Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Tangan memegang uang di dompet (pexels.com/Ahsanjaya)

Intinya sih...

  • Beli barang branded meski harus kredit karena gengsi

  • Pamer kehidupan mewah di media sosial demi validasi

  • Gak mau kelihatan "biasa" di depan teman, prioritas hidup digeser demi gaya

Punya gengsi itu wajar, apalagi kalau hidup di tengah budaya yang doyan pencitraan. Tapi kadang, tanpa sadar, gengsi pelan-pelan ambil alih keputusan keuangan yang sebenarnya gak penting-penting amat. Akhirnya, dompet jadi korban demi sekadar terlihat "punya" di mata orang lain.

Masalahnya, gak semua orang sadar sedang dikendalikan gengsi. Seringkali kita menyamarkannya dengan alasan "self reward" atau "demi percaya diri". Padahal, yang dilawan bukan kebutuhan, tapi rasa takut terlihat biasa-biasa saja. Nah, kalau mulai sering merasa miskin tapi gaya tetap dipaksakan, bisa jadi ada yang harus diperiksa dari dalam diri.

1. Selalu beli barang branded meski harus kredit

Tas kotak penjualan (pexels.com/Sora Shimazaki)

Setiap kali lihat logo luxury brand, rasanya langsung muncul dorongan buat beli. Walaupun belum punya cukup uang, tetap nekat pakai paylater atau cicilan biar bisa punya tas, sepatu, atau gadget keluaran terbaru. Semua itu dilakukan bukan karena benar-benar butuh, tapi karena gak mau kalah gaya.

Orang yang gengsinya tinggi sering merasa harga diri bisa ditentukan dari label yang nempel di badan. Padahal, kenyataannya barang mahal gak selalu bikin hidup lebih berkualitas. Yang terjadi malah sebaliknya: hidup makin stres karena tagihan menumpuk. Tapi selama bisa kelihatan keren di mata orang, rasa sakit di dompet pun dibiarkan.

2. Pamer kehidupan mewah di media sosial

ilustrasi wanita berbelanja (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Scroll media sosial isinya liburan, kafe kekinian, belanja di mall, dan semua yang serba high class. Tapi kalau dilihat dari kondisi keuangan sebenarnya, sering kali gak sebanding. Banyak yang rela hemat makan seminggu, cuma buat bisa makan di tempat fancy sekali, demi konten.

Gengsi bisa menyamar jadi lifestyle goals, apalagi kalau hidup di era Instagrammable. Tapi kalau semua yang dipamerin cuma demi validasi dan bukan cerminan hidup sebenarnya, itu tanda bahaya. Hidup jadi kompetisi yang gak ada ujungnya, sementara kebutuhan utama sering dikorbankan hanya demi satu posting.

3. Gak Mau Kelihatan “Biasa” di Depan Teman

ilustrasi wanita sedang sendiri (pexels.com/Maria Tyutina)

Saat nongkrong, ada tekanan buat selalu terlihat mapan. Gak enak rasanya kalau cuma pakai baju simpel atau naik kendaraan yang biasa aja. Bahkan, ada yang rela minjam barang atau pakai produk KW biar kelihatan setara sama temannya.

Perasaan takut terlihat “biasa” bikin hidup jadi penuh topeng. Pilihan-pilihan sederhana yang tadinya cukup jadi terasa memalukan. Padahal, teman sejati gak akan peduli naik apa atau pakai apa. Tapi gengsi menekan keras dari dalam, membuat standar hidup jadi lebih tinggi dari kemampuan asli.

4. Prioritas Hidup Digeser Demi Gaya

Ilustrasi perempuan sedang foto (pexels.com/Julio Lopez)

Punya tabungan seharusnya jadi prioritas, tapi semua uang malah habis buat lifestyle. Rencana masa depan seperti investasi, dana darurat, atau belajar skill baru jadi tertunda karena uang selalu dipakai buat hal yang bisa “dipamerin”.

Gengsi menggeser arah hidup dari “penting” jadi “keren”. Hidup seolah dibentuk oleh ekspektasi sosial, bukan kebutuhan pribadi. Akibatnya, langkah ke depan jadi berat karena gak punya landasan finansial yang kuat. Ketika krisis datang, barulah sadar kalau gengsi gak bisa bantu bayar sewa atau isi dapur.

Gengsi bukan musuh, tapi juga bukan teman yang bisa dipercaya sepenuhnya. Kalau dibiarkan mendikte, bisa-bisa hidup terus dalam tekanan finansial yang gak perlu. Gaya boleh, asal gak maksa. Sesekali mundur dari sorotan biar bisa fokus benahi isi dompet juga penting.

Lebih baik hidup sederhana tapi tenang, daripada mewah di luar tapi kacau di dalam. Saat bisa bilang “cukup” untuk hal yang gak penting, di situlah kebebasan finansial mulai terasa. Dan itu lebih keren dari apa pun yang bisa dibeli oleh gengsi.

Sumber refrensi:

  1. Journal of Consumer Behaviour, Volume 19, Issue 5, 2020, Pages 477–49 https://doi.org/10.1002/cb.1833

  2. The Quarterly Journal of Economics, Volume 124, Issue 2, 2009, Pages 425–467
    https://doi.org/10.1162/qjec.2009.124.2.425

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team