Aku berjalan di punggung badai,
di mana angin menggertak bak serigala yang kelaparan,
dan tanah retak seolah menolak langkahku.
Seperti bayang-bayang pada senja,
yang menyusut dalam cahaya
dan tak pernah hilang,
aku terus melangkah.
Hidup adalah gunung yang menggerutu,
menggugurkan bebatuannya agar kita tahu:
tinggi tidak diberikan,
ia digapai dengan lutut berdarah
dan tangan terbakar Matahari.
Aku adalah bara dalam hujan,
menolak padam meski kuyup oleh kecewa.
Tetes luka jadi percikan kecil,
yang diam-diam memahat cahaya dalam dada.
Katanya, perjuangan adalah pedang,
tajam, memotong arah dan waktu.
Namun bagiku, ia lebih seperti akar—
menyusup diam ke dalam tanah,
mencari air di gurun sunyi
agar pohon harapan bisa tumbuh,
meski perlahan, meski nyaris tak terlihat.
Lalu bila aku jatuh ...
Biar Bumi yang memelukku,
biar malam menulis puisi di tubuhku,
karena aku tahu:
fajar hanya datang pada mereka
yang bersedia menggenggam gelap
tanpa kehilangan nyala.