Dulu, rumah ini berbicara dengan suaramu.
Langkah kaki yang khas,
siul pelan dari dapur,
dan nada tenangmu saat bertanya, “Sudah makan?”
menjadi alasan aku merasa pulang.
Kini, dindingnya tetap berdiri,
tapi kehilangan gema.
Jendela-jendela masih terbuka,
tapi angin yang masuk tak lagi membawa hangat.
Sejak kepergianmu,
aku tinggal di tempat yang sama,
tapi merasa asing seutuhnya.
Tak ada yang memeluk
selain kenangan yang berdebu.
Aku berusaha membuat kopi seperti caramu.
Menghidupkan televisi di jam yang sama.
Menyalakan lampu teras sebelum gelap.
Tapi tak satu pun
bisa menghadirkanmu kembali.
Rumah ini tak pernah berubah.
Tapi aku berubah:
lebih sunyi, lebih kehilangan.
Dan barangkali,
lebih dewasa dengan cara yang tak kupilih.
Ayah,
kalau bisa kutarik kembali waktu,
kupilih untuk lebih banyak duduk di dekatmu.
Kupilih untuk bertanya lebih banyak,
mendengar lebih lama.
Kini, yang kupunya hanyalah udara
penuh jejak langkah yang tak lagi ada.
Dan rumah yang tetap berdiri,
tapi tak lagi tahu
bagaimana cara memelukku.
Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
[PUISI] Sunyi Setelah Kepergian Ayah

Photo by Jose Fabrizio Ezquerra Paredes on pexels
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Editorial Team
EditorNabila Inaya
Follow Us