Di ruang sunyi rumah sakit,
dokter menyebut angka yang asing di telinga:
trisomi 21,
sebuah takdir yang menyulam harapan dengan cemas.
Air mata jatuh, bukan karena kecewa,
tapi karena takut tak mampu menjaga dunia
bagi sepasang mata bening
yang lahir membawa cahaya berbeda.
Hari-hari panjang menjelma ujian,
tertatih belajar sabar
ketika langkah kecilmu lambat,
ketika kata-katamu harus dipetik
satu per satu,
bagai bunga yang baru belajar mekar.
Namun, setiap senyummu
adalah Matahari yang menyingkirkan duka,
tawa polosmu meruntuhkan tembok resah,
dan pelukanmu
mengajarkan arti cinta tanpa syarat.
Kami belajar, Anakku,
bahwa istimewa bukan berarti kurang,
bahwa perjuangan bukan beban,
melainkan jalan pulang
menuju hati yang lebih luas.
Trisomi 21 bukan kutuk,
melainkan bahasa rahasia Tuhan
yang berkata:
“Di balik gen yang berbeda,
Aku titipkan jiwa murni
untuk menguji seberapa besar kasihmu.”
Dan kami akan terus berjalan,
bersamamu,
menggenggam hari-hari rapuh,
mengubah setiap tantangan
menjadi doa dan pelukan.
Karena engkau
adalah anugerah yang tak terhitung,
adalah alasan kami belajar arti hidup
lebih dalam dari siapa pun.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
[PUISI] Anakku, Trisomi 21

ilustrasi bayi (unsplash.com/Omar Lopez)
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Editor’s Picks
Editorial Team
EditorYudha
Follow Us