[Cerpen] Momong Sampai Hong Kong

“Biar hanya momong, Sanah sudah sampai, bahkan menetap di Hong Kong. Sementara kita mendengar kota Hong Kong disebut saja masih bengong."

 

“Kalau nilaimu seperti ini terus, mau jadi apa nanti kamu setelah lulus sekolah? Hanya momong anak di rumah?”

Ucapan Pak Slamet, wali kelasnya sewaktu duduk di bangku SMP, terngiang kembali di telinga Sanah. Sampai semester 1 kelas 9, nilai rata-rata rapornya tak pernah lebih dari 65. Peringkatnya juga tak pernah beranjak dari lima terbawah. Mesti berjuang mati-matian untuk keluar dari zona “degradasi” karena peringkat di atasnya, nilai rata-ratanya sudah di atas 75.

Sanah menghela nafas panjang. Dari jendela apartemen Taihing Garden tempat tinggal majikannya di lantai 31, dipandanginya kota Hong Kong, di bawah sana. Jadi ingat desa kelahirannya di Jawa Tengah, Kemangguan, tempat Sanah biasa melihat kota Kebumen dari ketinggian, memandang Samudra Indonesia di kejauhan dan meliak-liuknya sungai Luk Ulo yang membelah kota. Sesaat kemudian pandangannya beralih kepada anak majikannya yang masih terlelap. Lalu ingatannya kembali lagi ke masa lalu.

“Kamu mau melanjutkan ke SMA mana, Sanah?” tanya Santi teman sebangkunya saat perpisahan sekolah.

“Entahlah, nilaiku hanya pas-pasan,” jawab Sanah tak bersemangat.

Sanah masih teringat senyum masam Pak Slamet ketika menyalaminya dalam perpisahan tadi. Sepertinya hendak mengatakan, “Kamu sebenarnya tidak lulus, tapi diluluskan agar tidak mengganggu reputasi sekolah yang selama ini selalu mencatat rekor 100% kelulusan dalam setiap penyelenggaran ujian.”

Kalimat yang senada sudah sering disampaikan Pak Slamet ketika mengingatkan Sanah akan nilai-nilainya. “Kalau nilaimu tak juga bisa naik, jika kamu nanti lulus, sebenarnya karena diluluskan saja. Agar reputasi sekolah kita selama ini tidak ternodai.”

Hampir setiap pekan, Pak Slamet memanggil Sanah ke ruang guru dan mengingatkan terus untuk berusaha memperbaiki nilai-nilainya. Barangkali itu dilakukan karena Kepala Sekolah juga sering menegur Pak Slamet. “Hanya kamu seorang, yang bisa terancam tidak lulus. Peringkatmu sekarang bukan hanya terakhir di antara teman-teman sekelasmu, tapi juga di antara satu angkatan. Malu saya jadinya sebagai wali kelas.”

Sanah hanya mengangguk tanpa berani menatap Pak Slamet. Menjawab dengan sekadar mengiyakan rasanya juga percuma. Hanya akan membuat Pak Slamet terpancing berbicara panjang lebar tentang murid-murid asuhannya yang selama ini mendominasi peringkat terbaik sekolah. Dan, mendapatkan murid seperti Sanah ibarat malapetaka yang menodai karir cemerlang Pak Slamet sebagai wali kelas, yang pernah menyandang predikat guru teladan tingkat kabupaten, dua kali berturut-turut.

Akhirnya Sanah memang tak melanjutkan sekolah. Orang tuanya yang hanya tukang becak motor, tak mampu membiayai Sanah untuk bersekolah di SMA. Walau sekarang katanya pendidikan gratis, ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Bantuan Siswa Miskin (BSM). Toh, semua itu belum mencukupi jika orang tua siswa tidak keluar biaya.

“Mengapa tidak mencoba mencari beasiswa?” tanya Lik Parman, pamannya, yang sebenarnya berharap Sanah melanjutkan sekolah, setidaknya sampai SMA.

Sanah hanya tersenyum kecut. Kalau keinginan pamannya sampai didengar Pak Slamet tentu akan ditertawakan.

“Syaratnya memang apa saja untuk bisa mendapatkan beasiswa?” Lik Parman masih juga mengejar.

“Nilainya mesti bagus lah,” Pak Parto, ayahnya, akhirnya menimpali.

“Nilaimu bagaimana, Sanah?” pertanyaan Lik Parman terasa menusuk perasaan Sanah yang sebenarnya sudah enggan membicarakan nilai ijazahnya.

“Bagaimana mau bagus, sewaktu perpisahan wali kelasnya saja mengatakan, bahwa sebenarnya Sanah tidak lulus, tapi diluluskan karena kasihan, hanya Sanah sendirian kalau sampai tidak lulus.”

Pak Parto menjelaskan dengan sedikit ketus, semakin membuat Sanah terkatup mulutnya. Sulit untuk bicara.

“Bagaimana yang miskin tidak semakin miskin kalau begini.” Lik Parman tampaknya masih bersikeras agar Sanah bisa melanjutkan sekolah, tapi tak juga menemukan jalan keluar masalahnya.

“Sudah lah, Dik. Tak perlu iri dengan rizki orang lain. Kalau mau membantu Sanah, tolong saja dia carikan kerja,” Pak Parto berusaha menenangkan Lik Parman dan Sanah yang masih teraduk-aduk perasaannya.

“Saya tidak iri, Mas. Hanya mempertanyakan kebiasaan masyarakat kita. Di mana-mana orang berbicara pengentasan kemiskinan. Nyatanya kalau mereka membantu orang miskin hanya ingin numpang tenar saja, makanya mau memberi beasiswa hanya untuk orang miskin yang pintar-pintar saja. Sehingga kalau yang diberi beasiswa meraih prestasi, yang memberi beasiswa otomatis akan ikut terkenal. Kalau benar-benar hendak mengentaskan kemiskinan semestinya orang miskin dan bodoh yang diberi beasiswa. Karena mereka yang berpotensi melanjutkan kemiskinan orang tuanya. Siapa yang peduli dengan orang miskin yang bodoh?” Lik Parto akhirnya hanya bisa menggerutu.

Dialog bapaknya dan Lik Parto tak pernah dilupakan Sanah. Orang miskin dan bodoh tak pernah ada yang memperhatikan. Karena tak ada yang bisa dibanggakan membantu orang miskin yang bodoh. Di antara saudara-saudara bapaknya, Lik Parto memang paling kritis, meski pendidikannya juga hanya tamatan SMP. Namun sewaktu menjadi buruh pabrik di Bekasi, Lik Parto menjadi aktivis organisasi buruh. Karena itu, Lik Parto pula yang lebih perhatian kepada nasib para keponakannya.

Sanah akhirnya diajak Lik Parto ke Bekasi, mencoba mencari lowongan kerja di pabrik. Umur Sanah belum memenuhi syarat untuk bekerja. Perusahaan takut mempekerjakan anak di bawah umur 18 tahun, karena melanggar Pasal 68 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Beruntung mantan bosnya Lik Parto, akhirnya mau menampung Sanah. Akhirnya Sanah bekerja di rumah Ahong, mantan bosnya Lik Parto, sebagai pembantu rumah tangga. Istilah sekarang asisten penatalaksana rumah tangga (APRT).

Sebenarnya sudah ada dua orang APRT di rumah bos Ahong. Karena putri sulungnya, Aling sedang hamil muda, Ahong menugaskan Sanah khusus membantu segala keperluan Aling. Agar kelak bisa merawat bayi, Sanah diikutkan kursus babby sitter. Ucapan Pak Slamet sepertinya mulai terbukti.

Sanah bersemangat sekali mengikuti kursus babby sitter. Kerinduan dengan suasana sekolah sedikit terobati, walau teman-temannya kebanyakan jauh lebih tua usianya, karena umumnya sudah lulus SMA. Ketika hal itu diceritakannya kepada Lik Parto melalui telepon, sepertinya pamannya sangat senang.

“Sebenarnya kamu pinter Sanah. Buktinya kamu bisa mengikuti kursus dengan orang lain yang pendidikannya lebih tinggi.” Kata-kata Lik Parto membesarkan hati Sanah.

Setelah Aling melahirkan, kata-kata Pak Slamet semakin terbukti. Pekerjaan Sanah hanya momong anak di rumah. Tapi hal itu tak membuatnya berkecil hati. Ditekuninya pekerjaan dengan baik, Aling dan Aceng suaminya, puas anaknya diasuh Sanah.

Tiga tahun berselang saat Aling hamil yang kedua kalinya, Ahong meminta Aceng mengembangkan bisnisnya di Hong Kong. Untuk itu keluarga Aceng mesti pindah ke Hong kong, walaupun Aling sedang hamil. Sudah tentu Sanah diajak serta, selain mengasuh sulungnya yang masih balita, juga membantu keperluan Aling mempersiapkan kelahiran anak keduanya.

“Sanah mau ke Hong Kong, Pak. Meski pekerjaan Sanah hanya momong, tapi bisa pergi ke luar negeri, Pak. Ke Hong Kong. Besok berangkatnya.” Melalui telepon Sanah memberi kabar kepada bapaknya dan Lik Parto.

“Hati-hati di sana, Nah. Jangan lupa shalat lima waktu,” pesan bapaknya.

“Meskipun kamu sudah kenal baik keluarga Aceng, karena bekerja di luar negeri, kamu harus memiliki paspor, visa dan KTKLN (Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri),” pesan Lik Parto.

“Sudah, Lik. Semuanya sudah diurus Bos Aceng. Katanya karena bekerja di Hong Kong, nantinya Sanah mesti pakai kontrak kerja selama dua tahun. Setelah dua tahun bisa diperpanjang lagi. Jadi besok Sanah pergi ke Hong Kong selama dua tahun, baru bisa pulang kampung,” cerita Sanah tak bisa menutupi kegembiraannya.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Meski sudah dijalani, Sanah masih sering tak percaya bisa menetap di Hong Kong, tinggal di apartemen yang tinggi. Bisa ikut tinggal di rumah bertingkat tiga seperti rumah Ahong saja, Sanah sudah merasa sangat beruntung. Apalagi tinggal di apartemen berlantai 34 dan menempati lantai 31. Dan karena tinggal di Hong Kong, sedikit demi sedikit bisa berbahasa Kantonis, bahasa sehari-hari di Hong Kong.

Tak terasa dua tahun menetap di Hong Kong sudah dijalani Sanah. Kontrak kerja pertamanya berakhir. Sanah bisa cuti dulu dan pulang ke Indonesia selama dua pekan, sebelum menjalani kontrak keduanya. Sanah tidak perlu repot pulang sendiri, karena bersamaan kepulangannya, keluarga Aceng juga pulang ke Indonesia. Daripada harus mencari babby sitter sementara selama kepulangan Sanah, Aling memilih kembali ke Indonesia dulu bersama anaknya, berkumpul dengan keluarga Ahong.

Dua tahun lebih tidak pulang kampung apalagi tinggal di Hong Kong, membangkitkan kerinduan Sanah pada teman-temannya, khususnya Santi teman sebangkunya.

“Apa kabar Santi? Ini Sanah. Lama sekali kita tidak bertemu ya.” Sanah menyapa lewat telepon dengan sedikit ragu. Maklum tak ada temannya yang diberi kabar kalau Sanah pergi ke Hong Kong. Sehingga praktis selama dua tahun terakhir, Sanah tak pernah bertukar kabar dengan teman-temannya.

“Owh Sanah. Kemana saja? Kebetulan kamu menelpon. Besok teman-teman sekelas mau reuni di rumah Pak Slamet. Datang ya?” Santi antusias sekali menerima telepon dari Sanah.

“Ya diusahakan, kalau tidak ada acara.” Sanah meniru gaya majikannya, Ahong dan Aceng ketika menjawab undangan relasinya.

Kalimat Pak Slamet terngiang kembali di telinga Sanah. “Kalau nilaimu seperti ini terus, mau jadi apa nanti setelah lulus sekolah? Hanya momong anak di rumah?”

Suasana di rumah Pak Slamet penuh kegembiraan. Teman sekelas Sanah di SMP semuanya datang. Yang membuat Sanah merasa minder semua menceritakan tentang kuliahnya ketika Pak Slamet menanyainya satu per satu.

“Rudi kuliah di mana?” Pak Slamet seperti mengulang ritualnya saat mengajar, menanyai muridnya sesuai urutan ranking prestasinya.

“Teknik Industri ITB, Pak,” jawab Rudi mantap.

“Bagus. Memang layak dulu kamu lulus rangking pertama,” pujian Pak Slamet membuat Rudi semakin percaya diri.

 “Kalau saya di Arsitektur UGM, Pak,” Arman yang lulus rangking kedua, sudah hafal dengan kebiasaan Pak Slamet, tidak menunggu ditanya langsung menjawab dulu.

“Bagus, kamu juga pantas lulus rangking kedua,” Pak Slamet kembali tersenyum.

Sambil mengingat nama-nama muridnya, Pak Slamet mengedarkan pandangannya. Beberapa kali Sanah merasa Pak Slamet melihat dirinya, tapi segera mengalihkan pandangan ke teman-temannya yang lain. Ketika semuanya sudah menjawab pertanyaan Pak Slamet, menjelaskan di mana kuliahnya, sepertinya Pak Slamet hendak mengakhiri ritualnya.

“Sepertinya ada yang belum ditanya, Pak Slamet?” celetuk Santi sambil melirik Sanah. Yang dilirik jadi salah tingkah. Pak Slamet sendiri kelihatan kikuk jadinya.

“Oh ya. Ada yang belum bapak tanya ya?” nampak sekali Pak Slamet pura-pura lupa, meski berusaha menutupinya dengan mencoba memandangi satu per satu yang hadir.

“Apa Pak Slamet tidak ingat Sanah?” Akhirnya Santi melanjutkan celetukannya dengan pertanyaan.

“Oh ya Sanah, belum bapak tanya. Di mana sekarang Sanah?” meski bertanya Pak Slamet masih terkesan menghindari memandang Sanah.

“Saya sekarang sedang liburan pulang kampung, Pak,” Sanah menjawab pelan dengan kalimat menggantung, memancing rasa ingin tahu pendengarnya.

“Memang kalau tidak sedang liburan di mana Sanah?” Anto yang dulu dikenal paling usil seperti mewakili ungkapan rasa penasaran Pak Slamet dan teman-temannya.

“Di Hong Kong,” jawab Sanah tenang. Diam-diam Sanah banyak belajar berkomunikasi dari majikannya, baik Ahong, Aceng maupun Aling. Bagaimana mengangkat citranya dalam pandangan orang lain.

“Di Hong Kong?” hampir semua temannya bertanya tak percaya. Kalau bukan karena kematangan usianya, Pak Slamet mungkin juga tak bisa menutupi keterkejutannya.

“Yang benar saja, Sanah. Saya ke Jakarta saja belum pernah, kamu malah sudah pergi ke Hong Kong.” Anto tak bisa menutupi rasa penasarannya.

“Iya, saya memang bekerja di Hong Kong sejak dua tahun lalu. Kata pamanku masalah bekerja di mana tidak tergantung prestasi selama sekolah. Masa harus yang rangking satu dulu yang bisa pergi ke Hong Kong?” mendadak Sanah jadi seperti bisa berceramah. Kebiasaan mendengar percakapan dalam bahasa Kanton yang cepat, rupanya ikut memepengaruhi kemampuan Sanah berbicara.

“Kamu kerja apa di Hong Kong, Sanah?” kejar Anto.

Momong anak,” Sanah menjawab sambil melirik Pak Slamet.

“Ha ha ha ...” meledaklah tawa seluruh teman-teman Sanah. Sementara Pak Slamet hanya bisa tersenyum masam.

“Biar hanya momong, Sanah sudah sampai, bahkan menetap di Hong Kong. Sementara kita mendengar kota Hong Kong disebut saja masih bengong. Jadi ada kehebatan Sanah yang belum kita miliki,” Santi memuji bekas teman sebangkunya. Sanah merasa bekas teman-teman sekelasnya, dan utamanya Pak Slamet tak lagi memandangnya dengan sebelah mata.

 

Catatan:

Momong (Jawa): mengasuh anak.

Lik (Jawa): panggilan untuk adik laki-laki ayah atau ibu.

 

Achmad Marzoeki Photo Writer Achmad Marzoeki

Penulis fiksi, feature, berita dan opini

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya