[REVIEW BUKU] Ulasan Novel Pulang Karya Lela S. Chudori: Kisah Tentang Mereka yang Terpinggirkan

"Surga itu terletak di rumah kita, bukan di tempat orang lain." (Putu Wijaya, Sastrawan)

Judul: Pulang

Penulis: Leila S. Chudori

Penerbit: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia)

Cetakan: Keempat, 2013

Tebal: 461 Halaman

ISBN: 978-979-91-0515-8

 

Beberapa hari yang lalu, saya mengunjungi Perpusda (Perpustakaan Daerah) –kebiasaan saya setiap dua minggu sekali. Di tengah jejeran rak buku bagian sastra, saya bingung mau meminjam buku apa. Setelah melihat dan memilih, saya tertarik dengan novel Pulang karya Leila S.Chudori.

Dari mata turun ke hati, begitu salah satu bunyi ungkapan, saya memilih novel ini karena tertarik dengan tampilan sampulnya: berwarna kuning redup; ilusatrasi tangan menggegam –menunjukan isinya tidak lepas dari kata “perlawanan”; dan ada label, di bagian atas kanan buku, bertuliskan Pemenang Katulistiwa Literary Award 2013. Saya juga sempat membaca sekilas di halaman depan. isinya bukan catatan dari editor, melainkan berisi apresiasi dari berbagai tokoh –akademisi, jurnalis dan sastrawan- setelah membaca novel tersebut. Dari sana saya mantap memilih novel ini untuk dipinjam –saya begitu selektif memilih, karena jarak dari rumah saya dengan lokasi Perpusda (Perpustakaan Daerah) cukup jauh, hampir 1 jam perjalanan dengan sepeda motor.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Novel ini menceritakan tentang kehidupan para buronan politik yang mengembara dari satu Negara ke Negara lain,dan akhirnya terdampar di Paris, Prancis. Situasi politik Indonesia yang tidak menentu, tahun 1965, pasca terjadinya pemberontakan PKI, membuat Dimas –salah satu tokoh dalam novel ini- terdampar di Negara yang terkenal dengan mode busananya itu.

Dimas adalah seorang wartawan yang bekerja di kantor berita Berita Nusantara. Kondisi politik Indonesia yang membuat demakrasi antara golongan pro PKI dan anti-PKI , turut mempengaruhi lingkungan kerja tempat Dimas bekerja. Dalam kondisi politik yang menuntut penduduknya memilih antara hitam dan putih, Dimas terjebak diantaranya. Di saat teman kerjanya sedang asyik berdebat tentang ideologi yang paling benar, Dimas lebih cenderung akomodatif. Sikap Dimas ini ditunjukanya dengan tetap menjaga pertemananya dengan mereka yang cenderung berhaluan ‘kiri’ –Nugroho dan Hananto-  dan Mas Amir yang cenderung berhalauan ‘kanan’.

Meskipun Dimas cenderung netral, dan tidak mau terkotak oleh ideologi, hampir sebagian waktunya di habiskan dengan ketiga temanya yang berhaluan ‘kiri’, karena Dimas sudah mengenal Nugroho, Hananto Prawiro, dan Risjaf, sejak menempuh kuliah di Universitas Indonesia. Mas Hananto –tokoh yang paling fanatik dengan faham ‘kiri’- sering menegaskan kepada Dimas agar menentukan sikap politiknya,

“Kau menolak masuk Ormas. Apalagi masuk partai. Kau menolak memihak. Kau mengkritik Lekra tapi kau juga mengkritik mengkritik para penandatangan Manifes Kebudayaan.” (Hlm. 42)

Pada suatu malam, mereka bertemu  untuk membicarakan hal penting di warung kopi langganan mereka, di kawasan Pasar Senen, Jakarta. Dimas sebenarnya masih kesal dengan sikap Mas Han (panggilan Dimas kepada Hananto), karena malam sebelumnya Mas Han masih menemui selingkuhanya dan sempat membuat Dimas kesal dengan pernyataanya tentang Surti, Istri Hananto dan mantan Pacar Dimas sewaktu berkuliah. “Surti adalah isteri, pendamping hidup. Dengan Marni, aku merasakan nafsu kaum proletar yang bergelora.” (Hlm. 39)

Dari pembicaraan itu hidup Dimas yang penuh tantangan dimulai; bersemunyi di berbagai Negara karena dianggap sebagai musuh Negara; bertemu dengan Vivienne Deveraux, yang kelak menjadi istrinya; mendirikan restoran Indonesia di Prancis; dan memiliki anak yang cantik dan cerdas hasil pernikahanya dengan Vivienne bernama Lintang Utara –tokoh utama selain Dimas.

Selain membicarakan kondisi politik –Indonesia dan Prancis-, yang menarik, novel ini juga mengulas tentang kehidupan percintaan remaja di tengah kondisi yang penuh dengan tarik ulur urat saraf dan kebisingan teriakan “Reformasi”. Kisah percintaan remaja ini banyak terlihat dari bab-bab yang mengambil sudut pandang Lintang. Dari sosok Lintang, menurut pendapat saya, kita bisa melihat potret remaja Prancis yang cerdas sekaligus romantis (atau boleh dibilang menggairahkan?). Hubungan Lintang dengan Narayana dan Alam, selalu diselingi dengan ciuman. Hebatnya, Leila menggambarkanya dengan sangat bagus (ketika membaca bagian-bagian itu darah saya selalu mengalir lebih cepat  dan ingin rasanya….. Ah sudahlah. Hahahaha).

Peretemuan antara Nara dengan Lintang berlansgung sejak lintang berkuliah di Universitas Sorbonne, Prancis. Sedangkan pertemuan Lintang dengan Alam terjadi ketika lintang berkunjung ke Indonesia untuk menyelesaikan tugas akhirnya, membuat film dokumenter tentang nasib keluarga Eks Tapol).

Novel ini mengambil seting pasca tragedi tahun 1965: tahun lahirnya salah satu sejarah kelam Negara ini. Dari pengambilan seting; ambisi Lintang untuk mewawancarai para keluarga korban tragedi 65; perjuangan bertahan hidup Dimas beserta kawan-kawanya; dan hubungan asmara para tokohnya; novel ini menawarkan pengetahuan sejarah secara ringan kepada pembacanya. Pengetahuan sejarah yang jarang diungkap. Pengetahuan sejarah tentang THE OTHERS VOICE.

NB: Untuk pembaca yang belum mengetahui (atau memang tidak ingin mengetahui) sejarah kelam tahun 65, silahkan baca novel ini. Dan bagi pembaca yang masih terpesona dengan kata-kata “Piye penak jamanku toh” dengan foto sang jenderal di sisinya, silahkan baca novel ini!

Achmad Soefandi Photo Writer Achmad Soefandi

Alumnus Universitas Negeri Surabaya. Penggemar kopi hitam dan hobi baca buku

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya