[CERPEN] Aku Tak Punya Pistol

Aku bersumpah!

 

Aku Tak Punya Pistol

 

Tujuan awalku menceritakan kisah ini adalah untuk mengenang temanku. Aku mengenalnya sebelum dia lahir, sejak Ibu Park di samping rumahku mengandungnya. Semua orang menantikan kehadirannya dengan sukacita. Kami tumbuh bersama. Ketika menginjak bangku SMP, aku memasuki rumahnya malu-malu karena dia berseru memanggilku.

“Kak Yoga! Kakak suka kucing, kan? Sini!”

Aku membungkuk hati-hati, melewati orang tuanya yang sedang bersantai menonton televisi.

“Kero sudah melahirkan. Anaknya tiga.”

Di sudut rumahnya ada kandang kucing. Jimy mengeluarkan satu bayi itu dan meletakannya di lantai.

“Lihat! Yang ini mirip sekali Kero tapi warnanya abu. Telinganya juga warna abu-abu.”

“Matanya masih menutup, ya….”

“Iya. Padahal sudah satu minggu.”

Jimy meraih kembali bayi itu dan meletakannya di perut Kero yang dari tadi berputar-putar gelisah di dalam kandang. Induk kucing itu menjilati anaknya. Kero seekor betina Himalayan (Campuran Kucing Persia dan Siamese) bermata biru bening. Bulunya berwarna broken white dengan aksen cokelat tua di wajah dan telinga. Anaknya yang lain berwarna belang hitam. Sebab itulah si telinga abu jadi satu-satunya yang mirip dengan si ibu.

“Yang lain mirip ayahnya,” Jimy berucap ketika kami sama-sama terhanyut.

“Memang ayahnya siapa?”

“Kucing Ibunya Juna. Jantan yang warnanya belang hitam.”

Tetangga.

“Coba pegang dia, Kak. Kero sebenarnya kurus. Bulunya saja yang tebal. Makanya kasihan dia waktu melahirkan.”

Kurus.

Kucing Himalayan dengan aksen kelabu. Lihat! Telinganya juga abu-abu.

Kata-kata kunci itu tersimpan dalam benakku ketika mengenang masa kecil aku dan Jimy.

Aku dan Jimy berteman bahkan setelah semua kucing-kucingnya tiada. Topik pembicaraan kami beralih. Tak ada Kero. Tak ada kucing beraksen kelabu. Jimy sudah SMA kelas tiga waktu aku bermain ke rumahnya dan dia tiba-tiba berkata, “Kak, aku dapat peringkat satu di kelas.”

Oh, betapa polosnya.

Seumur hidup aku tak pernah melihat anak sebesar itu berkata hal remeh tentang peringkat di kelas dengan begitu bangga, dengan begitu murninya, seolah-olah itu adalah pencapaian terbaik seluruh umat manusia. Umurnya delapan belas dan dia masih memamerkan diri tentang ranking dan angka-angka.

Aku hanya bisa tersenyum melihat dia bercerita. Katanya itu terjadi pada semester satu dan dua. Jimy berkata bahwa Juna mengekornya di peringkat dua. Kutanya dia, apa itu Juna yang jadi mertua kucingnya? Oh, ya, benar! Tentu saja. Dia besanku, Kak! Ya, ya. Semua orang pun akan mengira Jimy menjawab begitu. Jimy selalu bisa menemukan topik menarik di persoalan paling sepele sekali pun. Itulah mengapa aku akan memilih Jimy jika diberi kesempatan untuk berlibur. Selain karena dia bisa disuruh-suruh (Oke, aku tahu ini sedikit jahat), aku juga penasaran apa yang akan ia katakan dan apa pendapatnya tentang alam; pepohonan, burung, gemericik air terjun dan awan-awan. Kami mungkin akan memakai mantel dan kupluk hitam. Jimy akan menggigil kedinginan. Mulutnya mungkin berasap. Aku mau mendengarnya memekik bersemangat karena itu semua. Lalu ia akan bercerita panjang lebar dan aku terpapar oleh dia yang semarak.

“Kak, besok aku akan ikut ibu melihat pertunjukan monyet-monyet.”

“Baiklah. Kamu tidak takut dicakar?”

“Hahaha. Tentu saja tidak. Itu bukan monyet sungguhan. Hanya manusia yang berkostum monyet atau… kera, ya? Ibu bilang warnanya putih. Ada tarian dan musik. Aku mau pergi berdua dengan ibu. Tapi kalau kakak mau ikut boleh saja. Kita bisa pergi bertiga.”

Aku menggeleng. Apalagi yang dilakukan pemuda dua puluh tahunan yang tak kuliah? Tentu saja aku harus bekerja. Entah itu menjaga toko kelontong sampai menjadi pengantar pizza. Terkadang pelanggan pizzaku menitip sampah sebelum menutup pintu. Katanya sekalian aku di luar. Pelanggan itu memintaku menyimpan sampah di bak besar depan rumah. Hal-hal remeh macam itu sebetulnya tak apa. Hanya saja sedikit mengganggu waktuku yang dituntut cepat. 

“Aku harus bekerja, Jimy. Bagaimana kalau nanti kamu ceritakan saja bagaimana pertujukannya?”

Jimy mengangguk semangat.

Esoknya aku kembali bekerja. Seorang pelanggan kembali memintaku membuang sampah. Waktuku kembali tersita. Kompensasinya aku harus mengendarai motor lebih cepat dari biasa supaya tiba di rumah pelanggan selanjutnya tepat waktu. Dan bencana itu terjadi. Di jalan raya aku mengalami kecelakaan tunggal. Kedengarannya payah karena aku jatuh karena ulahku sendiri. Tak ada yang menabrak, tapi aku kehilangan keseimbangan hingga terpental dari motor. Pizza yang hendak aku antar berhambur di aspal. Mungkin karena aku terlalu cepat berkendara, atau remku blong, atau tanganku terlalu lemas untuk mengendalikan stang motor tua ini. Semuanya kecelakaan. Atau bukan… barangkali aku hanya jatuh dari motor.

Kecelakaan bagi sebagian orang adalah keadaan yang sangat serius dan mengerikan. Sementara di sini yang jadi korban hanyalah bahuku dan pizza-pizza itu. Potongan pizza yang malang. Mereka terlindas mobil. Syukurlah aku selamat. Entah aku harus memandang ini semua keajaiban atau bukan. Aku masih memikirkannya sampai sekarang. Apa benar? Tapi aku tak butuh jawaban. Mukjizat selalu kehilangan kesakralan begitu hadir dengan sebuah penjelasan. Aku lebih suka jadi tak terjawab seperti ini.

Malam itu Jimy datang ke rumah sakit. Katanya aku kakak terbaik. Dan yang terbaik tak boleh pergi ataupun sakit.

“Kakak harus selalu selamat!”

Aku meringis sedikit. “Bahuku sebentar lagi juga sembuh. Luka-luka tak akan berlangsung selamanya.”

“Tapi kakak akan selalu ingat kenangan buruknya. Itu yang luka-luka sisakan bahkan setelah sembuh. Kak, jangan. Aku harap kakak jadi pelupa.” Jimy tersengguk. “Tidak, tidak. Aku tidak mau kakak lupa cara menghitung uang kembalian. Kalau begitu aku mau kakak tetap mengingat. Sepotong-sepotong saja. Jangan semuanya. Nanti kakak sakit.”

Dan kejadian itu di benakku sungguhan jadi sepotong-sepotong.

Aku terpental. Potong. Arus kendaraan. Potong. Bahuku terbentur aspal. Potong. Lalu pizza-pizza. Potong.

Jimy tetap menunaikan janjinya bercerita tentang pertunjukan monyet dengan mata sembab. Dia bilang dia suka tariannya. Dia bilang musik dan gerakan itu membuatnya terhanyut dan meracuninya. Indah; entah berapa kali aku mendengar kata itu berulang dari bibirnya.

“Kak, aku menemukan kedamaian. Tarian meracuniku. Tak ada batasan mana yang benar dan salah. Mana yang dilarang, mana yang pantas dan tidak. Kehidupan kita yang susah ini menginspirasiku. Mereka bilang seniman hidupnya tak boleh terlalu nyaman. Kreativitas itu akan menyusut jadi kisut kalau hidup kita terlalu enak. Kenapa rasanya orang-orang susah seperti kita ini cocok sekali jadi seniman ya, Kak? Aku mau jadi penari.”

“Apa?”

“Aku mau menari.”

Tak ada tanda seru dalam ucapannya. Jimy berkata begitu saja. Seolah apapun pendapatku nanti ia tak akan peduli. Jimy akan tetap memilih menari. Tarian yang lebih sakral dan indah dari pertunjukan monyet-monyet. Aku mengangguk. Ingatanku kabur. Yang kutahu seorang perawat datang menyuntikkan obat. Lalu perkataan Jimy jadi bersekat-sekat. Aku ngantuk, Jimy. Dan dia tersenyum. Tidurlah.

Tidur.

Sepi.

Hanya gelap.

Cuma hening tidur itu kalau tak ada mimpi.

**

 

Seminggu kemudian aku pulang. Jimy datang ke rumahku memberi buah dan berbagi cerita. Matanya seringkali tenggelam. Gigi depannya yang bengkok itu dapat kulihat dengan jelas. Kadang aku memekik marah karena ceritanya makin tidak jelas. Jimy pakai kata yang rumit. Seolah untuk menceritakan sesuatu dia harus berputar dulu. Jimy mencari jalan terjauh untuk tiba di inti.

“Bicara itu yang jelas. Kita sedang bercakap, bukan membuat novel,” ujarku terus terang. Dia seperti ingin menyaingi perkatan sastrawan dunia. Dan yang keluar justru omong kosong membingungkan.

“Oke, baiklah, Kak. Aku mulai menari bersama Juna. Ternyata dia sudah memulai lebih dulu daripada aku. Bukan karena dia terpukau akan pertunjukan monyet. Juna memang sudah ikut kelas menari sejak dulu dan aku baru bergabung. Hubungan kami jadi lebih dekat daripada sekadar besan kucing.”

Jimy masih tersenyum menyeritakannya. Semangatnya membakar.

“Teman-teman sekelasku tahu aku menari. Dan mereka bilang dunia tari hanya untuk perempuan.” Jimy tertawa setelahnya. “Kenapa ya, Kak? Orang tuaku bahkan tak pernah bilang, Jimy jangan menari! Tapi kenapa temanku begitu? Kak, apa ini yang namanya stigma? Menari hanya untuk perempuan seperti halnya memasak, menjahit, menangis. Hari ini mereka menertawakanku lagi. Katanya, Jimy, kamu itu laki-laki atau perempuan?”

“Demigod. Katakan pada mereka kamu bukan laki-laki atau perempuan. Kamu demigod.”

“Demigod?” Kelopak Jimy membesar. Hitamnya seperti danau yang jernih dan dalam.

“Setengah dewa.” Aku menopang tubuh agar posisiku duduk. “Nanti, jika mereka bertanya lagi kamu tahu ‘kan harus jawab apa? Mari kita coba, heh bodoh! Kamu perempuan atau laki-laki?”

“Aku demigod.”

Setengah dewa.

“Ya, bagus!”

Jimy temanku yang setengah dewa. Ucapan itu jadi nyata lima tahun kemudian. Dia sukses jadi seorang penari. Dan di mata orang yang mencintainya, dia memanglah manusia setengah dewa yang tak boleh berbuat salah, tak boleh mencinta, tak boleh kawin. Dewa ya jadi dewa saja. Menyebarkan kebaikan, cinta, keindahan, setelah itu sudah. Aku pernah melihat pertunjukannya.

Dia di mataku tetaplah Jimy. Jimy yang pernah menangis, bisa merasakan sedih dan kecewa juga sakit. Jimy yang pernah bercerita tentang wanita yang dia cinta, tentang wanita cantik di kelasnya, tentang patah hatinya yang pertama dan pernah membuatnya begitu hancur. Dia bukan dewa. Setengahnya pun bukan. Tapi tepuk tangan dan lampu-lampu itu menyamarkan dirinya yang manusia.

Sementara aku? Memilih berhenti jadi kurir setelah bahuku benar-benar pulih. Seorang pelanggan yang dulu selalu memintaku mengantar sampah sempat datang ke outlet pizza tempatku pernah bekerja. Bosku sampai menelepon untuk memastikan aku di mana. Katanya, pelanggan itu menanyakan aku. Namanya Viki. Kami akhirnya bertemu dan dia bercerita, “Sudah tiga kali beli pizza tapi kecewa karena bukan kau yang mengantarkannya.”

“Ya, aku keluar.”

Viki kelihatan kaget. “Jadi, apa pekerjaanmu sekarang?”

“Menjaga toko kelontong, menjadi pelayan di kafe kecil, memelihara anjing.”

“Aku tidak percaya kau masih berani memelihara anjing.” Dia menyungut rokoknya dan menghisap dalam. Asap kelabu dia embuskan.

“Memelihara anjing berbeda dengan memelihara anak manusia. Aku bisa memberinya sisa makananku. Dan dia tidak akan minta beli baju, pendidikan, atau jajan. Yang penting aku bisa memberinya makan dan kasih sayang.”

Viki mendecih. Kali ini dia punya permintaan. Aku hampir marah kalau dia datang jauh-jauh hanya untuk memintaku membuang sampahnya seperti biasa. Tapi ternyata bukan itu. Dia berbisik hingga bisa kuhirup menthol darinya. “Aku punya pekerjaan.” Ludahnya berkecipak. “Bunuh seseorang untukku. Aku akan memberimu lima puluh juta.”

Aku ingin mengamuk. Meski aku miskin dan butuh uang, membunuh bukan sesuatu yang benar untuk dilakukan.

“Baiklah. Yoga, bagaimana dengan seratus juta? Kau akan membunuh orang yang tak kau kenal,” tawar Viki lagi, mengapit batang rokok di jarinya.

“Perkataanmu mengingatkanku pada cerita pendek klasik. Orang yang tak kau kenal. Cerita itu juga berkata demikian. Padahal nyatanya tak ada orang yang benar-benar kita kenal. Bahkan kakak, teman atau pasangan kita kelak. Aku juga tak yakin apa aku kenal diriku sendiri.”

“Haha! Kau terlalu banyak baca fiksi.” Viki merokok lagi. “Ini benar-benar orang yang tidak kau kenal. Bukan dirimu, kerabat atau keluargamu. Kau hanya perlu membunuhnya. Seratus juta . Pikirkan itu baik-baik, Yoga. Seratus juta!”

Aku akhirnya menerima tawaran itu. Terdengar sangat tolol dan gegabah memang. Tapi begitulah dunia bekerja. Ada orang yang berhasil menjadi penari, ada saja yang membeli elektronik rusak, ada yang bersekolah tinggi untuk kemudian terjebak jadi pegawai, ada juga yang jadi pembunuh bayaran. Betapa rumitnya.

Viki membekaliku pakaian anti peluru, sarung tangan, perlengkapan lain yang menyamarkan wajahku dan tentu saja pistol dengan peredam suara. Sambil memandangi itu semua aku merenungi kehidupan. Dunia ini sangat aneh. Ketika kecil aku sibuk memperhatikan kucing bertelinga abu. Pembunuh bayaran sepertiku waktu kecil tetaplah anak kecil tak berdosa. Kadang itu membuatku melihat gerombolan bocah dan berpikir, siapa dari mereka yang kelak jadi penjahat, jadi seorang bos, jadi penari, jadi pelacur?

**

 

Target : Algi.

Viki memberiku rekaman berisi profil korban. Ada cctv yang berhasil Viki retas (sebab itulah alasannya memintaku membuang kantong sampah jadi masuk akal. Dia terlalu sibuk dengan komputernya dan semua koding-koding itu). Dari rekaman aku melihat postur Algi. Viki juga melengkapi tinggi badan, berat badan untuk berjaga-jaga sebesar apa orang yang kelak aku hadapi. Tentu saja untuk mempersiapkan diri kalau-kalau Algi melawan. Viki juga memberiku jadwal aktivitas Algi dari bekerja hingga tidur lagi (dilengkapi jam persisnya). Bahkan Viki memberiku kata sandi apartemen Algi agar aku mudah menerobos.

Alat komunikasi aku simpan di telinga. Lewat alat itu Viki memberitahuku untuk bergerak ke arah mana, kapan harus berjalan atau berhenti. Aku sudah memasuki apartemen ini ketika Viki berkata untuk terus berjalan. Kamar Algi terletak di dekat jendela.

“Tembak sekarang.”

Saat itu pula aku menarik pelatuk dan menembak Algi di dada. Korban pertamaku itu sedang terlelap di atas ranjang. Jam menunjukkan pukul satu malam. Aku melihat Algi tersentak dan kemudian terdiam lagi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Tembak lagi. Kau harus yakin dia benar-benar mati.”

Aku tembak lagi dadanya.

“Lagi.”

Viki di sana terus memerintahku.

“Lagi! Lagi!”

DRRRRRRTTTT! DRRRRTT! DRRRRRT!

Aku menembak berkali-kali. Mungkin sampai dada Algi bolong-bolong, mungkin sampai peluru menembus ranjangnya.

“Pastikan dirimu tak kena darah, tolol!”

Perkataan itu membuat tembakanku berhenti. Aku juga tak ingin jejak darah menuntun para polisi menangkapku. Aku butuh berdiam beberapa saat untuk memastikan bajuku tak terkena cipratan darah. Sial! Ada sedikit di bagian dada. Ini darah Algi.

“Keluar sekarang. Keadaan di luar aman. Aku akan menghilangkan gambar dirimu di cctv.”

Itulah pengalaman pertamaku jadi pembunuh bayaran. Aku pulang dan pindah ke apartemen baru berkat bayaran itu. Namun hari-hariku diliputi kekhawatiran. Aku terus berpikir apa semuanya sudah aku lakukan dengan baik? Aku takut melupakan suatu hal dan polisi bisa saja menangkapku. Namun bulan berganti dan kasus itu ditutup. Pengalaman pertama memang selalu penuh resah. Itu wajar, kata Viki. Dia tetap mempercayaiku membunuh lagi. Pistol sudah jadi temanku. Aku bukan lagi Yoga. Sekarang diriku pembunuh bayaran. Aku semakin mahir. Aku melihat gerak-gerik diriku dari cctv asli yang Viki retas sebelum keberadaanku dinihilkan. Dari rekaman itu aku melihat diriku seperti berada di film-film detektif, atau film-film Angelina Jolie di mana ia berperan sebagai agen rahasia.

Bayaran dari Viki membuatku mampu tinggal di samping apartemen Jimy. Aku beberapa kali bertemu—ah, kurasa bukan. Ini bukan bertemu, hanya berpapasan di lorong. Aku berpapasan dengan Jimy ketika aku baru pulang membunuh (dengan pistol di balik mantel), sementara Jimy melangkah tergesa dengan tampilan tanpa rias wajah, memasuki kubus lift bersama seorang lelaki berkacamata yang kukira manajernya.

Biar kutebak.

Jimy mungkin sedang buru-buru pergi untuk tampil di panggung megah lain. Dia penari hebat yang berada di puncak kesuksesan. Dan begitu juga aku; pembunuh bayaran yang benar-benar lihai. Alangkah lucunya nasib mempermainkan dua sahabat ini.

**

 

“Kakak merokok sekarang.”

Aku menindas rokok terakhir sebelum memperhatikan kehadiran Jimy lebih jeli di apartemenku. Baru hari ini kami bisa benar-benar bertemu yang sungguhan bertemu. Aku menyuguhkan segelas soda.

“Wajar saja,” timpalku meski sedikit terlambat. “Laki-laki memang merokok. Aku laki-laki.”

“Aku demigod.”

Kami tertawa setelahnya. Jimy masih mengingat ajaranku beberapa tahun lalu. Rasanya sudah lama sekali tapi ia masih menyimpan itu semua.

“Aku juga demigod kalau begitu,” jawabku, mengambil gelas soda dan meneguknya.

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Hanya tiba-tiba terpikirkan. Untuk merokok kamu tak perlu jadi laki-laki atau perempuan. Jenis kelamin jadi tak jelas jika dipandang dari hal-hal seperti merokok dan menari. Aku mau jadi demigod saja.”

“Apalagi, ya? Bahkan tak perlu jadi laki-laki untuk berbuat kasar. Perempuan pun banyak yang kasar sekarang.” Jimy terkekeh sendiri. “Kakak sekarang kerja di mana?”

“Apa ini?” Jujur saja aku tersinggung karena pertanyaan itu.

“Bukan apa-apa. Hanya seorang teman menanyakan pekerjaan temannya. Wajar, kan?”

“Apa maksudmu bertanya begitu?”

“Kak, aku hanya ingin tahu apa pekerjaanmu. Kenapa kakak marah?”

“Kamu tahu sesuatu tentang aku?” desakku curiga. “Apa yang kamu tahu tentang pekerjaanku?”

Jimy menggeleng.

“Kamu mau menyeretku ke penjara?”

“Kak, sumpah! Aku tidak bohong. Aku tidak mengerti apa maksud—”

“Aku pembunuh bayaran.” Aku terdiam sejenak untuk melihat reaksinya. Jimy hanya mematung. “Apa kamu pikir mungkin seorang yang menjaga kelontong, pelayan kafe dengan upah minim dan memelihara seekor anjing kampung mampu menyewa apartemen di samping seorang penari terkenal sepertimu? Apa mungkin?”

“Demigod. Kakak bukan pembunuh.”

Aku menarik laci. Kuangkat pistol kesayanganku ke arahnya. “Aku pembunuh.” Kulempar pistol itu. Jimy tak menangkapnya. Benda itu mendarat empuk di sofa. “Aku sudah membunuh lebih dari dua puluh orang dengan pistol itu.”

Jimy melamun.

Kemudian aku tersadar di atas sprei yang berhiaskan bolong-bolong kecil bekas kena puntung rokok. Ini masih di apartemenku yang mewah, dan pekerjaanku masih pembunuh bayaran. Yang jadi mimpi hanyalah pertemuanku dengan Jimy. Pengakuan itu rupanya hanya bunga tidur. Syukurlah. Dia tak boleh tahu aku jadi pembunuh. Siapapun tak boleh tahu.

Aku melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul satu siang. Tadi pagi aku pulang jam tujuh dan berpapasan dengan Jimy yang tergesa-gesa di lorong. Setelah itu aku tidur kelelahan dan mimpi bertemu dengannya. Mungkin karena aku rindu, atau mungkin karena pertemuan tak sengaja kami tadi. Yang jelas sekarang aku haus sekali dan butuh air putih. Setelah meneguk rakus, aku memeriksa pistol di laci. Pelan kupindahkan benda itu ke tempat lain yang aman. Berbalut kain dan kuletakkan di dalam kotak bergembok di balik tempat gitar. Tak ada yang boleh menemukan pistol ini. Apalagi Jimy.

**

 

Hari berikutnya aku kembali ke apartemen pukul tiga pagi. Viki memintaku membunuh lelaki lain yang tentu saja aku tak tahu siapa, bagaimana asal-usulnya, atau pun alasan kenapa ia pantas dibunuh. Dia hanya memberiku rekaman untuk dipelajari. Selanjutnya aku akan bekerja dengan mudah. Jauh lebih mudah daripada pembunuhanku yang pertama. Kali ini rasanya hanya tinggal menarik pelatuk, menembak dan semuanya tamat.

Sepanjang perjalanan pulang aku menggigil. Di dalam terowongan stasiun kereta aku melihat poster Jimy diterangi lampu. Jimy si manusia setengah dewa tersenyum lebar di sana, berpose gagah dengan kostum tarian terbarunya. Empire Theatre. Tulisan itu terpampang sebagai judul. Betapa beruntungnya dia berada di puncak karir.

Aku terus berjalan sambil menunduk. Tahu-tahu aku sudah menaiki lift menuju apartemenku dan berjalan tergesa di lorong.

BRUUK!

“Maaf!”

Aku menubruk seseorang. Tapi justru dia yang minta maaf. Suara itu amat kukenal. Orang yang sejak dulu selalu mohon ampun pada hal yang bukan kesalahannya.

“Jimy?”

Aku lihat tangannya merah.

Apa yang dilakukannya pada jam-jam seperti ini dengan tangan penuh darah? Namun rasa cemasku lebih besar dari rasa takut itu sendiri. Aku memeriksa tangan Jimy. Darah itu bukan dia dapat dari menyakiti seseorang, namun menyakiti dirinya sendiri. Merah mengucur dari jari-jarinya yang masih menggenggam pisau. Wajahnya pucat. Dia seperti orang mau bunuh diri yang plin-plan; menyakiti diri sendiri tapi kemudian bingung dan mencari bantuan.

 “Jimy, lepas pisau itu.”

K-Kak.”

“Lepas pisau itu Jimy!”

Dia malah balik meneriakiku dengan geraman. Bukan perkataan. Hanya arhgggh yang menggema depresi.

“Kita bisa ke apartemenku dan aku bisa mengobatimu. Ini akan jadi rahasia, oke?” Aku mengangkat tangan, melangkah kiri-kanan bersiap-siap menyergapnya waktu lengah. “Dan aku bersumpah, aku tak punya pistol!”

Aku meraih tubuhnya. Buru-buru kulempar pisau itu ke sembarang arah. Setelahnya aku menekan kata sandi apartemen dan menariknya masuk. Jimy berbaring di sofa. Luka-luka itu bergaris pendek tapi darah yang mengucur banyak. Mengingatkanku ketika tak sengaja terkena pisau waktu memotong bawang. Aku menerapkan teknik-teknik yang Viki ajarkan untuk mengobati diri sendiri kalau-kalau diserang korban.

Jimy meringis, namun darahnya telah berhenti.  

“Sekarang katakan kenapa kamu bawa pisau?”

Jimy terdiam sebentar memandangi tangannya yang terbalut perban. “Aku minta maaf baru bisa menemuimu dalam keadaan seperti ini, Kak.”

“Katakan saja apa masalahmu, Jimy. Dan aku bersumpah. Tidak. Aku tidak punya pistol.”

“Kenapa kakak terus mengatakan tentang pistol?”

Aku juga bingung. “Itu… aku khawatir kamu takut. Meski kamu mengungkapkan semuanya dengan jujur, dan kamu jadi apa adanya dirimu, aku tidak akan menghakimimu. Aku tidak akan tiba-tiba keluar mengokang pistol di kepalamu hanya karena kamu jujur. Tidak akan. Aku tidak punya pistol, sumpah!”

Aku terdiam melihat Jimy tak berkutik. Deru napas mengisi kesunyian ruangan ini.

“Jimy, apalagi yang kamu khawatirkan? Kamu punya segalanya.”

“Itu dia. Aku punya segalanya. Lalu apalagi yang harus aku lakukan ketika semua keinginanku jadi nyata? Puncak terlihat sangat mengagumkan ketika aku benar-benar berada di bawah. Tapi begitu aku berhasil meraih segalanya… aku hanya bisa bertanya, apalagi? Apalagi yang harus aku lakukan setelah ini? Apalagi yang aku cari?

“Kak, aku dan Juna memulai karier bersama-sama. Tapi sekarang dia sakit. Waktu itu dia datang ke kafe atas keinginannya sendiri. Bukan bersamaku atau teman-teman grup tari kami yang lain. Ketika dia masuk pintunya tiba-tiba jatuh menimpa tubuhnya. Dia dibawa ke rumah sakit. Dokter bilang sesuatu tentang darahnya berhenti mengalir ke tangan karena tindihan pintu besar itu. Tangan Juna kebiruan sampai akhirnya membusuk. Mau tidak mau harus diamputasi sebelum meluas sampai ke lengan atas. Dan kakak tahu bagaimana hidupnya tanpa tangan? Dia penari, Kak! Sama sepertiku.

“Lalu dia tak mau bertemu denganku. Kesuksesanku membuatnya tertekan sampai depresi. Mungkin hanya perasaanku saja mulanya. Tapi semuanya makin jelas ketika dia berhenti menemuiku. Dia sama sekali tak ingin bertemu dengan grup tari kami. Ketika aku meraih kesuksesan di sini, sementara di sana seseorang bersedih karena kebahagiaanku itu. Maka siapa yang salah? Siapa yang harus mengalah? Apa aku harus mengalah, menghancurkan karierku supaya depresi bersama dan Juna tidak sendirian? Aku sudah berusaha menemuinya. Tapi Juna menutup semua jalan. Ibunya bilang Juna tak ingin seorang pun melihatnya bertangan satu.

“Kak, apa yang akan kakak lakukan kalau seseorang terluka karena kesuksesanmu?”

“Demigod. Kamu bisa bersedih juga,” timpalku pendek saja.

Jimy yang terlihat paling kuat di antara kami. Dia yang paling banyak menyimpan senyum untuk disebarkan pada orang lain. Dia juga yang paling sering dijadikan bahan lelucon. Alih-alih marah, dia malah ikut menertawakan diri sendiri. Dia seorang penghibur. Tapi sisi buruknya, dia tak punya seseorang untuk menghibur dirinya sendiri. Siapa yang menghibur ketika seorang penghibur bersedih? Siapa yang menyangka orang yang paling banyak senyum seperti dirinya ternyata jadi satu-satunya yang paling banyak menelan sedih sendirian?

 “Berapa kali kukatakan, dunia ini rumit. Kampung halamanmu hancur terkena gempa. Sementara orang di Jakarta hidup dalam terang lampu yang menghabiskan energi dan biaya bermilyar-milyar. Jika hidup sesempit itu, bagaimana kalau kita semua tak usah pakai lampu dan sumbangkan saja anggaran listrik ini untuk membantu wilayah kampung halamanmu. Jangan enak-enak hidup di bawah terang lampu kalau yang lain masih menderita. Tapi tidak begitu, Jimy. Dunia ini memang rumit. Bukan salahmu.”

Aku berjalan ke konter dapur. “Begini.” Menuang kopi pada dua cangkir. “Ketika Tuhan memberimu pemikiran cemerlang, maka dia memberimu kesempatan untuk konslet. Lalu di masa lalu kamu bilang, tidak apa-apa, Tuhan, aku terima konsekuensi itu. Dan itulah yang kamu terima sekarang. Kegilaan memang dekat dengan orang-orang pintar, kurasa. Jadi, kamu berhati-hatilah dengan otakmu.”

Aku kembali ke sofa untuk menyodorkan kopi ke tangannya yang tak terluka.

“Terima kasih.”

Kami menyeruput kopi hangat selagi jarum jam terus bergerak. Jimy mulai menyadari ada yang beda dari sofa ini. Sama seperti sprei atau benda berbahan kain di apartemenku, pasti ada bolong kecil bekas puntung rokok. Sofa yang kami duduki pun begitu.  

“Kakak merokok sekarang.”

Sebelum sempat menjawab, gulungan perban sisa berguling dari sofa. Aku menunduk untuk memungutnya, tapi…

…pistol dari mantelku ikut jatuh ke atas karpet.

Sebentar kemudian aku bangkit untuk menatap wajah Jimy. Dia diam saja tapi wajahnya berubah pucat.

“Sumpah. Aku tidak punya pistol.”

***

 

 

arien Photo Writer arien

pecinta agust d garis keras.

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya