[CERPEN] Yang Hilang Bersama Hujan

Luka yang sempurna saat seseorang tidak merasakan nyeri lagi

Nat merapat di sudut tembok gedung lembaga bahasa tempat ia mengajar. Percikan hujan meninggalkan noda kotor berbentuk lingkaran  pada celana katunnya.

Nat tidak suka hujan; sangat membencinya. Hujan selalu memaksa memori di otaknya menggali kembali masa lalu. Miliaran jarum langit itu membawanya pada satu titik perasaan: kesedihan. Satu kata yang berhubungan dengan kata lain: kehilangan, kesepian, kesunyian, dan luka hati. Saat itu ia masih gadis kecil, belum genap dua belas tahun. Papa berpulang untuk selamanya karena serangan jantung. Jejak kenangan itu masih terpasung kuat di memori otaknya, walau tujuh tahun telah berlalu.

Yang masih segar di ingatan, tatkala Sea mengutarakan keinginannya untuk mengakhiri jalinan manis di antara mereka. Itu satu bulan yang lalu. Untuk alasan yang akhir-akhir ini kerap membuat mereka bersitegang. Sea merasa kehilangan waktu berarti karena kesibukan Nat.

“Aku enggak suka setiap kali mau ketemu kamu harus janjian dulu kayak mau ketemu pejabat saja. Sudah janji pun kamu belum tentu bisa menepatinya,” ungkap Sea sore itu  dengan tatapan tajam. Nada suaranya kentara sekali kalau ia sedang kesal.

Untuk sesaat, Nat tak mampu berujar.

“Kamu tahu sendiri kalau aku selalu mendukung keinginanmu mengajar. Aku bangga karena kamu bisa membiayai sekolahmu sendiri dan bisa meringankan ekonomi keluargamu. Tapi, akhir-akhir ini kesibukanmu sudah tidak bisa aku terima lagi. Kita jadi semakin jauh dan tidak punya waktu bersama,” desahnya kemudian lirih.

“Dulu ... kamu bilang bukan masalah dan tak akan mengganggu hubungan kita.” Nat mencoba membela diri.

“Itu sebelum kamu menerima tawaran menjadi guru les privat,” sergah Sea gusar.

“Aku setuju kamu mengajar di lembaga bahasa yang waktu dan tempatnya sudah pasti. Tapi, tidak untuk les privat yang menyita waktumu.  Bukankah kita sepakat kalau Sabtu dan Minggu adalah hari kita?  Sejak kamu mendapat beasiswa dari yayasan  tempat Mamamu mengajar, berapa kali kita bisa melewatkan waktu bersama?” Suara Sea berubah tinggi.

Nat menunduk kikuk. Hati kecilnya sulit menyangkal. Waktu bersama mereka banyak tersita oleh jadwal mengajarnya. Nat juga lebih fokus pada pelajaran dan sibuk mencari tambahan untuk biaya kuliahnya kelak. Meski yayasan memberinya beasiswa, rasanya tidak mungkin bila ia tidak belajar serius. Berapa banyak orang yang berharap bisa kuliah gratis. Nat adalah salah satu orang yang beruntung itu.

“Lalu, aku harus bagaimana?” tanya Nat dengan suara patah. Matanya menatap Sea, muram.

Sea sempat membayangkan Nat akan memohon pengertian atau minta maaf. Paling ekstrem, ngotot mempertahankan pendapatnya. Apa Nat sudah tidak mencintainya lagi? Perasaan Sea terluka. Padahal, ia sudah mengorbankan waktu sosialisasi dengan teman-temannya agar bisa menghabiskan akhir pekan bersama Nat. Namun, Nat yang ada di hadapannya saat ini kerap membuatnya kesal dan kecewa. Egonya sebagai cowok tidak bisa menerima.

“Sebaiknya kita sudahi saja semuanya, Nat,” ujarnya tiba-tiba.

Nat terkesiap. Aliran darahnya seakan berhenti sesaat. Seperti ada yang menusuk dadanya.

“Apa enggak ada solusi lain, Sea?” tanya Nat agak bergetar. Di selaput matanya ada bayang bening yang siap pecah dalam satu kerjapan mata.

Sea terpaku, lalu buru-buru memalingkan wajahnya. Ia rindu Nat yang dulu. Nat yang selalu membicarakan keputusan yang akan ia ambil dengannya. Nat yang manja dan selalu menyertakan dia dalam kehidupannya. Saat itu telah berlalu, saat pertengkaran kecil di antara mereka tak menguras energi dan pikiran.

“Aku sudah berusaha mengerti dan memahamimu, Nat. Mungkin aku sendiri yang tidak cukup berbesar hati untuk menerima situasi ini. Maaf, aku merasa hubungan kita tidak akan berhasil.” Sea menatap Nat dengan ekspresi kaku.

Nat kelu, kehilangan kata-kata. Ia menelan ludah, berjuang membendung air mata yang hendak keluar.

“Nat...,” Sea meletakkan tangannya di jemari Nat.

“Kamu gadis yang baik. Kamu akan mendapatkan cowok yang lebih baik.”

Nat tersenyum patah. Kalimat basi yang kerap diucapkan sebagai penghiburan ketika seseorang akan meninggalkan orang yang pernah dikasihinya, semata-mata untuk mengurangi perasaan tidak nyamannya atau rasa bersalahnya?

 “Kamu tahu sendiri, keluargaku tidak seperti keluargamu yang lebih dari berkecukupan. Aku....”

“Stop, Natania, aku sudah tahu semua itu sebelum aku menjalin hubungan  denganmu! Kapan aku pernah mempermasalahkan status sosialmu? Ini soal aku dan hatiku,” tukas Sea, tajam.

Nat tertunduk lesu. Antara kekuatan cinta dan tangung jawab yang ada di pundaknya, haruskah ia menolak pekerjaan yang bisa membantu meringankan ekonomi keluarganya? Hampir tiga tahun ia menjalani rutinitas ini. Sejak kelas satu SMA ia sudah mendapat tawaran mengajar bahasa Inggris untuk siswa SD dan SMP di sebuah lembaga bahasa asing.

Sebenarnya, Mama yang ditawari seorang teman untuk mengajar di sana. Namun, karena kesibukan Mama mengajar di sebuah SMP swasta, belum dua bulan mengajar,  Mama sudah menyerah. Bisa dimaklumi, setiap hari Mama harus pergi mengajar dari pagi dan pulang sekitar jam tiga sore. Sebagai orang tua tunggal dengan tiga anak gadis yang tengah beranjak remaja, Mama tidak mau keluarga jadi tak terurus karena tidak punya waktu untuk berbincang dan mendengar keluh kesah anak-anaknya.

Mama menawarkan kesempatan itu pada Nat. Teman Mama yang sudah tahu kemampuan Nat langsung setuju. Apalagi sebelum mengajar, Nat selalu membahas materi yang akan ia sampaikan dengan Mama.    

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Sejak baru belajar bicara, Mama sudah mengajarkan perbendaharaan kata dalam bahasa Inggris kepada ketiga anaknya dan mewajibkan anak-anaknya menggunakan bahasa Inggris di rumah. Nat bersyukur bisa memetik buah dari pengajaran Mama. Sejak kelas satu SMA ia bisa membiayai sekolahnya sendiri. Begitu selesai SMA nanti, yayasan tempat Mama mengajar memberikan beasiswa bagi anak-anak yang berprestasi. Tuhan memang ajaib; bekerja di luar jangkauan pikiran manusia!

Please, Nat, aku enggak mau berdebat lagi soal ini. Aku enggak mau hubungan kita setelah ini menjadi dingin atau jadi bermusuhan. Aku tidak memungkiri kalau dulu kita punya momen manis bersama.”

Nat yakin ia tidak mampu bersikap seperti yang Sea harapkan.

“Jadi, cuma itu yang ingin kamu katakan, Sea? Hubungan kita sudah tidak bisa dipertahankan lagi,” desis Nat dengan suara sengau.

“Maafkan aku, Nat. Aku memang cowok egois yang tidak suka waktu dan perhatian yang seharusnya untukku dibagi dengan hal lain.”

“Aku mencoba mengerti.” Nat berusaha menyembunyikan getar pada suaranya. Orang cenderung mencari kenyamanan. Bila sesuatu sudah tidak sesuai dengan harapannya, tinggal dilepas atau cari gantinya. Sama dengan perasaan manusia, selalu mengalami perubahan. Hari ini dan esok, pasti berbeda.

Selanjutnya, hanya keheningan yang memenuhi udara. Sementara hujan di luar seolah enggan berhenti. Sea masih duduk di hadapannya, kentara sekali ia berusaha bersikap senyaman mungkin. Tidak ada lagi binar cinta di matanya saat menatap Nat atau wajahnya yang ekspresif bila Nat sedang bercerita atau mengomel karena kesal. Secepat itu semuanya berubah. Jika bukan karena gengsi, Nat sudah menangis. Namun, ia harus kuat. Ia harus bisa tegar di hadapan Sea. Keyakinan bahwa Sea bukan sosok yang Tuhan kirimkan untuknya, membantunya tidak menitikkan air mata.

“Kamu masih harus mengajar?” Suara Sea menyeruak keheningan.

Nat mengangguk.

“Aku pulang.”

“Masih hujan.” Nat mencoba menahan. Ia masih belum rela berpisah.

“Tidak akan mengubah keputusan yang telah kita ambil, ‘kan?” Sea tertawa sengau.

Nat melempar pandangannya ke luar. Miliaran jarum langit itu membuat matanya menghangat; mengaburkan pandangan matanya. Ia berusaha menelan ludah yang tersekat di tenggorokan. Hujan semakin deras, berbaur dengan hujan di hatinya.

Sea menggeser kursinya dan berdiri.

“Jaga dirimu baik-baik. Jangan terlalu sibuk sampai melupakan kesehatanmu.”

Mungkin, itu pesan Sea yang bisa Nat dengar untuk terakhir kalinya. Nat berusaha menarik sudut bibirnya sedikit dan mengangguk. Selanjutnya, ia cuma bisa memandangi Sea pergi menembus miliaran jarum langit yang membasahi tubuhnya. Sebegitu kecewa dan kesalnyakah Sea sampai memilih kuyup kedinginan dibanding bersamanya menanti hujan reda? Nat hanya mampu mendesah; melegakan dadanya yang menyesak tiba-tiba.

Percikan air hujan menyentuh wajah Nat. Ia mengerjap, mengembalikan angannya yang mengembara jauh melintasi ruang waktu. Hujan masih turun, tetapi tidak sederas tadi. Nat melempar pandangannya ke pelataran parkir. Ia masih selalu berharap Sea ada di sana. Duduk di atas motor besarnya, datang menjemputnya. Sekali lagi ia harus menelan kecewanya. Ia mendesah, masa itu telah berlalu. Hosea Daniel tidak akan pernah kembali padanya. Nat dapat merasakan itu.

Setelah ultimatum putus itu terucap, Nat mencoba untuk mengintrospeksi diri. Ia berharap bisa memperbaiki hubungannya dengan Sea. Namun, hati manusia sulit diduga. Terutama bila menyangkut perasaan. Hampir tiga tahun menjalani kebersamaan, dalam hitungan hari seakan pupus tidak berbekas. Selang satu minggu, Sea sudah menggandeng gadis lain, tepat di depan matanya.

Nat merasakan lubang besar di hatinya. Kepalanya terlalu berat; penuh dengan hal-hal yang sulit ia mengerti. Masih dalam masa perenungan dan introspeksi diri, tokoh utama dari semua perenungannya sudah pindah ke lain hati. Bohong bila Nat tidak merasa terpukul. Sedangkal itukah perasaan Sea padanya? Secepat itukah rasa di hatinya pupus dan mati?

“Nat, perlu tumpangan?” Suara seseorang mengembalikan Nat pada realita. Bang Bara, sesama pengajar membuat Nat mengangkat wajahnya.

Hujan telah berhenti. Nat menggeleng seraya mengucapkan terima kasih untuk tawaran menumpangnya. Saat ini ia hanya butuh sendiri,  menjalani dan menikmati perasaaan sakitnya. Mungkin, ia bisa menutup mata dan telinganya dari apa yang tidak ingin ia lihat dan dengar. Namun, untuk hati, Nat tidak bisa menutup hatinya dari apa yang ia rasakan.

Nat melangkah gontai, menyusuri jalanan yang teduh dipayungi pohon-pohon raksasa. Kekosongan yang begitu kuat menyergapnya, meninggalkan jejak dingin dan kuyup di hatinya.

“Hanya luka kecil, Nat. Karena kamu masih bisa merasakan nyerinya di lubang hatimu,” hiburnya, menguatkan hati.

Sejenak, dihirupnya oksigen sepuasnya. Sudah saatnya melepas apa yang coba ia pertahankan bila ternyata hanya membuatnya terluka. Meski sulit, ia harus mengikhlaskan apa yang bukan takdirnya. Seperti yang selalu Mama katakan, cinta tidak bisa dipaksakan. Cinta akan menemukan jalannya sendiri untuk bahagia.

“Kita tidak selalu harus mendapatkan apa yang kita inginkan.” Sepotong percakapannya dengan Mama menyeruak di ingatan Nat. Dari perempuan terkasih itu pula ia belajar tentang kekuatan hati;  kekuatan mencinta.

Saat ini, yang harus ia lakukan adalah menata kembali hatinya. Jalan yang ia tempuh masih panjang. Yang terpenting dari segalanya, ia masih memiliki keluarganya, Mama dan kedua adiknya. Mereka adalah orang yang akan selalu mendukung apa pun yang ia lakukan, terutama yang menyangkut masa depan dan kebahagiaannya. Dimulai dengan menembus perguruan tinggi negeri, berbekal beasiswa yang ia terima.***

Baca Juga: [CERPEN] Tentang Senja dan Fajar

Ana Lydia Photo Verified Writer Ana Lydia

God's plan is always more beautiful than our desire

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya