[CERPEN] Halte Pukul Tujuh

Bising itu tak pernah mengusirku

Hai, aku Sara.

Sore ini aku menunggu matahari terbenam sambil duduk di antara deretan motor yang terparkir rapi. Sendiri? Tentu tidak. Aku bersama dengan teman-teman kuliahku yang terkadang menyempatkan waktu untuk bertemu di sela-sela jam kuliah hanya untuk sekedar membuang rasa bosan. Mereka yang disebut keluarga ini selalu punya cerita yang berbeda setiap harinya, bahkan setiap detiknya.

Dunia luarku tak pernah senyap karena setiap waktu aku bisa mendengar begitu banyak ocehan dari kanan dan kiri disertai tawa renyah yang hanya bisa aku sambut dengan senyuman. Benar, aku lebih suka duduk diam dan mendengar cerita dibandingkan dengan melontarkan cerita.

Namun, sebenarnya hari ini aku bukan hanya menunggu sang matahari berganti bulan.

Aku menantikan dia.

Ketika waktu hampir menunjukkan pukul 6 sore, aku melihat dia keluar dari ruangan. Namanya Tian. Dia selalu mengenakan kaos hitam lengkap dengan celana jeans belelnya. Tanpa disadari saat melihatnya berjalan mendekat, senyum ini pun seketika merekah. Saat dia sampai dan berdiri di depanku, tiba-tiba ia langsung meletakkan tangannya di atas kepalaku dan mengacak-acak rambutku.

"Aduhh pusing neng . . .!" Ocehnya kesal.

"Kenapa lagi bang?" Tanyaku sambil mengeluh sebal karena rambutku berantakan.

"Dosennya gembel, besok kuliah pagi lagi," jelasnya.

"Ya udah, tinggal bangun pagi lagi kan," jawabku.

"Hmmm . . .," timpalnya lebih kesal.

Sebelum dia duduk, aku cepat-cepat berdiri dan mengajaknya pulang karena hari semakin larut. Aku menarik tangannya dan menyuruhnya berpamitan dengan yang lain.

"Bang, pulang yuk. Bilang sama yang lain," pintaku pada Tian.

"Yaudah yuk, ntar kamu kemaleman," jawabnya.

Setelah bersalaman dan berpamitan, kami berdua berjalan ke arah gerbang belakang kampus untuk menuju halte tempat aku biasa menunggu bus. Uniknya, walaupun ada halte yang terdekat dengan gerbang kampus, kami selalu memilih menunggu bus di dua atau tiga halte sebelumnya. Alasannya cukup sederhana, agar aku kebagian tempat duduk dan tidak harus berdiri untuk perjalanan yang lumayan jauh.

Yup, aku dan Tian bukan dua orang teman dekat yang punya tempat tinggal berdekatan. Kami terpisah jarak sejauh 50 km dan waktu setelah kuliah ini jadi sangat berharga, khususnya untukku. Sambil berjalan melalui trotoar menuju ke arah halte, kami tak pernah kehabisan candaan yang dilontarkan satu sama lain. Tiga puluh menit pertama di setiap pertemuan selalu jadi waktu yang paling terbaik dan membahagiakan.

Aku bahagia bersama Tian detik ini.

Sesampainya di halte, aku pun memilih tempat duduk yang kosong dan kami berdua hanya duduk diam sambil melihat jalanan yang begitu ramai. Sesekali aku menengok ke arahnya sambil tersenyum dan Tian pun membalas dengan memegang hidungku. Kalimat 'dunia seakan milik berdua' rasanya berlebihan, tetapi sangat tepat menggambarkan suasana saat ini.

Bus satu pun lewat.

"Neng itu udah dateng busnya," katanya.

"Habis ini deh bang, masih jam setengah tujuh. Belum kemaleman kok," jawabku sambil menawar.

"Ya udah, jangan malem-malem," jawabnya setuju.

Obrolan kami pun berlanjut, entah membicarakan masalah kuliah, rumah, atau hanya sekedar mengomentari orang-orang yang ada di sekitar halte. Saking lamanya kami duduk di situ, Tian pun sampai hafal jumlah angka penunjuk count down saat lampu merah menyala. Sungguh aneh, tapi ya benar kami menghabiskan waktu terkadang sampai 1 jam lamanya hanya dengan duduk-duduk di halte.

Bus kedua lewat.

"Tuh neng, bus kamu dateng," tunjuknya ke arah bus di seberang jalan.

"Hmmm, penuh itu. Nggak mau ah," tolakku lagi.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

"Terus kamu mau balik jam berapa? Ini udah mau jam 7. Aku besok juga mesti bangun pagi. Nanti kamu sampai rumah bisa jam 10, kemaleman itu," jelasnya dengan nada sedikit keras.

"Iya habis ini deh," pintaku.

"Bener ya habis ini. Pokoknya kalau nggak naik juga aku tinggal," jawabnya sedikit mengancam.

"Hmmm . . .," timpalku.

Entah kenapa di detik-detik terakhir seperti saat ini, aku selalu merasa berubah menjadi orang yang sedikit menyebalkan. Sebenarnya semuanya terjadi karena aku tidak rela waktu ini habis begitu saja. Menuju ke akhir waktu pertemuan, aku selalu menggenggam erat tangannya seolah-olah mengisyaratkan kalau aku enggan pergi.

Aku selalu merasa kalau waktu ini habis, aku tidak akan bertemu dengan Tian lagi untuk waktu yang sangat lama bahkan bisa-bisa tidak bertemu lagi. Aku tahu semua itu bukan sebuah pikiran yang kekanak-kanakan, tetapi sebuah firasat yang tak terbaca.

Bus ketiga pun lewat.

"Yuk neng pulang, naik yang itu," suruh Tian.

"Iya," jawabku lesu karena kecewa.

"Udah nggak usah pake manyun. Besok kan bisa ketemu lagi. Nanti kemaleman. Oke! Yaudah hati-hati pulangnya neng," katanya menenangkan.

Aku pun berpamitan dengan Tian sambil tak lupa meletakkan tangannya di pipiku. Selalu, di setiap akhir pertemuan. Kemudian aku bergegas berjalan menuju ke arah bus sebelum bus tersebut melaju kencang meninggalkan halte. Aku naik ke bus dan duduk di dekat kaca sambil melihat ke arah luar, ke tempat Tian berdiri di halte. Bus yang aku tumpangi secara perlahan berjalan maju meninggalkan halte.

Aku sangat benci detik-detik ini.

~Tiga Tahun Kemudian~

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Hari ini adalah hari jumat di minggu pertama bulan ini. Agenda rutin yang selalu aku lakukan adalah pergi ke Gereja untuk beribadah.

Tanpa membuang waktu setelah jam kerja usai, aku langsung memesan ojek online untuk menuju ke salah satu Gereja dekat kampus yang akses pulangnya dekat dengan stasiun dan halte TransJakarta. Sampailah di Gereja pukul 6 sore dan segera aku bergegas masuk sebelum ibadah dimulai.

Setelah selesai ibadah dan karena aku sangat lelah, aku pun memutuskan pulang dengan naik TransJakarta dengan alasan bisa dapat tempat duduk dan bisa tidur dengan nyenyak di perjalanan. Aku pun berjalan dari Gereja ke arah halte TransJakarta yang jaraknya tidak begitu jauh.

Sambil berjalan santai, entah apa yang terjadi tanpa disadari rasanya memori-memori itu kembali hadir. Aku melihat halte bus itu dari kejauhan. Halte bus yang begitu membekas kala itu, tampak masih begitu ramai.

Aku berjalan lagi sambil sesekali mengecek telepon genggamku. Ternyata saat ini waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Dunia luarku yang ramai seolah-olah jadi bertabrakan dengan rasa di dalam diriku yang langsung berubah senyap. Aku berbelok naik ke arah halte TransJakarta yang ku tuju dan meninggalkan pandangan ke arah halte bus itu.

Sambil menunggu armada bus datang, aku duduk sambil menatap sekitar.

Ini hidupku dulu. Aku dulu punya ini, aku dulu sangat menanti-nantikan ini.

Namun, mengapa sekarang aku jadi larut dan membenci semua ini?

Aku benci karena aku sangat rindu.

Aku benci karena aku sangat kecewa.

Aku benci karena aku sangat ingin.

Sangat ingin untuk tidak berpisah dengan Tian.

Dia yang kutinggalkan di halte itu pukul tujuh dan tak pernah bisa kutemui lagi.***

asterasa Photo Verified Writer asterasa

You can check my blog asterasa.wordpress.com

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya