Rinjani, Selamat Tinggal

Kadang ada yang setia menunggu dengan tetap memilih sendiri sampai ajal menemui.

“Ada yang bisa kami bantu Bu?”

Seorang wanita usia 20 tahunan menyapaku dengan ramah. Aku menatapnya sembari tersenyum. Garis-garis wajahku tertarik ke kanan dan kiri pipiku menciptakan keriput berlapis-lapis di sana.

“Saya mau memesan satu tiket ke Lombok Nak,” jawabku dengan seperti biasa, terbata-bata. Tanganku bergerak gemetar kecil membuka dompet lusuh yang kupegang erat sejak tadi. Aku menunduk lemah mengintip ke balik dompet, mencari-cari KTP dan beberapa lembar uang yang sudah kusiapkan sejak lama.

Kusodorkan KTP ke depan wanita itu. Ia melihatku dengan penuh simpati, memperhatikan keriput yang menghiasi tapak tanganku, memperlihatkan nadi-nadi yang menyembul di balik kulitku yang menipis dimakan usia.

“Yang mau ke Lombok siapa Bu?” tanya wanita muda itu dengan wajah cemas.

“Saya Nak…” Jawabku tersenyum. Wanita muda di depanku nampak terkejut bukan main. Ia menatap KTP di hadapannya. Ia melihat tahun kelahiranku yang tertera di sana. Aku memang sudah tidak muda lagi. Tahun ini aku telah memasuki usia ke-80.

“Sendiri saja Bu?” Lanjutnya lagi semakin cemas.

“Iya Nak, sendiri…”

“Maaf Bu kalau saya sedikit tidak sopan, ada baiknya ibu tidak pergi sendiri. Mungkin ibu bisa mengajak satu keluarga ibu untuk menemani.” Wanita muda itu tersenyum dengan penuh karamahan dan sangat sopan. Aku sangat mengerti maksudnya.

“Tidak ada yang bisa menemani saya Nak. Saya tidak punya keluarga.” Mataku serta-merta terasa basah. Mengenangnya selalu menyisakan kepedihan dan kerinduan mendalam. Kugenggam ujung jilbabku dengan kuat agar air mataku tak jatuh di depan wanita muda itu.

***

Flashback on.

2017, Lima puluh tahun yang lalu…

Aku menatap sebuah foto yang baru saja diposting oleh seorang teman di salah satu akun sosial media miliknya. Tak lupa kububuhi tanda ‘like’ pada foto itu. Bukan wajahnya, tapi aku sangat terpesona akan keindahan di balik tubuh tegap itu. Rasanya ingin sekali seperti dulu, tapi ah inilah jalan yang telah kupilih, aku tidak akan pernah menyesal meski sedetik.

Masih asik menikmati keindahan foto itu, tiba-tiba hapeku berbunyi singkat. Kulirik sejenak, sebuah chat masuk di BBM. Aku membuka dan sedikit terkejut siapa yang mengirimiku sebuah pesan singkat, dia sang pemiliki foto indah itu.

Sahabat kecil: Hai, apa kabar?

Aku: Alhamdulillah baik.

Sahabat kecil: Suka foto orangnya atau gunungnya nih?

Aku: Hehehe, foto gunungnya. Sorry :D

Sahabat kecil: Hem…, kenapa berhenti mendaki?

Aku: Sudah tua, hehehe…

Sahabat kecil: Bukannya karena sudah berubah?

Aku: Itu juga salah satu alasannya. Kenapa, aneh ya?

Sahabat kecil: Apanya? Penampilan kamu?

Aku: Ya. Banyak orang yang melihat dengan sinis, bahkan tak jarang ada yang bilang kalau penampilanku ciri seorang teroris.

Sahabat kecil: Ah, itu cuma karena mereka tidak tahu saja. Bagiku penampilanmu tidak menakutkan tapi mengagumkan.

Aku: Thanks

Sahabat kecil: kembali ^^

***

Aku adalah mantan pendaki. Awalnya banyak yang meragukanku karena aku seorang wanita tapi aku membuktikan keseriusanku dan kecintaanku pada aktivitas yang satu ini. Aku tekun berlatih bersama pendaki pemula lainnya atas arahan para senior. Kami diberi bekal pengetahuan tentang teknik mendaki, tentang beberapa tipe gunung yang biasa didaki, tentang kemungkinan-kemungkinan apa saja yang bisa terjadi dan bagaimana penanganannya ketika di lapangan, tentang alat-alat serta bahan apa saja yang wajib dibawa saat mendaki.

Setelah pengenalan dan latihan, akhirnya aku bisa ikut mendaki bersama para senior. Gunung pertama yang aku daki adalah Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Butuh sekitar 4 jam untuk mencapai puncak kala itu. Selama perjalanan ke puncak aku tak henti-hentinya berseru takjub melihat pemadangan yang tersaji, beberapa kawah kami lewati tapi yang paling memanjakan mata adalah padang Edelweis yang luas yang diberi nama Tegal Alun.

Lalu gunung kedua yang aku taklukkan adalah Gunung Prau di Jawa Tengah. Puncak gunung ini sangat luas. Bahkan menjadi yang terluas kudapati selama aku masih aktif mendaki. Untuk sampai di puncak hanya memerlukan kurang lebih 2 jam. Di sana aku dan kawan-kawan pendaki bermalam untuk berburu matahari terbit esok harinya.

Dan masih banyak gunung yang dulu telah berhasil aku pijaki. Jika mengingat semua itu rasanya sangat rindu sekali. Namun hidayah Allah ternyata terasa lebih indah dari apapun. Aku benar-benar berhenti mendaki setelah memutuskan untuk mengubah tampilanku menjadi lebih tertutup, lebih taat, begitu harapanku.

***

Sahabat kecil: Lagi sibuk?

Aku: Nggak. Kenapa?

Sahabat kecil: Aku mau cerita. Hem…, lebih tepatnya curhat :D

Aku: Cerita aja, siapa tahu aku bisa bantu.

Sahabat kecil: Aku pengin nikah.

Aku: Alhamdulillah…

Sahabat kecil: Tapi…, aku tiba-tiba ragu.

Aku: Kenapa?

Sahabat kecil: Aku tidak tahu, apakah dia wanita yang tepat atau bukan. Akhir-akhir ini sikapnya berbeda. Yang aku tahu dia wanita yang sabar tapi makin ke sini, setelah aku mengungkapkan keinginan untuk menikahinya, ia begitu banyak permintaan. Ingin dibeliin ini dan itu. Bukannya tidak bisa memberikan, tapi ini kok kayaknya berlebihan. Ini kan aku belum jadi suaminya.

Aku: Hem…, sudah cari tahu penyebabnya. Bisa jadi semua yang dia minta bukan atas keinginannya. Terkadang juga hasil desakan dari luar, dari keluarganya misalnya.

Sahabat kecil: Hem…, iya ya, bisa jadi.

Aku: Nah, saran aku sih cari tahu dulu kenapa tiba-tiba dia berubah. Setelah itu jangan lupa shalat minta petunjuk sama Allah. Minta masukan juga sama ibu kamu. Biasanya hati seorang ibu itu amat peka ^^

Sahabat kecil: Thanks masukannya.

Aku: Sama-sama.

***

Menikah? Usiaku sudah 30 tahun. Sudah sangat pas bahkan bisa dibilang terlambat untuk menikah. Tapi ah, aku bukan wanita yang terlalu pusing memikirkan masalah yang satu ini. Beruntung kedua orang tuaku juga demikian, mereka cukup santai. Mungkin karena kami sama-sama punya keyakinan yang sama bahwa jika jodoh pasti akan ada jalannya sendiri dan akan bertemu suatu hari nanti.

