[CERPEN] Kaca di Kedai Kopi

Kaca tak hanya merefleksikan bayangan diri, tapi juga menunjukkan kita dari sisi yang lain

Bulan ini sama menegangkannya dengan tahun lalu. Desember kala itu penduduk desa dihantui dengan mimpi buruk badai yang disertai angin kencang. Aku bisa menyaksikan sendiri bagaimana semua orang berusaha memungut sayur atau buah yang masih bisa diselamatkan begitu badai mulai reda. Kala itu ayahku pergi ke kebun untuk melakukan hal yang sama. Sementara aku dan ibuku berusaha membersihkan rumah dari genangan air akibat hujan deras di malam sebelumnya. Oh, itu benar-benar sebuah mimpi buruk yang tak ku harapkan terjadi lagi!

Desember kali ini sama kelamnya. Seorang gadis telah ditemukan tak bernyawa di sebuah kebun teh yang berada di perbukitan. Tidak ada yang tahu siapa pembunuh gadis tersebut. Namun dengan kematiannya, hal tersebut telah menjadi sebuah ancaman bagi desa kami.

Semenjak kejadian itu penduduk desa mulai meningkatkan kewaspadaan. Kami selalu memperhatikan gerak-gerik orang tak dikenal yang kebetulan mampir atau hanya sekedar lewat di desa kami.

Sampai hari ini total korban mencapai tiga orang, setelah dua orang gadis kembali ditemukan tak bernyawa di dua tempat berbeda: di lumbung padi salah satu warga, dan di belakang aula serba guna. Kejadian ini membuahkan kesimpulan bahwa sang pelaku mengincar seorang anak gadis sebagai korbannya. Kepala desa kami kemudian mengeluarkan himbauan untuk setiap keluarga yang memiliki anak gadis agar selalu menemaninya bepergian, dan membatasi jam keluar anaknya hanya sampai pukul tujuh malam. Beliau sendiri sebetulnya telah mengetahui wajah dari pelaku tersebut dan menyebarkan posternya kepada seluruh penduduk desa. Namun karena kelihaian sang pelaku, hingga hari ini ia belum juga tertangkap.

Ketegangan mulai menyelimuti desa. Tak ada gelak tawa dan obrolan santai yang terjadi di jam makan siang, maupun di sore hari menuju senja. Seluruh penduduk tampak murung. Semuanya merasa desa ini sudah tidak aman. Lebih buruknya lagi, penduduk desa mulai mencurigai satu sama lain. Mungkin saja ada kaki tangan pelaku yang berbaur di antara kami. Semua orang menjadi waspada, termasuk kedua orang tuaku.

Aku tahu memiliki anak gadis dalam situasi seperti ini seolah menjadi suatu kesalahan besar. Sungguh mereka sangat mengkhawatirkan aku. Semenjak kejadian di kebun teh itu, ibuku selalu mengajakku ketika ia ingin membeli sesuatu di pasar. Ia tak mau aku berada di rumah sendirian sehingga jika suatu hal yang buruk terjadi, aku tidak memiliki siapa-siapa untuk melindungiku.

“Ayo, Joe! Bantu aku dengan semua kesibukan ini,” ajak Ibu pada suatu siang.

“Banyak sekali barang yang harus dibawa. Apa tidak sebaiknya kita menunggu ayah?”

Siang itu aku dan ibuku tengah membereskan rumah dan menata kembali perabot yang ada untuk menciptakan suasana baru. Setelah semuanya selesai, kami menemukan beberapa barang yang tidak terpakai dan memutuskan untuk menjualnya di pasar.

“Ah tidak apa, kita bisa melakukannya, Sayang.”

Oh, ibu! Sungguh dia adalah sosok yang sangat manis.

Akhirnya kami berangkat dengan sedikit kewalahan. Kedua tangan kami penuh membawa berbagai macam barang. Kulihat awan mulai berkumpul membentuk suatu pemandangan yang redup. Matahari bahkan tak nampak ditutupinya.

“Hujan?”

Aku tidak benar-benar berniat mengatakannya. Itu lebih seperti bergumam pada diriku sendiri. Namun sepertinya ibu mendengar ucapanku. Dirinya yang berjalan di depanku membalikkan badan dan tersenyum dengan manis, seolah memberi pesan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Aku membalas senyum ibuku. Dan saat itulah aku tahu bahwa semuanya memang akan baik-baik saja.

Setibanya di pasar kami langsung menghampiri pedagang kelontong yang biasa menerima barang-barang bekas. Cukup lama kami berada di sana mengingat barang yang akan kami jual juga cukup banyak.

Sambil menunggu ibuku yang sibuk bertransaksi aku mengedarkan pandanganku ke sekeliling pasar. Siang itu nampak cukup sepi, tidak banyak pengunjung yang datang untuk berbelanja di pasar. Beberapa pedagang terlihat bosan, bahkan ada seorang pedagang yang tertidur di hadapan dagangannya. Oh dia pasti lelah!

Mataku terhenti saat kulihat Pedagang Lori tengah menjajakan dagangannya di sudut pasar. Ia adalah seorang penjual topi rajut yang hanya berdagang satu kali dalam seminggu. Beberapa kali aku mengunjungi pasar, namun tidak juga menemukan dirinya. Tentu, hari ini adalah harinya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Ibu, aku akan pergi menemui Lori,” pintaku pada ibu.

“Oh! Tidak sayang! Aku belum selesai di sini.”

“Tak apa, Bu. Hanya sebentar. Ibu bisa mengawasiku dari sini.”

Ibuku tampak keberatan. Mengingat situasi desa kami yang tengah dilanda teror, tentu tidak akan mudah baginya untuk membiarkanku berjalan sendirian. Tapi kemudian keraguannya tergantikan oleh senyum manisnya.

“Baiklah, aku akan mengawasimu, gadis kecil!” Kedua jari telunjuk dan tengahnya ia arahkan tepat di mataku, lengkap dengan wajah sinisnya.

Aku tertawa. Kemudian aku berlari menghampiri Pedagang Lori dan meninggalkan ibuku di tempat pedagang kelontong. Pedagang Lori menyambutku dengan hangat. Ia dengan sigap menawarkan berbagai macam jenis topi yang menurutnya sangat cocok untukku. Sesekali aku tertawa ketika ia melontarkan berbagai macam lelucon saat menawarkan beberapa topi.

“Topi ini Ratu Elizabeth berikan untukku. Ia bilang ‘Untukmu saja, aku sudah punya yang baru.”

Oh tentu itu tidak mungkin terjadi!

Belum habis kami membahas soal Ratu Elizabeth dan topinya, rintik-rintik hujan mulai turun membasahi kami. Pedagang Lori berjualan tepat di tengah persimpangan jalan. Itu berarti kami harus mengungsi agar tidak basah diterpa air hujan.

Aku berlari menuju ke sebuah bangunan di seberang kedai kopi. Ada sebuah kanopi kecil di sana yang bisa digunakan untukku berteduh. Aku tidak begitu memperhatikan ke mana Pedagang Lori pergi. Tapi sepertinya ia mengambil arah yang berbeda denganku.

Aku tidak bisa melihat di mana ibuku. Kedai itu menutupi kios di mana pedagang kelontong tadi berada. Aku harap ia tidak panik ketika melihat aku tidak ada di tempatku semula. Di sini, aku berasa baik-baik saja.

Hujan nampaknya tidak akan berhenti dalam waktu dekat. Aku mulai bosan. Satu-satunya hal yang bisa aku lakukan adalah memperhatikan gerak-gerik setiap orang yang ada di kedai itu. Semuanya tampak menikmati kopi hangat mereka. Oh sungguh itu sangat pas jika dilakukan pada saat hujan seperti ini. Aku tidak begitu memperhatikan setiap orang yang ada di sana. Semuanya tampak tersamarkan oleh rintik air hujan yang mengenai kaca jendela kedai.

Aku menaruh perhatian lebih ketika aku mendapati sosok wajah yang begitu familiar di dalam kedai kopi itu. Ia berjalan dari arah pintu dan menghampiri barista yang ada di sana. Aku bisa mengenalinya karena ia memiliki rambut panjang berwarna kemerahan, perawakan fisik yang sangat jauh berbeda dari penduduk di desaku. Aku berusaha mengingat siapa genangan pria yang ada di sana. Ayolah, namanya saja!

Aku tersentak dan bahkan hampir jatuh ketika akhirnya aku bisa mengenali sosok itu. Wajahnya pernah ku lihat di dalam poster yang dibagikan oleh kepala desa. Dalang di balik seluruh ketegangan yang menghantui desa kami. Orang yang telah membuat kami resah. Orang yang telah tega merenggut nyawa anak gadis di desa kami. Dia adalah si pembunuh!

Meski pembunuh itu berada di tempat yang berbeda denganku, aku tetap merasa ketakutan. Tubuhku kaku. Kakiku lemas. Tenggorokanku kering seolah tidak bisa mengeluarkan suara sedikitpun. Dengan perasaan gemetar aku terus mengawasi pria itu. Kalau-kalau dia beranjak keluar dari kedai, aku akan berlari secepat yang aku bisa. Untungnya, dia nampak asyik berdiri di sana, entah apa yang ia lakukan di balik tubuh besarnya itu. Oh sungguh aku sangat membutuhkan ibu di saat seperti ini. Di mana engkau, ibu?!

Pria itu membalikkan badannya. Ia tersenyum kepadaku!

Oh gawat! Aku ingin berlari sekencang mungkin ke rumah. Tapi kakiku terlalu lemah untuk bisa berjalan. Tanganku bergetar, begitu juga lututku. Keringat dingin terus mengalir di sekujur tubuhku. Sungguh aku tidak bisa berkutik berada di hadapannya. Tapi bukan tatapannyalah yang membuatku takut. Tapi kenyataan bahwa sejak tadi aku hanya memperhatikan pantulan dirinya di kaca kedia itu!

Oh ow!

Allisa Waskita Photo Writer Allisa Waskita

Unpredictable writer interested in exploring various topic.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Paulus Risang

Berita Terkini Lainnya