#MahakaryaAyahIbu: Sebatas Mahakarya Anak Desa

Kalau udah makin bagus, gue resign, pulang. Bareng bapak, Heru, sama Sugeng, kita ngurus cabe sama ikan.

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


"Mbon, kenapa sih elu tinggal di mesjid?" Tanya Yusuf ke gue. Gue di kantor dipanggil Ambon karena punya rahang mirip rahangnya orang Batak. Karena orang Batak ada di Medan, dan karena oleh-oleh Medan adalah bika ambon, maka jatuhlah nama Ambon. Aneh kan teman-teman kantor gue?

"Ya karena gue miskin, Cup. Hahaha!" Yusuf yang dijuluki cupcupmuah di kantor ini terlihat kurang puas dengan jawaban gue barusan. Jadi dia minta elaborasi lagi, "Maksud elu?"

"Ya maksudnya, gue bokek. Kosan mahal. Mending gue tidur di mesjid, bersih-bersih juga tiap hari."

"Wah, dibayar dong elu?"

"Kagak lah. Malah gue kudu bayarin listriknya."

"Kejem juga ye pengurus mesjidnya?"

"Kagak lah. Toh murahan bayar listrik daripada bayar kosan."

"Hoo, pinter ya elu."

"Pinter lah. Makanya gue sering disuruh azan. Ngimamin juga."

"Orang macem elu ngimamin?"

"Kagak percaya? Gue ngimamin, kalau makmumnya semua anak-anak. Hahaha!"

"Bah!" Yusuf bersungut-sungut sama jawaban gue. Sambil komat-kamit ngedumel, tampangnya makin mirip ikan lele. Sekantor dan sering jalan bareng Yusuf bikin kami makin banyak omong. Maklum, kerja jadi salesman memang menguras lidah. Tapi baru akhir-akhir ini dia tahu soal gue jadi marbot. Nggak kuat diam lama, Yusuf buka mulut lagi. "Elu pake narkoba ye?"

"Apaan? Kagak lah. Nih, badan seger begini juga."

"Lah trus duit gaji elu kemanain? Elu ke kantor jalan kaki, makan di warteg, tidur di mesjid, baju juga itu-itu aja. Nggak mungkin kan elu bokek? Gaji kita juga nggak dikit-dikit amat."

"Kalau mau tahu, libur akhir tahun ntar ikut gue pulang kampung."

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Ke Medan?"

"Apaan ke Medan? Kampung gue di Jawa, Jawa Timur."

***

Pulang kampung, jauh dari sumpeknya kota memang menyenangkan. Apa lagi Yusuf ikut. Bagusnya lagi, dia nggak ngerti bahasa Jawa sama sekali. Jadi waktu ketemu tetangga kampung, gue sekalian ngomong krama inggil. Mampuslah Yusuf.

"Ibu elu di mana, Mbon?" Tanya Yusuf setelah akhirnya kami tinggal berdua lagi, jalan-jalan lewat ladang kacang Mas Gatot tetangga kami.

"Ibu?" "Udah nggak ada, Cup." Habis dengar jawaban gue, Yusuf (pertama kalinya) bisa diam lebih dari sepuluh menit. Terakhir kali Yusuf diam lama adalah pas dia tidur miring karena kalau telentang, dia ngorok. Kami menyusuri ladang kacang, petak-petak cabe, jembatan kecil, lalu menuju gubuk kecil. Di sana sudah ada dua orang teman SD gue: Sugeng dan Heru.

"Kenalin nih, teman gue, Heru sama Sugeng." Yusuf salaman sama mereka. Habis itu kami ngobrol soal tanam-tanaman. Yusuf mampus lagi soalnya selain bahasa Jawa, bahasan tanam-tanaman juga nggak nyantol di kepalanya. Dia duduk macem patung semen, kokoh tak tertandingi. Sekali-sekali nimbrung tapi canggung.

"Apaan sih Mbon ngobrol soal-soal tanaman tadi?" tanya Yusuf waktu kami berjalan pulang.

"Jadi gini, Cup. Buat jawab 'ke mana gaji gue pergi?' yang waktu itu elu tanyain pas di kantor, ya itu tadi jawabannya. Duitnya ke pohon cabe, tanah, pupuk, Sugeng, sama Heru."

"Jadi sawah cabe tadi punya elu? Gile Mbon!"

"Ah, nggak ngerti juga ya elu pas kita ngobrol tadi. Sawah itu punya Mbah Ripah, tetangga sebelah rumah gue. Sawahnya gue sewa, yang nanemin Sugeng sama Heru. Ya ke sana-sana gaji gue pergi. Kalau udah panen, baru gue dapet duit."

"Kenapa musti gitu?"

"Gue pengen bikin mahakarya, Cup. Ibu gue udah nggak ada. Sama kayak suaminya Mbah Ripah. Sama juga kayak orang tuanya Sugeng, Heru juga."

"Jadi mahakaryanya apa?"

"Sebelum meninggal dulu, ibu gue cerita, bapak gue pengen punya sawah sama ternak ikan. Tapi gue malah ke kota, kerja sama elu begini. Jadi ya pelan-pelan ngumpulin, Cup. Kalau habis panen cabe duitnya bagus, mulai bikin kolam ikan. Kalau udah makin bagus, ntar gue resign, pulang. Bareng bapak, Heru, sama Sugeng, kita ngurus cabe sama ikan."

Yusuf matanya kedip-kedip. Habis dehem-dehem dia bicara.

"Gue jadi pengen hidup di desa."

***

Al Amien El Faroosyah Photo Writer Al Amien El Faroosyah

PPAT: Pejabat Penjual kredit alat pel putar dan Alat rumah Tangga. Penulis Pemula dan AmaTiran. Mari Pak, Bu, dilihat dulu. Barang-barang saya bagus lho. B)

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya