Di gudang bisu itu, aku dengar dunia merintih
seperti tulang keropos oleh waktu
sulit berdiri tegap oleh janji,
yang pernah diukir di padang rindu itu.
Terkoyaklah selimut gelap yang kupasang di langit
dan aku tahu: malamku sebentar lagi habis.
Aku yang dulu menggenggam hidup
seperti bara di telapak tangan,
kini terjepit oleh bayanganku sendiri.
Tawaku buyar, pecah jadi debu,
sebab setiap huruf yang kutulis kembali menikamku.
Peluru itu menggertak keras,
mengoyak dada yang penuh ambisi busuk.
Aku berlari, tapi langkahku ompong
seperti harimau tua yang kehilangan taring,
menyuruk di antara robekan kebesaran yang kutulis sendiri.
Dan di sana jiwa berdiri, tanpa suara,
mata dinginnya menusuk sampai ke nadi.
Kami dua badai yang saling menelan,
dua kutuk yang tak pernah benar-benar membenci,
hanya menyala untuk saling padam.
Si maut berkepala muram meraih pena,
seolah mencabik batas antara hidup dan mati.
Namaku jatuh di halaman yang tak punya doa
dan aku rebah tertelan malam yang tak lagi kupimpin.
Beginilah akhir para pemburu cahaya:
mati oleh gelap yang mereka pelihara.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
[PUISI] Catatan Terakhir di Ujung Napas

ilustrasi kakek menulis (pexels.com/Tima Miroshnichenko)
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Editor’s Picks
Editorial Team
EditorYudha
Follow Us