Sejak memutuskan mengubah penampilanku, aku juga sedikit demi sedikit berusaha mengubah prinsip dalam hidupku. Aku tidak lagi mau menjalin hubungan apapun sebelum pernikahan. Aku mencoba menjaga diri dan hatiku. Beberapa kali ada lelaki yang coba mendekatiku bahkan ada yang terang-terangan mengungkapkan ingin menikah denganku tapi jalan takdir tidak semulus yang aku kira. Semua yang mencoba menghalalkanku kandas di tengah jalan dengan berbagai alasan.

***

Sahabat kecil: Aku batal menikah.

Aku: Kenapa?

Sahabat kecil: Karena aku tidak yakin. Bukannya kemarin kamu bilang kalau ragu, maka lebih baik tinggalkan?

Aku: Tapi kemarin itu kan bukan tentang masalah pernikahan kamu.

Sahabat kecil: Tapi kaidahnya benar begitu kan?

Aku: Iya sih, tapi…

Sahabat kecil: Udah kita lupakan pembahasan tentang menikah, toh kalau jodoh pasti bertemu, hehehe…

Aku: Iya, hehehe…

Sahabat kecil: Oh ya, gunung apa yang ingin sekali kamu daki tapi belum kesampaian sampai hari ini?

Aku: Rinjani.

Sahabat kecil: Bulan depan aku ke Rinjani.

Aku: Wah…, pasti sangat menyenangkan.

Sahabat kecil: Kamu benar-benar tidak mau mendaki lagi?

Aku: Hem…, mau tapi nanti deh sama suami, hehehe… :D

Sahabat kecil: Makanya cepetan nikah.

Aku: Kamu aja baru gagal nikah. Itu artinya nikah nggak semudah itu kan?

Sahabat kecil: Ah kena deh…  

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

***

Bandara memang tak pernah sepi. Aku memperhatikan penumpang yang baru saja tiba satu-persatu. Hari ini aku menjemput seorang wanita paruh baya atas permintaan sang Sahabat Kecil. Ah, aku lupa menceritakan tentangnya. Dia, laki-laki yang kukenal sejak kecil, sejak duduk di bangku SD. Hubungan perteman kami berjalan baik hingga hari ini. Dia satu-satunya teman laki-laki yang kupertahankan di list pertemanan di BBM setelah aku memutuskan hijrah.

Hari ini ia sangat sibuk sampai-sampai ia tidak bisa menjemput ibunya yang datang dari kampung halaman. Sekitar sejam lalu ia menghubungiku dan meminta tolong agar aku bisa menjemput ibunya, wanita yang tak pernah kutemui sebelumnya. Meski kami berteman sejak kecil aku belum pernah berkunjung ke rumahnya dan bertemu dengan wanita yang telah melahirkannya. Beruntung ia membekaliku dengan sebuah foto yang ia kirimkan beberapa saat lalu via BBM.

“Assalamu’alaykum tante…” sapaku pada seorang wanita yang kuyakin adalah ibunya.

“Wa’alaykumussalam warahmatullah. Naya ya?” balas wanita itu tersenyum ramah.

“Iya tante…” Aku balas tersenyum tak kalah ramah.

“Tadi Aldi telepon katanya bakal dijemput sama temannya, namanya Naya yang jilbabnya besar dan panjang, hehehe…” wanita itu tertawa kecil.

“Hehehe…, berarti Naya gampang dikenali yang tan.”

“Iya. Jadinya tante nggak perlu was-was salah dijemput orang lain, hehehe…”

Kami berdua tertawa kecil sembari meninggalkan bandara. Aku dan sahabat kecilku, ah namanya Aldi, kami sudah sepakat untuk mengantarkan ibunya hingga ke kontrakannya di sebuah perumahan yang gampang ditemukan alamatnya. Aldi sudah meletakkan kunci rumahnya di bawa pot di dekat pintu, begitu pesan terakhir darinya.

Sekitar limabelas menit akhirnya kami tiba di sebuah rumah dengan desain minimalis. Aku segera membuka pintu dan membantu wanita cantik itu mengangkut barang-barangnya yang tidak banyak. Ini pertama kalinya aku memasuki rumah seorang lelaki, sungguh rasanya sangat aneh. Beruntung aku tidak sendiri.

Tidak lama berselang Aldi pun tiba dengan membawa bungkusan. Ia melihatku dan tersenyum. Aku balas tersenyum kikuk. Kami memang bersahabat tapi kami sangat jarang bertemu semenjak menamatkan sekolah dasar. Jika tidak salah, aku dan dia hanya bertemu tiga kali semenjak memilih sekolah di tempat berbeda. Sekali saat SMP, sekali saat SMA, dan terakhir saat masih sama-sama kuliah.

Sekilas kulihat dia tidak banyak berubah, hanya tubuhnya semakin tinggi dan tegap. Mungkin di matanya aku juga begitu, tidak banyak berubah kecuali jilbab yang semakin panjang dari pertemuan terakhir kami.

“Sudah lama?” tanyanya padaku dan ibunya.

“Baru saja sampai…” ibunya menjawab santai.

“Berarti belum makan kan?” Aldi berjalan menuju dapurnya. Ia terlihat sibuk membuka bungkusan yang ia bawa.

“Kamu makan dulu baru pulang ya…” Wanita cantik itu langsung menodongku. Sepertinya dia tahu jika aku sudah ingin beranjak dari sini saat ini juga.

“Hem…, iya tante…” jawabku pasrah. Mau tidak mau aku menerima undangan makan siang itu.

Setelah siap, bertiga kami menyantap makan siang yang Aldi beli di perjalanan ketika pulang. Menu yang ia pilih adalah menu kesukaanku, gado-gado. Kami menikmati makan siang sembari bercerita ringan. Wanita cantik itu bercerita tentang kampung halaman kami yang mulai ramai dan berkembang, sudah ada lampu lalu lintas dan sebuah mini market ternama.

“Aku antar ya…” Aldi ikut berdiri ketika aku baru saja pamit untuk pulang. Aku sedikit kelabakan dibuatnya. Inilah hal yang paling kuhindari. Mana mungkin aku pulang berdua saja dengannya.

“Tante juga ikut.” Wanita cantik itu seperti menjawab keresahanku. Sepertinya ia memang sangat pandai membaca isi hatiku.

“Nggak usah Di. Aku pulang sendiri aja. Lagian tante pasti masih capek.” Kataku menolak sehalus mungkin.

“Nggak capek kok. Lagi pula tante pengin tahu kamu tinggal di mana di sini. Siapa tahu besok-besok tante ada perlu ke rumah kamu, ngelamar misalnya hehehe…” wanita itu tertawa kecil sambil menepuk punggungku lembut. Aku bingung harus menanggapi bagaimana, sementara Aldi ikut tertawa sambil menyambar kunci mobil di atas meja. Baginya mungkin itu sebuah candaan tapi bagiku? Ah…, sudahlah.

***

Sudah hampir sebulan telah berlalu. Kegiatanku berjalan seperti biasa, pagi-pagi mengajar anak-anak di sebuah taman kanak-kanak dan ketika sore mengajar ibu-ibu dan siapa saja yang ingin belajar mengaji. Aldi tidak pernah menghubungiku sejak pertemuan terakhir kami di rumah saudaraku tapi aku tidak heran, memang begitulah komunikasi di antara kami, hanya akan terjalin jika satu sama lain sedang membutuhkan bantuan.

Tujuh hari yang lalu aku melihat postingan terakhirnya, ia sudah terbang ke Lombok untuk menaklukkan puncak Gunung Rinjani. Mungkin beberapa hari yang lalu dia sudah tiba di puncak dan menikmati pemandangan indah danau Segara Anak yang airnya hijau membiru seperi lautan. Ah, kapan aku bisa ke sana?

Aku menengok hapeku yang baru saja berbunyi singkat. Kubuca sebuah pesan di BBM.

Sahabat kecil: Aku berhasil menaklukkan puncak Rinjani.

Aku: Alhamdulillah…, ah jadi iri -,-

Sahabat kecil: Hehehe…, aku sedang dalam perjalanan ke Bandara.

Aku: Semoga selamat sampai di rumah.

Sahabat kecil: Aamiin…, em aku punya hadiah untukmu.

Aku: Apa?

Sahabat kecil: Tunggu…

Lalu muncullah beberapa foto puncak Rinjani di layar hapeku. Masyaa Allah benar-benar indah, inilah puncak gunung terindah yang pernah aku lihat.

Aku: Sangat indah. Thanks.

Sahabat kecil: Ada satu lagi… ^^

Lalu sebuah foto muncul di layar hapeku. Kali ini bukan hanya gambar pemandangan tapi juga foto laki-laki itu yang sedang berdiri di puncak dengan memegang sebuah kertas bertuliskan kalimat yang membuatku tertegun: Naya, maukah kau ke Rinjani bersamaku?

Jantungku tiba-tiba berdebar tak karuan. Ah, apa ini? Aku tidak bisa menjelaskan perasaanku. Aku diam tidak merespon gambar yang satu itu. Aku bingung.

Sahabat kecil: Setibanya di Jakarta, aku akan segera menemui orang tuamu untuk melamarmu.

Aku: Apa kau sedang bercanda?

Sahabat kecil: Tidak. Aku serius. Ibuku sangat menyukaimu. Ia langsung jatuh hati ketika pertama kali melihatmu. Aku masih ingat kata-katamu dulu, bahwa perasaan seorang ibu amatlah peka.

Aku: Perasaan seorang ibu memanglah peka tapi bukan berarti mutlak. Yang akan menikahkan kamu, jadi kamu juga harus mempertimbangkan perasaanmu sendiri.

Sahabat kecil: Aku? Aku sudah menyukaimu sejak dulu, sejak kita masih kecil. Hanya saja aku tidak percaya diri. Tapi tidak kali ini. Setelah menginjakkan kaki di puncak Rinjani, aku sudah punya nyali. Jika Rinjani saja berani kudaki, mengapa mengutarakan niat baik ini aku harus mundur lagi? Aku pernah membaca sebuah tulisan jika ingin menikah, mengapa tidak menengok yang paling dekat lebih dulu, siapa tahu jodohmu adalah orang yang selama ini berada dekat denganmu. Kurasa tulisan itu benar.

Aku: Hem..., baiklah. Datanglah ke rumah jika kau sudah sampai nanti ^^

Sahabat kecil: Apa itu artinya kau juga menyukaiku?

Aku: Jika aku membencimu, kita tidak mungkin berteman hingga hari ini kan?

Sahabat kecil: Akhirnya aku bisa bernafas lega. Kukira aku akan mengalami penolakan :D, sampai ketemu di Jakarta. Setelah menikah, aku akan mengajakmu ke Rinjani. Aku janji.

Flashback off

***

Aku tengah duduk menatap awan yang menggantung di langit. Sudah beberapa menit yang lalu aku berada di salah satu bangku penumpang pesawat menuju Lombok. Di sebelahku duduk seorang wanita muda yang kutemui kemarin, wanita yang menyediakan tiket pesawat untukku. Ia mengatakan bahwa ia sejak dulu ingin berkunjung ke Lombok. Ia memutuskan berangkat di hari yang sama denganku setelah mendengar kisahku yang berhasil membuat matanya basah sepertiku.

Ini adalah penerbangan ke-50 bagiku. Sejak peristiwa itu, setiap tahun aku ke Lombok untuk menemuinya, menemui laki-laki itu. Laki-laki yang berjanji akan mengajakku ke Rinjani namun belum juga ia tepati.

Hari itu, beberapa jam setelah ia mengutarakan niat menikahiku, aku mendapatkan kabar kecelakaan pesawat yang ia tumpangi. Pesawat itu tiba-tiba menghilang. Beberapa jam barulah diketahui bahwa pesawat itu mengalami masalah dan akhirnya jatuh ke dalam lautan. Pencarian dilakukan selama berhari-hari namun tidak semua penumpang bisa ditemukan. Yang ditemukan pun tak ada yang masih bernyawa.

Dia, laki-laki itu sampai hari ini tak ditemukan jasadnya. Di awal peristiwa nahas itu aku tidak bisa percaya akan hasil pencarian yang nihil. Aku langsung terbang ke Lombok untuk mencarinya sendiri dengan perasaan sakit dan terluka. Tentu saja hasilnya tetap nihil tapi aku tidak menyerah. Selama lima tahun berturut-turut aku terus ke Lombok untuk terus mencari, sampai akhirnya aku menyerah dan harus menerima kenyataan bahwa ia sudah pergi untuk selama-lamanya.

Setelah itu aku masih terus ke Lombok setahun sekali. Aku ke sana untuk menemuinya dan mengabari padanya bahwa aku baik-baik saja dan akan terus menanti waktu perjumpaan kami di tempat yang lebih indah, tempat yang kekal tak ada perpisahan di sana.

Kini aku duduk di sebuah bangku panjang. Di depanku Rinjani terlihat begitu dekat. Dengan gemetar kecil kucoba mengambil secarik kertas dari dalam tas. Kertas itu kubuka dan kubaca sekali lagi isinya yang kutulis malam sebelumnya dengan sangat perlahan.

Rinjani…

Apakah kau masih mengingatku? Aku adalah wanita yang menemuimu setahun lalu. Aku wanita yang selalu menangis ketika menatapmu. Tapi hari ini aku bertekad tidak akan menangis lagi. Karena hari ini adalah hari terakhir aku menemuimu. Aku sudah tua, tubuhku telah renta tak mampu lagi kubawa untuk menemuimu di tahun berikutnya.

Apakah kau juga masih mengingatnya? Laki-laki yang dulu mengajakku menikah di atas puncakmu. Ia berjanji akan membawaku menemuimu. Laki-laki yang baik dan tulus hatinya. Aku berharap ia bahagia di sana.

Rinjani…

Selamat tinggal.

Aku melipat kertas itu kembali membentuk sebuah pesawat. Masih dengan gemetar kecil di ujung jari-jari aku merasa kesusahan melipat kertas putih itu. Wanita muda yang sejak tadi mendampingiku meminta izin untuk membantuku. Aku menyerahkan kertas itu padanya dan melihatnya melipat dengan sangat rapi.

Aku tersenyum ketika wanita itu menerbangkan kertas itu ke arah Rinjani di hadapan kami. Aku melihat kertas itu terbang jauh terbawa angin. Kali ini aku benar-benar tidak menangis. Ada perasaan lega karena mulai hari ini aku akan melepasnya, melepas laki-laki itu, melepas sahabat kecilku, melepas kepergiannya dengan seutuhnya agar aku bisa merasa bahagia, perasaan yang telah lama tidak kurasakan sempurna.

Aku menatap langit yang menyilaukan, kupejamkan mata berkali-kali karena lelah. Aku mengantuk dan rasanya ingin tertidur. Tak terasa kepalaku jatuh begitu saja pada pundak wanita muda itu. Aku tersenyum. Kudengar wanita muda itu memanggil-manggil namaku berulang kali tapi aku tak bisa membuka mulut sekedar menyahut. Aku tersenyum menatap Rinjani yang semakin lama semakin terlihat kecil, kecil dan menghilang. Gelap.

Sahabat kecilku, beberapa malam yang lalu aku memimpikanmu. Kau berdiri di bawa pohon yang rindang dengan baju putih bercahaya. Kau sedang menunggu dengan setia kedatangan pengantin wanitamu, yaitu aku.

-Tamat-

 

Nurhudayanti Saleh a.k.a. Asya Ran_ Independent Writer (Kamar tercinta, 24/1/2017. Kadang ada yang setia menunggu dengan tetap memilih sendiri sampai ajal menemui)

 

Nurhudayanti Saleh Photo Writer Nurhudayanti Saleh

Independent Writers -Menulis kebaikan sebagai bekal setelah kematian-

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya