Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Ilustrasi pasangan berkencan di kafe (freepik.com/freepik)

Alya duduk di sudut kafe yang ramai, menatap layar ponselnya tanpa ada niat untuk mengecek media sosial. Matanya melirik jam di pergelangan tangan, hampir pukul 7 malam. Dering ponselnya mengagetkannya. Ada pesan dari teman kuliahnya, Rafi.

"Alya, kamu sudah sampai belum? Aku di depan kafe."

Dia menghela napas. Kembali menatap pesan tersebut, lalu matanya beralih ke luar jendela. Udara malam yang sedikit dingin menyentuh kulitnya. Di luar sana, dunia bergerak cepat, tetapi ia merasa seperti terjebak dalam kebingungannya sendiri.

Tidak ada yang tahu betapa beratnya hatinya saat ini. Setiap langkah yang diambil seolah mengarah ke ujung yang salah. Semua yang ia harap bisa terjadi, malah berubah menjadi ketidakpastian. Namun, ada satu orang yang selalu membuatnya merasa tenang, Rafi.

Alya dan Rafi telah bersahabat sejak kecil. Sejak masa SMA, mereka sudah saling berbagi cerita, rahasia, dan mimpi-mimpi yang tidak pernah terungkapkan kepada orang lain. Namun, belakangan ini, perasaan mereka mulai berputar arah. Rafi lebih sering menunjukkan perhatian yang lebih dari sekedar teman biasa. Tapi Alya bingung, apakah perasaan itu hanya karena kesepian, ataukah ada sesuatu yang lebih besar?

Tiba-tiba, pintu kafe terbuka dan seorang pria masuk. Rafi. Dengan rambut hitam sedikit acak-acakan, wajah yang tampak lelah, dan senyum khas yang membuat hati Alya berdegup kencang.

"Sorry, terlambat. Lalu, kamu masih mau bertemu?" Rafi duduk di depan Alya, mengeluarkan secangkir kopi dari tasnya. "Aku bawa kopi favorit kamu," katanya, menyodorkan gelas berwarna coklat ke arah Alya.

"Kenapa bawa kopi kalau yang aku butuhin cuma kamu?" Alya balas dengan senyum tipis, meski ada rasa canggung yang menggelayuti hatinya.

Rafi tertawa kecil. "Karena kopi ini nggak akan meninggalkan kamu kayak aku," jawabnya dengan nada yang agak serius, meskipun di akhir kalimatnya terdengar bercanda.

Alya merasa tubuhnya menjadi kaku. Apa maksud Rafi dengan kata-katanya?

"Ada apa sih, Raf?" Alya akhirnya memutuskan untuk membuka pembicaraan yang sudah lama mengganjal. "Kenapa aku ngerasa kamu nggak seperti teman lagi belakangan ini? Apa kita harus ngomongin ini?"

Rafi menatap Alya sejenak, lalu mengambil napas panjang. "Sebenarnya, aku ngerasa kita sudah terlalu lama menjadi teman. Aku nggak mau kehilangan kamu, Alya."

Alya terdiam. Ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dada, tapi juga ada rasa takut yang datang bersamaan. "Tapi kita sudah saling kenal sangat lama, Raf. Jangan bilang kamu ingin kita lebih dari teman," jawabnya pelan, menghindari tatapan Rafi.

"Tentu saja," jawab Rafi, tangannya meraih tangan Alya yang terletak di meja. "Tapi, aku nggak tahu apakah kamu merasakan hal yang sama."

Alya menunduk, berpikir sejenak. Rasa takutnya muncul kembali. Takut kehilangan Rafi sebagai teman, takut kalau hubungan mereka menjadi lebih rumit. Tapi ada juga keinginan kuat untuk mencoba, meski itu berarti berisiko.

Tiba-tiba, pintu kafe terbuka lagi. Seorang wanita muda masuk, dengan ekspresi yang tidak asing bagi Alya. Ternyata, itu adalah Tia, teman lama Rafi yang pernah mereka bicarakan beberapa kali.

Alya merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Tia mendekati meja mereka dengan senyum lebar. "Rafi, lama tak jumpa!" Tia duduk di samping Rafi, tanpa melihat Alya lebih dari sekilas.

Alya terdiam, merasa seperti orang asing dalam pertemuan mereka. Tapi Rafi hanya tersenyum dan mengangguk, tampak tidak terlalu terkejut. Namun, dalam benak Alya, ada rasa cemas yang semakin kuat. Apa yang terjadi di antara mereka berdua?

"Alya, ini Tia. Teman lama yang dulu sering aku ceritakan padamu." Rafi mencoba membuka percakapan, namun dalam nada yang sedikit canggung.

Alya hanya mengangguk sambil tersenyum, meskipun hatinya terasa hancur.

Waktu terus berjalan, dan obrolan mereka semakin panjang. Namun, Alya merasakan ada sesuatu yang berubah. Rafi dan Tia seolah berbicara lebih dekat, saling berbagi cerita yang hanya bisa dimengerti oleh mereka berdua. Alya merasa seakan menjadi orang ketiga.

Tapi di sinilah titik temu yang tak terduga terjadi. Tia mengeluarkan sebuah surat dari tasnya dan meletakkannya di meja. "Alya, aku kira kamu harus tahu sesuatu."

Rafi terkejut. "Tia, apa yang kamu lakukan?"

Alya mengambil surat itu dengan tangan gemetar. Dalam surat itu tertulis dengan jelas,  "Aku menulis ini karena aku ingin kamu tahu bahwa Rafi sudah memilihmu sejak lama, tapi dia terlalu takut untuk mengatakannya."

Alya terdiam, tak percaya. Rafi memilihnya? Padahal, ia tak pernah menyadari betapa dalam perasaan Rafi padanya. Tia, dengan segala kebijaksanaan yang dimilikinya, ternyata tahu lebih banyak daripada yang Alya bayangkan.

"Rafi, kamu... benar-benar memilih aku?" Alya akhirnya berkata dengan suara serak, menatap Rafi yang hanya bisa mengangguk.

Tia tersenyum tipis, lalu berdiri. "Aku tahu kalian berdua butuh waktu untuk memikirkannya, tapi... aku hanya ingin kalian berdua bahagia."

Tia pergi meninggalkan mereka berdua, meninggalkan Alya dan Rafi dalam kebingungannya yang berakhir menjadi sebuah pengakuan yang akhirnya terbuka. Mereka berdua duduk di sana, tanpa kata-kata, hanya saling memandang.

Alya tahu, bahwa apapun yang terjadi di antara mereka, tak ada yang lebih penting dari perasaan yang akhirnya mereka temui. Perasaan yang selama ini tersimpan dalam hati mereka, yang akhirnya muncul di titik temu yang tak terduga.

Dan dari situlah, cerita mereka dimulai.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team