[PUISI] Melunasi Luka-Luka

Malam itu—lima menit sebelum azan Isya
Ada yang menangis dengan teriakan ngeri
Membelah gelapnya kanvas yang menggantung berkali-kali lipat tinggi orang dewasa
Tangisan itu berbunyi hingga hari meninggalkan rabu
Mungkin saja sedang menangisi hilangnya cahaya bola raksasa yang tidak menyalurkan energi pada tumbuhan, hewan, dan manusia, selama berhari-hari
Kami tak sempat menghitung tak sempat melihat
Pada detik dan menit ke berapa rumah kami yang ternyata dibangun di atas tanah tak keras
Hanyut terbawa banjir menuju ketiadaan
Mengosongkan catatan sejarah tentang keluarga kecil kami
Hanya menyisakan kenangan dalam ingatan yang bahkan sempat porak-poranda
Dan hampir hanyut pula dibawa banjir air mata
Keluarga kami mengungsikan diri
Dan seluruh isi kepala dipindahkan sementara
Orang-orang bernasib sama berkumpul; kedinginan dan kelaparan
Tapi, dikenyangkan oleh kenangan yang menggenang di pikiran
Tak ikut hanyut malah nyangkut di perut
Di tempat ini, kami sama rasa
Tidur beralaskan tikar tipis
Dingin di sekujur tubuh yang bertambah gigil
Dipeluk kehilangan juga kesedihan
Pun begitu, hidup terus mengikuti porosnya
Sedih berlama-lama semakin menenggelamkan kota kami
24 jam dikali empat
Orang-orang meninggalkan pengungsian
Kami mendatangi rumah yang hilang setelah berhari-hari di pengungsian
Banjir yang menenggelamkan rumah kami sudah kembali ke hilir
Ayah menghibur anak-anaknya
Ia bilang, hidup akan terasa ganjil jika yang didapat hanya bahagia-bahagia saja
Rumah kami dibangun lagi
Dengan fondasi kenangan dalam ingatan yang terluka
Kutitipkan pada ayah
Dan warga yang membantu berdirinya rumah baru kami
Lewat tangan-tangan mereka yang tulus terulur
Atas nama persaudaraan