Ilustrasi perempuan sedang foto (pexels.com/Julio Lopez)
Punya tabungan seharusnya jadi prioritas, tapi semua uang malah habis buat lifestyle. Rencana masa depan seperti investasi, dana darurat, atau belajar skill baru jadi tertunda karena uang selalu dipakai buat hal yang bisa “dipamerin”.
Gengsi menggeser arah hidup dari “penting” jadi “keren”. Hidup seolah dibentuk oleh ekspektasi sosial, bukan kebutuhan pribadi. Akibatnya, langkah ke depan jadi berat karena gak punya landasan finansial yang kuat. Ketika krisis datang, barulah sadar kalau gengsi gak bisa bantu bayar sewa atau isi dapur.
Gengsi bukan musuh, tapi juga bukan teman yang bisa dipercaya sepenuhnya. Kalau dibiarkan mendikte, bisa-bisa hidup terus dalam tekanan finansial yang gak perlu. Gaya boleh, asal gak maksa. Sesekali mundur dari sorotan biar bisa fokus benahi isi dompet juga penting.
Lebih baik hidup sederhana tapi tenang, daripada mewah di luar tapi kacau di dalam. Saat bisa bilang “cukup” untuk hal yang gak penting, di situlah kebebasan finansial mulai terasa. Dan itu lebih keren dari apa pun yang bisa dibeli oleh gengsi.
Sumber refrensi:
Journal of Consumer Behaviour, Volume 19, Issue 5, 2020, Pages 477–49 https://doi.org/10.1002/cb.1833
The Quarterly Journal of Economics, Volume 124, Issue 2, 2009, Pages 425–467
https://doi.org/10.1162/qjec.2009.124.2.425