[CERPEN] Tentang Siapa yang Membunuhmu dan Terkubur di Tempat Entah

Kau yang mati

Sepertinya secangkir cokelat panas yang setengah jam lalu masih mengepulkan uapnya telah dingin, menyisakan embun-embun di bibir gelas yang jatuh perlahan. Ada yang mengalir mengenai piring kecil di bawah cangkir, ada pula yang meluncur dan menyatu dengan cokelat yang kehilangan panasnya.

Kau tak memikirkan tentang itu sama sekali, hanya terduduk di tepi ranjang sambil menjentik-jentikan ibu jarimu dengan jari telunjuk. Kening yang berkerut, tatapan sendu yang menatap ke lantai, serta helaan napas berat yang terdengar sesekali di antara hening malam, tak ada yang kau lakukan selain itu. Memikirkan sesuatu yang entah apa. Jika bisa menangis, maka kau telah melakukannya sejak tadi. Tapi tidak, kau tidak akan menangis karena dia tak pernah menyukai hal itu.

Perlahan, rintik hujan turun seolah mengerti perasaanmu. Kau bangkit, mendekat ke arah jendela yang tertutup rapat dengan kain gorden. Tanganmu yang gemetar menyibak kain gorden bermotif polkadot tersebut, memandangi kaca yang berembun, dan menuliskan sesuatu di kaca kemudian menghapusnya cepat, membuat sebutir air mengalir ke bingkai jendela bercat hijau.

“Maaf, aku tidak bisa.” Kau menutup telingamu rapat-rapat. Kalimat itu terdengar begitu saja. Suara nan lembut dari seseorang yang kau cintai atau … entahlah bagaimana kau harus menyebutnya sekarang. Yang kau tahu kakimu terasa lemas sehingga kau memilih untuk duduk di kursi depan meja belajarmu. Sementara di meja, secangkir cokelat yang telah dingin tetap tak kau tengok barang sedetik.

“Kenapa?” tanyamu kala itu.

“Apa aku harus menjelaskan sesuatu yang sudah kau tahu?”

“Aku tidak tahu,” jawabmu datar.

Kakinya berjinjit, kemudian diketuk-ketukan ke tanah yang tak berumput di bawah kursi taman yang kalian duduki. Sementara tangannya hanya memegang tas yang berada di pangkuannya. Ia tak memandang wajahmu, tak pula bersuara. Ia hanya menatap rumput liar yang mungkin baru tumbuh kemarin. Sepertinya ia tetap takkan menjelaskan sesuatu yang memang benar katanya, kau telah tahu tanpa dikatakan pun.

“Apa kau harus dengannya?”

Gerakan kakinya terhenti. Ia menggigit bibir bawahnya, mengangguk saru. Sementara kau menghela napas dan tertunduk. Mengepal tangan kirimu yang berada di samping paha dan menempel di kursi, memundurkan sedikit agar ia tak melihatnya.

“Tidak boleh.” Kau menggeleng. Matamu tampak seperti orang linglung yang menatap ke beberapa arah, padahal kau tidak sedang mencari apa pun. Tidak ada cincin, tidak ada setangkai mawar, dan tak ada apa pun yang bisa kau beri untuknya. Bahkan tak ada apa pun yang hilang darimu. Tapi meski begitu sesuatu terasa kosong di dalam hatimu. Raib.

“Apa maksudmu?”

“Kau milikku, kan?”

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Kepalanya terangkat. Mata bulatnya menatapmu yang tak balik memandangnya. “Sudah tidak lagi,” jawabnya dengan suara yang terdengar bergetar.

“Katamu, kau adalah milikku.”

“Mengertilah …,” pintanya memelas.

“Kita bisa melarikan diri dan hidup bersama. Hanya kau dan aku.” Meski ragu, tapi kau tetap mengatakannya.

“Tidak bisa. Ayahku bisa membunuhmu jika kita melakukannya.”

“Bukan masalah. Bukan masalah.”

“Berhentilah bersikap seperti anak-anak. Aku mohon.”

Kau membuang pandangan, menyembunyikan genangan di sudut matamu yang mungkin akan mengalir dalam hitungan detik. Tangan kananmu menarik-narik kerah baju, lalu bergantian memukul-mukul dada yang terasa begitu sesak. Sedangkan ia masih memandangmu, air matanya telah jatuh begitu saja, mengalir membentuk sebuah garis di pipinya yang tembam dan kemerahan.

“Jangan lakukan itu.” Ia menggengam tanganmu. Kau mungkin tidak tahu, tapi dalam hatinya ia selalu merasa beruntung telah mengenalmu. Hanya saja orangtuanya tentu akan menentang kebersamaan kalian. Kau jauh dari kata layak jika harus disandingkan dengannya, begitulah tanggapan orang-orang. Lagi pula hubungan kalian selama lima tahun ini tak lebih dari pasien dan seorang terapis.

Kau bergeming sesaat, air matamu mengalir begitu saja tanpa bisa kau cegah. Lantas kau menatapnya. Mencari-cari sesuatu yang kau sebut sebagai jawaban. “Katakan kalau kau milikku. Katakan padaku kalau kau milikku.”

“Aku akan menikah dengan pria itu. Pria yang aku kenalkan padamu kemarin.”

“Tidak boleh! Kau tidak boleh menikah dengannya!” Kau melepaskan genggamannya, menjerit histeris dan mengacak-acak rambutmu. Membuatnya menengadahkan wajah ke langit, menahan air matanya agar tak kembali mengalir. Setelahnya kau tak mengingat apa-apa. yang kau tahu hanya kau telah berada di kamarmu. Dia tak ada di sisimu, pun langit yang tadinya cerah telah berubah gelap. Sejak saat itu kalian tidak pernah bertemu sama sekali, bahkan sampai malam ini tiba. Malam di mana kau terduduk di kursi depan meja belajarmu dan menatap jendela yang berembun.

Kau tak pernah menemukannya. Tidak di rumah sakit tempatmu dulu melakukan terapi. Tidak di taman tempat kalian biasa bertemu dan berbincang-bincang sambil menikmati es krim. Kau yang menyukai es krim cokelat, dan dia yang menyukai es krim stroberi. Kau juga tidak dapat menemukannya di rumah tua yang berada tak jauh dari rumahmu, tempat yang kalian sebut markas rahasia dan menghias dinding-dindingnya dengan berbagai foto kalian. Tempat itu telah kosong saat kau ke sana, foto-fotonya juga sudah hilang tanpa satu pun tersisa untuk kau jadikan pengingat seandainya nanti kau melupakan seperti apa wajahnya, rambut lurusnya yang sepundak, dan tahi lalat di hidungnya yang sangat kau suka. Ia lenyap selenyap-lenyapnya. (*)

Lily Rosella Photo Verified Writer Lily Rosella

Penulis kumcer "Iblis Pembisik" (2019)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya