Kita berteduh di antara yang tak pernah jelas—
bukan karena tak tahu arah,
tapi karena cahaya dan gelap
tak pernah benar-benar memihak.
Sejak kapan kita berhenti menyebut nama?
Mungkin sejak pelukan menjadi tanda tanya,
sejak keheningan lebih nyaring dari omelan,
dan jarak terasa lebih aman
daripada segala bentuk kejelasan.
Aku duduk di sampingmu
seperti kursi kosong yang malas diisi,
seperti roti basi di rak diskon,
seperti notifikasi tak dibuka,
seperti hidup yang terus tayang
meski tak ada yang benar-benar menonton.
Kita saling pandang
tapi tak sedang saling lihat.
Ada kabut di matamu,
dan aku terlalu malas meniupnya.
Lelah, mungkin.
Atau takut akan apa yang muncul
ketika semuanya benar-benar terlihat.
Kita mencintai dengan kode QR,
memaafkan lewat emoji,
bertengkar lewat jeda balasan,
dan berpamitan dengan tanda "aktif 3 jam lalu".
Di antara notifikasi
dan suara hujan dari YouTube,
aku sadar:
kita bukan saling memiliki,
kita hanya saling menemani
sampai masing-masing merasa cukup sendirian.
Maka kita berteduh,
tanpa benar-benar basah,
dan memilih abu-abu,
karena hitam terlalu pekat,
dan putih terlalu terang
untuk hati yang sedang menghindar.