[CERPEN] Masa Lalu

Karena tak semua masa lalu harus diungkap. Ada bagian yang perlu dilupakan demi mendapatkan kebahagiaan.

Wanita di hadapanku lagi-lagi menatapku tajam. Kali ini aku terdiam tak bisa membantah. Mulutku urung mengeluarkan pembelaan dan teori-teori seperti biasa. Aku benar-benar tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Ini sudah upaya keenam wanita itu. Sungguh, aku takut kualat jika kali ini tetap menolak permintaannya yang kini terdengar seperti sebuah permohonan.

“Mama mau kali ini kamu tidak punya banyak alasan. Apalagi yang ingin kau bantah? Usiamu sudah dewasa, bahkan sudah banyak yang mengatakan kau telat menikah. Dia juga laki-laki yang baik, shalih, bekerja. Tak ada alasan untuk menolak. Terlebih lagi dia anak dari sahabat almarhum ayahmu.”

Ah, kenapa juga dia harus ada hubungannya dengan ayah. Ini semakin memberatkanku saja. Aku menarik nafas sebelum memutuskan apa pendapatku. Semoga nantinya aku tidak menyesal atas keputusan berat ini.

“Baiklah…” Aku mendesah pasrah.

“Maksudmu kamu setuju?” Wajah mama nampak tak percaya.

“Iya Ma, aku setuju.” Kataku meyakinkan mama. Mama langsung berdiri dari duduknya dan memelukku erat. Kebahagiaan begitu terasa di dadanya. Ah, jika sudah begini aku bisa apa. Sungguh kebahagiaan mama menjadi puncak dari kebahagiaanku di dunia. Tapi, ada satu masalah yang pasti akan kuhadapi nanti. Bisakah aku?

***

Namaku Jiyan. Usiaku 30 tahun. Aku sudah beberapa kali akan dijodohkan dengan seorang pria tapi aku selalu saja menolak dengan alasan kuat, aku belum butuh menikah, aku bekerja, dan aku bisa membiayai hidupku sendiri. Mama, satu-satunya teman hidupku selama ini selalu mengalah saat kami perang argumentasi mengenai hal ini. Tapi tidak di tahun ini ketika usiaku sudah memasuki kepala tiga. Mama, memaksa agar aku segera menikah dengan pria pilihannya (lagi).

Yang kutahu nama pria itu adalah Rama. Sebuah nama yang mengingatkanku dengan teman kuliahku dulu. Tapi aku tidak peduli siapa dia. Yang aku pedulikan, dia harus bisa menyepakati satu hal sebelum kami menikah. Karena itu, hari ini aku dan dia berjanji bertemu di sebuah restoran.

Rama, dia benar-benar mirip dengan teman kuliahku. Kemarin aku menghubunginya untuk membuat janji hari ini. Uh, betapa menyebalkannya dia ketika dia mengatakan tak mau bertemu di tempat yang sepi. Dia pikir aku mau?! Aku menatap jam tanganku dan sudah menunjukkan pukul sepuluh, waktu yang sudah kami sepakati.

“Hem, permisi…”

Sebuah suara baru saja mengembalikanku dari kenangan masa kuliah. Aku langsung menatap ke arah sumber suara. Kini di hadapanku berdiri seorang pria berkemaja abu muda. Dia tidak balas menatap mataku, pandangannya seperti tertuju ke arah jilbabku. Aku terpaku, aku mengenal pria itu meski sekarang ia terlihat agak berbeda dengan jenggotnya.

“Rama?”

“Masih ingat rupanya.” Katanya santai sambil menarik kursi yang berseberangan denganku.

“Tentu saja.” Jawabku penuh penekanan.

Bagaimana mungkin aku lupa. Dia teman kuliahku sejak semester satu hingga semester delapan. Tapi kami lebih dikenal sebagai rival semasa kuliah dulu. Aku dan dia tak pernah sejalan dalam hal apapun. Ketika diskusi dia selalu mambantah argumenku. Setiap presentasi aku selalu membantah teorinya. Jika kebetulan satu kelompok, maka ide kami selalu berbenturan dan yang menjadi korban adalah teman kelompok yang lain karena bingung harus menentukan pilihan. Jika sudah begitu laki-laki itu selalu mengalah dan itulah satu-satunya kebaikan yang ia miliki menurutku.

“Jadi, apa yang akan kita bicarakan?” tanyanya to the point.

Hem, belum juga berubah. Tidakkah ia ingin bertanya hal lain lebih dulu, seperti aku yang ingin bertanya padanya apakah dia sudah tahu bahwa wanita yang akan dijodohkan dengannya adalah aku? Atau apakah dia tahu bahwa ayah kami bersahabat, sejak kapan ia tahu dan mengapa hanya aku yang tidak tahu? Ah, sudahlah. Itu semua tidak penting lagi. Toh tidak akan mengubah apapun. Karena sejak awal masalahnya bukan siapa tapi ini permohonan mama yang tak bisa aku bantah (lagi).

“Bacalah.” Kataku menyodorkan sebuah kertas. Isinya semacam perjanjian yang tak dibubuhi tanda tangan. “Jika kamu setuju, maka kita akan menikah. Jika tidak, maka silakan mundur saja.”

“Hem, pantas saja kau belum menikah. Semua lelaki pasti memilih mundur setelah membaca ini.” Rama tersenyum datar.

“Tepat sekali. Jadi, jika kamu memilih langkah yang sama, aku akan berterima kasih.” Kataku masih berharap ia mau membatalkan rencana pernikahan ini. Sungguh aku tak ingin menikah. Aku membenci satu hal dari menikah.

“Tidak usah berterima kasih karena aku tidak akan mundur. Aku rasa jika bukan aku, kau kemungkinan besar takkan pernah menikah.” Katanya seolah membanggakan diri. Dari nada suaranya terdengar jelas pesan tersembunyi bahwa harusnya akulah yang berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku dari beberapa serangan pernyataan sinis tentang usia tua yang belum menikah sampai dengan sindiran halus menyukai sesama jenis. Sungguh kejam bukan?

“Benarkah kau tidak akan mundur? Bacalah lagi dengan pelan dan perlahan. Mungkin kau akan berubah pikiran.” Usulku. Aku tidak ingin dia menyesal dan menuntut hal yang tidak akan kuberikan sesuai apa yang kutuliskan di atas kertas itu.

“Aku sudah membacanya dengan baik.” Rama kemudian merobek kertas itu di hadapanku. Aku terkejut.

“Apa yang kau lakukan?”

“Kau tidak melihatnya? Aku sedang merobek kertas.” Dia tertawa kecil.

“Bukan itu maksudku!” Kataku kesal.

“Apakah kau ingin orang lain membacanya dan tahu apa yang kau tulis?”

“Tentu saja tidak.” Kataku kalah. Ia benar, jika tidak memusnakan kertas itu, orang lain bisa saja membacanya.

“Tenanglah. Aku sudah menghafalkan semuanya. Kau sudah tahu kan jika otakku sangat encer.” Akunya dengan santai.

“Tentu saja kau sudah menghafalnya. Itu hanya satu baris!” Sindirku dan ia pun tertawa jahil. Tapi, tidak bisa kupungkiri. Dia memang berotak encer. Dia lulus dengan IPK sempurna, 4. Sementara aku yang menjadi rival setianya harus puas berada di urutan kedua dengan IPK 3,9.

“Jadi kapan kita menikah?” Tanyaku.

“Secepatnya.” Tandasnya.

***

Kuhempaskan badanku ke atas kasur yang empuk. Hidungku menghirup wangi yang tak biasa. Kamarku hari ini berubah bak taman bunga. Di setiap sudut ada bunga, di atas tempat tidur juga betaburan kelopak bunga yang kini sudah kocar-kacir akibat perbuatanku. Ya, hari ini aku resmi menyandang status baru sebagai seorang isteri, isteri Tuan Rama Indrawan.

Pernikahan kami benar-benar terlaksana begitu cepat. Hanya satu bulan sejak terakhir kami bertemu di restoran itu. Undangan yang datang tak bisa dibilang sedikit. Keluargaku dan keluargaya adalah keluarga besar, ditambah lagi rekan kerja kami masing-masing, lalu teman-teman semasa kuliah yang tidak henti-hentinya terkejut melihat kami bersama di pelaminan. Mereka terus saja bertanya bagaimana bisa dua orang yang selalu berseberangan akhirnya bisa menikah. Kujawab saja kalau itulah hebatnya takdir Allah, sebaik apapun kita menghindar tetap saja takdir itu akan menemukan kita.

Suara pintu terbuka di belakangku. Aku segera membalik badan. Kudapati dia berdiri di sana dengan masih mengenakan baju pengantin bernuansa putih sepertiku. Aku tidak pernah mengatakan jika ia tidak menarik bukan? Dia pria dengan rahang keras, berhidung mancung, dan bermata dalam, sekilas wajahnya terlihat kearab-araban. Ah, beruntung aku sudah sah menjadi isterinya, menatapnya lama sudah tak mengapa.

“Yang tadi siapa?” tanyaku menegakkan punggung, duduk di salah satu sisi tempat tidur.

“Yang mana?” balasnya berjalan mendekat dan duduk tepat di sebelahku.

“Yang jilbaban.” Kataku mulai mencopot beberapa pentul yang menancap di jilbabku.

“Yang jilbababan kan banyak.”  Sambarnya sambil melepas peci dan meletakkannya di atas meja rias.

“Yang jilbabnya lebih gede dari yang lain, warnanya biru muda.” Jelasku sambil meringis karena salah satu ujung pentul menyambar jariku. Untung tidak berdarah.

“Oh, itu teman di kantor.” Jawabnya santai sambil memiringkan kepalanya menatapku.

“Cantik.” Aku bergumam. Pikiranku mulai bertanya-tanya, apakah Rama pernah berusaha mendekati wanita itu, berusaha menikahinya. Jika kulihat, dia wanita yang baik dan masih muda. Siapapun pasti terpikat.

“Cantik.” Rama bergumam masih menatapku. Aku balas menatapnya dengan kening berkerut. Siapa yang ia maksudkan. “Ternyata jika diperhatikan, kamu cantik.” Lanjutnya tanpa memalingkan tatapannya meski sekali.

“Aku kecewa kau baru menyadarinya sekarang.” Balasku sambil menopang wajahku dengan satu tangan.

“Itu karena dulu aku tidak melihatmu sebagai wanita.” Rama menahan tawa.

“Sampai sekarang aku tak menganggapmu sebagai pria.” Sergahku cepat. Ternyata dia ingin memulai perang di antara kami.

“Benarkah?” tanyanya sambil menarik tangan kiriku dan menggenggamnya lembut. Aku tertegun dibuatnya. Jantungku tiba-tiba saja berdetak tak biasa. Gugup meyerangku seketika.

“Aku capek dan aku masih perlu mengurusi jarum-jarum pentul ini yang jumlahnya entah berapa.” Hindarku sembari berjalan menuju sebuah kursi tepat di depan cermin.

“Kamu cantik dengan gaun itu.”

“Bukan berarti aku akan memakainya seumur hidup!”

“Hahaha…” Dan tawanya yang sedari tadi tertahan pecah juga.

***

Sebulan telah berlalu. Pernikahan kami yang baru seumur jagung berjalan sesuai aturan yang telah kami sepakati. Aturan itu tidak banyak. Hanya ada satu tapi itulah inti dari sebuah pernikahan. Sejak awal aku telah menekankan bahwa aku akan melayaninya dengan baik kecuali untuk hal yang satu itu. Hal yang biasanya sangat dinanti-nanti bagi sepasang suami isteri. Rama tidak keberatan sama sekali, ia berdalih bahwa itu mudah baginya, bukankah selama ini, semasa masih bujang ia sudah berhasil menjaga dan menahan diri.

Tapi, entah mengapa akhir-akhir ini aku merasa iba padanya. Aku pun merasa bersalah. Terlebih karena Rama memilih tak bertanya ada apa. Ia terlihat biasa saja. Tapi aku tidak bisa mengukur hatinya. Apakah ia benar-benar menerima atau ternyata diam-diam kecewa dan terluka.

“Bagaimana kalau kita pisah saja?” aku menatapnya yang sedang khusyuk menikmati makan malam yang baru saja aku buatkan untuknya.

“Seingatku itu tidak tertulis di atas kertas tempo hari.” Balasnya datar sambil menikmati ayam saus tiram kesukaannya.

“Apakah kau tidak tersiksa?” tanyaku blak-blakan.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

“Kadang-kadang. Aku masih laki-laki normal.” Jawabnya tanpa ba bi bu.

“Karena itu. Sebaiknya kita pisah saja. Kau berhak bahagia.”

“Aku bilang kadang aku tersiksa, bukan tidak bahagia.”

“Maksudmu kau bahagia?”

“Apa kau tidak?” Rama meletakkan sendoknya dan menatapku dalam. Makanannya sudah tandas sementara piringku masih penuh tak tersentuh.

“Aku bahagia. Terima kasih karena sudah mengerti.” Jawabku balas menatapnya.

“Aku akan sabar menunggu.” Ucapnya penuh penekanan disertai sebuah kerlingan. Seketika aku tersipu dibuatnya. Mungkin wajahku sudah memerah seperti buah tomat yang sedang matang.

Tak bisa kupungkiri, sebulan hidup bersamanya terasa penuh warna. Kami masih sering berdebat untuk hal-hal kecil dan hal itulah yang membuat hubungan di antara kami terasa lebih hidup. Terakhir kami berdebat hanya soal televisi. Aku ingin meletakkannya di dalam kamar, sementara ia ingin meletakkannya di luar.

“Di luar!”

“Tidak. Di dalam!”

“Kalau di luar, yang lain juga bisa menikmati.”

“Karena itu. Aku tidak mau orang lain asal menikmati tanpa pengawasan. Tayangan tivi sekarang sangat tidak sehat. Apalagi untuk anak-anak kita nanti.” Sergahku spontan.

“Anak-anak kita?” Rama melirikku dengan senyum jahil. “Jadi kapan kita akan membuatnya?” lanjutnya menahan tawa.

Bug!

Guling yang kupeluk sejak tadi berhasil mendarat tepat di dadanya. Rama tertawa puas.

***

“Kau cantik.” Rama menatapku yang duduk di sebelahnya.

“Selalu.” Jawabku tersenyum menatapnya yang sedang memasang sabuk pengaman dan menyalakan mesin mobil. Malam ini kami menghadiri undangan pernikahan rekan kerjanya di kantor.

“Aku tahu.” Balasnya tersenyum. Ia terlihat tampan seperti biasanya. Sejak kami menikah, tak sedikit yang mengatakan bahwa aku adalah wanita yang beruntung mendapatkan suami yang baik, tampan, dan juga mapan. Tentu saja aku setuju dengan pendapat itu. Tapi yang paling membuatku beruntung adalah karena dia satu-satunya laki-laki yang bersedia menerima aku apa adanya, tanpa syarat sama sekali. Sebaliknya akulah yang memberinya syarat.

Ruangan sudah terlihat ramai. Para undangan sudah berdatangan. Kami melangkah mantap menuju langsug ke pelaminan untuk memberikan selamat serta doa kepada kedua mempelai. Rama menggenggam tanganku erat, membuatku merasa tersanjung. Genggamannya seolah mengatakan padaku dan pada semua mata yang menatap kami, bahwa ia bangga memiliku dan sangat bahagia hidup bersamaku.

“Ini bukannya Jiyan ya?” Seorang laki-laki paruh bayah bersama isterinya datang menghampiriku yang sedang asyik memilih-milih kue.

Aku berbalik. Begitupun Rama yang berdiri di sampingku. Laki-laki paruh baya itu tersenyum ke padaku. Aku mematung menatapnya. Menatap wajah itu, wajah yang paling aku benci dan tak mau kulihat lagi sejak 15 tahun yang lalu. Bagaimana bisa ia ada di sini? Aku gemetar. Pelan-pelan aku meletakkan piring kecil yang kupegang. Aku tak ingin piring itu lolos dari tanganku dan membuat acara menjadi gaduh.

Rama mendekatiku dan memeluk pundakku. Ia tahu aku tidak dalam keadaan baik.

“Benar sekali. Ini Jiyan dan saya suaminya, Rama.” Rama mengulurkan tangan kepada laki-laki berkumis itu.

“Saya Lukman. Guru SMA Jiyan. Sudah menikah ya. Waktu cepat sekali berlalu. Dulu terakhir ketemu Jiyan masih remaja, hehehe…” laki-laki berkumis itu tertawa. Tawa yang membuatku marah. Badanku semakin gemetar saja. Rama semakin menguatkan dekapannya.

“Wah, begitu rupanya. Tapi, maaf sekali Pak Lukman sepertinya kami tidak bisa lama. Isteri saya sedang kurang sehat. Permisi.”

“Oh ya tidak apa-apa. Semoga di lain waktu bisa bertemu kembali.” Kata laki-laki itu. Tuhan, semoga saja tidak ada kesempatan lain bertemu dengannya. Aku muak melihat wajahnya.

Rama menuntunku ke dalam mobil. Setelah aku duduk dengan nyaman. Ia langsung menancap gas. Sesampainya di rumah aku langsung bergegas ke kamar mandi. Badanku masih gemetar dan seluruh tubuhku terasa dingin. Kepalaku pusing dan perutku mual. Aku muntah berkali-kali mengeluarkan semua makanan yang baru saja kutelan di acara pesta tadi.

“Apa kau baik-baik saja?” Rama menghampiriku yang baru saja keluar dari kamar mandi. Ia menyelimutiku dengan sebuah selimut tebal.

“Aku, tidak…” Jawabku sedikit terbata. Aku duduk di atas tempat tidur dengan lutut tergulung kedepan dada.

“Tunggu sebentar. Akan kubuatkan teh hangat.”

“Kenapa kau tak bertanya?” sergahku cepat memegang pergelangan tangannya dan menahan langkahnya.

Rama tersenyum dan kembali duduk di hadapanku. Ia menatapku penuh perhatian.

“Dengarkan aku, setiap orang tentu punya masa lalu dan tidak setiap masa lalu harus diceritakan. Aku menikahi dirimu yang sekarang, tidak peduli seberapa suram masa lalumu. Jadi aku tidak akan pernah bertanya, hem…”

“Mungkin dengan kau tahu, kau bisa berfikir ulang untuk bertahan.” Kataku menunduk. Kenangan di masa lalu itu mulai kembali dan menari-nari di kepalaku saat ini.

“Tidak. Tidak akan ada yang berubah. Perasaanku akan tetap sama, mencintaimu.”

“Mencintaiku?” Kuangkat kepalaku dan menatap langsung ke arah dua bola matanya, mencari jawaban di dalam sana. “Apa kau mencintaiku?”

“Aku mencintaimu. Mencintaimu sejak kau mematahkan teori persentasiku di semester satu, hehehe…” Rama tertawa kecil sambil menggenggam kedua tanganku hangat. Aku masih menatapnya di sana. Kini telah kutemukan jawaban itu. Di mata itu sungguh hanya ada aku, ada cinta yang besar dan tulus.

“Akan kuceritakan semuanya. Dulu aku…” kata-kataku terputus ketika tiba-tiba saja keningku terasa hangat oleh sebuah ciuman singkat. Rama tersenyum menatapku yang terpaku dibuatnya.

“Sudah kukatakan tak akan ada yang berubah. Jika selama ini kau telah berusaha memendamnya sendiri, itu artinya luka itu amat besar dan menyakitkan. Aku tak ingin kau menceritakannya sementara luka itu terbuka lagi. Aku tak ingin kenangan indah yang kau sulam rapi setengah mati, rusak hanya karena satu kenangan yang tak berarti lagi.”

Mendengar kata-kata Rama, mataku terasa panas. Cairan hangat itu sudah bertumpuk di pelupuk mataku sejak tadi dan akhirnya lolos juga meski telah berusaha aku tahan. Aku menangis. Cepat-cepat Rama menghapus air mata yang membasahi kedua pipiku.

“Maafkan aku. Kau benar, kenangan buruk itu tak berarti lagi. Harusnya ia tidak mengatur hidupku. Harusnya aku melupakannya dan hidup lebih bahagia dari ini.”

“Apakah masih ada yang lebih bahagia dari hidup bersamaku?” Rama menatapku penuh selidik. Sikapnya benar-benar menghiburku. Aku tersenyum geli.

“Tentu saja. Yang paling membahagiakan adalah hidup bersamamu dan anak-anak kita.” Aku tersipu.

“Apa ini pertanda syarat itu sudah tidak berlaku?”

Aku mengangguk masih dengan pipi memerah malu. Rama langsung menarikku dalam dekapannya. Ia kembali mencium keningku. Kali ini lebih lama.

“Aku berjanji. Aku akan membahagiakanmu. Selama bersamaku, hanya ada kenangan indah yang akan kita sulam berdua.”

“Aku tahu.” Kataku membalas pelukannya. Kusandarkan wajahku pada sebelah bahunya yang kekar. Mulai hari ini aku berjanji akan membuang jauh kenangan buruk itu dan tidak akan membiarkannya mengusik kebahagiaanku lagi. Kenangan saat aku masih duduk di bangku SMA dulu…

“Jiyan, tolong ambilkan absen di dalam kelas ya.” kata Pak Lukman menatapku sembari tersenyum. Dia adalah guru olahraga kami. Semua teman kelasku sedang berbaris di lapangan sementara aku menjalankan perintah Pak Lukman bergegas ke kelas.

“Kenapa ngambil absennya lama sekali?” tiba-tiba Pak Lukman telah berada di belakangku saat aku baru saja menyentuh absen di atas meja guru. Laki-laki berkumis itu mengurungku antara meja dan dirinya dengan kedua tangannya. Wajahnya mendekat ke wajahku sampai-sampai aku bisa merasakan kumisnya di pipi. Aku terdiam. Aku tidak bisa bergerak. Aku juga tidak bisa berteriak. Aku malu jika teman-temanku tahu.

“Ayo, kembali ke lapangan. Olahraga sudah akan dimulai.” Katanya berbisik di telingaku. Tubuhnya masih berada rapat di belakangku. Setelah beberapa menit barulah ia memberi jarak di antara kami. Buru-buru aku meloloskan diri dan langsung berlari ke lapangan.

Keesokan harinya. Aku datang pagi-pagi sekali untuk menjalankan piket di kantor. Sekolah masih sangat sunyi, belum satupun guru dan murid yang datang. Aku membersihkan ruang kepala sekolah dengan khusyuk ketika kudengar seseorang menyapaku dari belakang.

“Apa hari ini jadwal piketmu?”

Aku berbalik dengan perasaan takut-takut. Kulihat Pak Lukman sudah berdiri di depan pintu.

“Iya Pak.” Jawabku pelan. Kugenggam kemoceng dengan sangat erat.

“Wah sudah cantik, rajin lagi.” Pak Lukman menghampiriku dan langsung memelukku. Aku kaget dibuatnya. Bukan hanya itu ia berusaha untuk menciumku. Tentu saja aku menghindari wajahnya sekuat tenaga. Kurasakan kumisnya meraba-raba seluruh wajahku.

Kupukulkan kemoceng pada tubuhnya tapi hal itu tak membuatnya terusik sama sekali. Ia masih memelukku erat dengan mengeluarkan suara-suara aneh yang sangat kubenci. Aku tidak menyerah. Aku berusaha meloloskan diri. Kulangkahkan kakiku sebisa mungkin ke arah pintu. Pak Lukman mencoba menahanku. Aku berontak sekuat-kuatnya hingga tak sengaja menyambar sebuah vas bunga. Vas itu jatuh dan pecah berkeping-keping. Pak Lukman terkejut. Pelukannya melonggar. Aku langsung memanfaatkan kesempatan itu. Aku melarikan diri dari kantor menuju ke kelas. Cepat kututup pintu serta menguncinya dari dalam.

Dengan tubuh gemetar aku mengintip dari balik jendela. Aku takut Pak Lukman menyusulku. Tapi tidak karena sekolah mulai ramai, satu persatu murid dan guru berdatangan. Kulihat dari balik jendela, laki-laki berkumis itu membuang pecahan vas bunga ke tempat sampah. Mataku panas, dadaku sesak, emosiku tertahan. Aku memang begitu marah pada laki-laki itu, tapi aku lebih marah lagi pada diriku sendiri yang tak bisa berteriak, tidak bisa mengeluarkan satu katapun untuk melaporkan kejadian itu serta untuk mendapatkan hak dan pembelaan atas diriku sendiri.

Aku merapikan bajuku yang terlihat berantakan. Beberapa kancing terbuka paksa. Aku sungguh-sungguh membencinya. Aku berjanji dalam hati, bahwa aku tidak akan pernah sudi lagi melihat wajahnya. Dan aku berjanji tidak akan membiarkan laki-laki manapun menyentuh tubuhku lagi.

Nurhudayanti Saleh Photo Writer Nurhudayanti Saleh

Independent Writers -Menulis kebaikan sebagai bekal setelah kematian-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya