur. Setiap buka aplikasi, selalu ada “flash sale” dan “harga gila-gilaan” yang menggoda dompet. Fenomena ini bukan lagi hal baru, apalagi sejak perang tarif antar brand besar semakin panas, terutama di sektor transportasi, retail, makanan cepat saji, dan bahkan skincare.
Tapi di tengah persaingan sengit itu, brand-brand lokal ternyata gak menyerah. Mereka tahu bahwa ikut-ikutan banting harga terus-terusan cuma bikin napas bisnis makin pendek. Sebaliknya, mereka memilih jalan yang berbeda—lebih strategis, lebih membumi, dan jauh lebih sustainable. Gak sekadar jualan, tapi membangun koneksi yang dalam dengan konsumennya.
Yuk, kita kupas lima jurus jitu yang sering dipakai brand lokal untuk tetap berdiri tegak di tengah badai perang tarif!
1. Mainkan cerita, bukan sekadar jualan

Kalau harga gampang ditiru, cerita justru enggak. Brand lokal paham bahwa kekuatan narasi adalah alat yang sangat kuat untuk membangun koneksi emosional dengan audiens. Mereka gak cuma menawarkan produk, tapi juga menghadirkan cerita—tentang asal-usul, tentang proses kreatif, dan tentang nilai-nilai yang mereka bawa.
Contohnya, sebuah brand kopi lokal asal Jawa Barat gak hanya mempromosikan kopi single origin mereka, tapi juga menceritakan kisah petani di balik proses panen, sampai bagaimana mereka melatih para petani muda agar tetap bertahan di industri. Cerita seperti ini membuat produk punya jiwa. Dan menurut survei yang dilakukan oleh Edelman, brand dengan "purpose" yang jelas punya potensi loyalitas konsumen yang 4x lebih tinggi dibanding brand biasa.
2. Fokus ke kualitas, biar konsumen balik lagi

Di tengah serbuan diskon, kualitas sering kali jadi pembeda utama. Banyak brand lokal memilih untuk menahan diri dari perang tarif dan justru memperkuat aspek kualitas—baik dari sisi produk maupun layanan. Mereka sadar bahwa kepuasan pelanggan bukan hanya tentang harga murah, tapi soal rasa puas setelah membeli dan menggunakan produk.
Ambil contoh dari industri skincare. Beberapa brand lokal kini makin terbuka soal bahan aktif yang mereka gunakan, bahkan menyediakan edukasi seputar cara pakainya. Ini membuat konsumen merasa aman dan dihargai. Riset dari Google Asia Pacific menyebutkan bahwa 53 persen konsumen lebih loyal pada brand yang mereka anggap informatif dan transparan. Loyalitas itu lebih mahal nilainya dibanding satu kali pembelian saat promo.
3. Bangun komunitas, bukan cuma pembeli

Brand yang hanya mengincar penjualan mungkin akan cepat kehilangan relevansi. Sebaliknya, brand lokal yang membangun komunitas punya fondasi yang lebih kokoh. Mereka mengajak konsumennya untuk jadi bagian dari perjalanan, bukan cuma sekadar target pasar.
Kita bisa lihat ini di brand makanan sehat yang rutin bikin kelas masak bareng ahli gizi, atau brand fashion lokal yang adain diskusi soal body positivity. Interaksi seperti ini memperkuat rasa memiliki. Komunitas jadi tempat berbagi pengalaman, bukan sekadar review produk. Dari situ muncul kepercayaan, dan kepercayaan itu gak bisa dibeli dengan diskon.
4. Kolaborasi yang bikin hype, tapi tetap relevan

Salah satu senjata andalan brand lokal adalah kemampuan mereka untuk bergerak lincah dan berkolaborasi. Gak jarang kita lihat kolaborasi antara brand F&B lokal dengan seniman mural, atau antara brand pakaian dengan musisi independen. Kolaborasi seperti ini bukan hanya soal estetika, tapi juga menciptakan koneksi lintas komunitas.
Bukan cuma hype, kolaborasi juga bisa memperluas jangkauan pasar tanpa perlu mengeluarkan bujet iklan besar. Ini semacam “word of mouth 2.0” yang dikemas lewat konten visual dan storytelling yang kuat. McKinsey bahkan menyebut bahwa kolaborasi kreatif bisa meningkatkan engagement digital hingga 30 persen jika dikemas otentik dan tepat sasaran.
5. Dekat dengan konsumen lewat media sosial

Sekarang ini, siapa yang gak hidup di media sosial? Brand lokal memanfaatkan ruang digital ini bukan cuma buat promo, tapi juga untuk membangun persona yang akrab dan manusiawi. Mereka gak segan balas komentar receh, pakai bahasa sehari-hari, dan hadir di tengah percakapan yang sedang ramai.
Contohnya, ada brand makanan rumahan yang viral karena reply lucu mereka di TikTok. Padahal awalnya cuma balas komentar soal sambal yang “katanya pedesnya nanggung”. Tapi dari situ, interaksi makin ramai, dan penjualan pun ikut naik. Strategi ini sederhana tapi powerful—karena terasa dekat dan nyata. Data dari We Are Social (2024) bahkan menunjukkan bahwa 87 persen konsumen Indonesia mencari info produk lewat media sosial sebelum memutuskan beli.
Penutup

Perang tarif memang bisa bikin brand besar saling sikut, tapi bukan berarti brand lokal harus ikut adu murah sampai ngos-ngosan. Justru, dengan pendekatan yang lebih cerdas, yakni cerita yang kuat, kualitas yang konsisten, komunitas yang solid, kolaborasi yang otentik, dan digital presence yang hidup—brand lokal punya peluang untuk tetap relevan dan dicintai.
Karena pada akhirnya, konsumen gak selalu cari yang paling murah. Mereka cari yang paling nyambung, paling dekat, dan paling bisa dipercaya. Dan itu, adalah medan perang yang bisa dimenangkan brand lokal dengan cara mereka sendiri.