[CERPEN] Dua Cinta

"Aku mencintaimu, Kha.."

 

"Aku mencintaimu, Kha.."

Aku tersenyum sendiri merenungi tulisan di surat. Hanya kata-kata itu yang terlintas di pikirku setelah semalam membacanya dengan hati penuh tanya. Di samping kiriku, mengomel Isni yang tengah mengobrak abrik isi lemari mencari baju gamisnya yang bersembunyi entah dimana. Aku tak menanggapi—tepatnya tak mendengar. Hatiku kini penuh kecamuk berjuta rasa yang entah bagaimana harus kusikapi. Daf'an, lelaki jangkung kakak kelasku itu, kemarin mengirimiku surat yang kini terngiang-ngiang bayang garis-garis tulisannya. Sedikit senang, sedikit bimbang. Senang karena merasa ketika membaca suratnya itu, aku adalah salah seorang wanita yang cukup bernilai. Berharga, ketimbang sebagian teman-teman lain yang tak pernah punya nasib baik dicintai dan ditembak seorang lelaki. Bimbang, karena antara cinta dan karier pelajar terkadang berbenturan satu sama lainnya. Banyak yang berkata, berpacaran seringkali menjadi penghalang meraih prestasi. Jadi malas belajar, kepikiran terus, terkadang hubungan yang sedang kurang baik mengganggu konsentrasi, atau dalam banyak kasus, cemburu lah masalah utamanya.

Ah, tapi hubungan pacaran yang baik juga bisa membuat dampak positif, bukan? Seperti yang dikatakan beberapa teman juga, pacar seringkali menjadi penyemangat ketika kita malas belajar, menjadi teman curhat ketika sedih, atau bahkan ada yang sering dibangunkan shalat tahajjud di tengah malam--yang sebenarnya bisa diambil alih fungsinya oleh jam beker.

Yah, begitulah. Maka karena memandang dari kaca mata sudut baik itulah, aku memutuskan menerima ajakan Daf'an untuk pacaran hari ini. Kutulis surat dengan dada berdegup kencang, seolah-olah ia sendiri yang sedang memandangiku di depan. Mengajak berbicara.

Kami pun resmi sudah menjadi sepasang kekasih hari ini, tanggal 26 September 2017. Pun resmi sebagai hari jadi yang akan dirayakan setiap tahun nantinya.

Tapi, sayangnya waktu tak semudah itu memberi jalan mulus. Waktu-waktu berlalu, menjejak hari demi hari, minggu demi minggu, bulan berganti satu persatu hingga genaplah satu tahun perjalanan pacaran kami. Di antara batas-batas waktu itu, aku merasakan sendiri kebenaran pernyataan-pernyataan yang dulu sempat membuatku bimbang. Ya, memang benar, berpacaran seringkali menjadi penghalang meraih prestasi. Jadi malas belajar, kepikiran terus, terkadang hubungan yang sedang kurang baik mengganggu konsentrasi. Seperti satu bulan yang lalu, ia yang sering dekat dengan salah satu siswi kakak kelasku yang menjabat sekertaris OSIS--sementara Daf'an memang ketua OSIS-nya--benar-benar menggangu koseentrasi belajar. Malam-malam aku menangis karena tak tau harus berbuat apa. Mau menuduhnya? Itu memang tugasnya sebagai sekertaris. Mau ngambek? Ngambek karena apa? Sekali lagi, itu memang sekertarisnya. Cemburu memang menyakitkan.

Tapi, hal itu juga terjadi dalam artian positifnya, terkadang. Beberapa kali ia membuatku semangat ketika sedang malas-malasnya belajar, menjadi teman curhat ketika sedih, atau membangunkanku shalat di tengah malam.

Hingga suatu hari, sebuah kejutan membuat bimbang hatiku lagi. Berita itu sampainya dari Isni. Jum'at pagi, ketika kami sekelas ditugaskan menyapu halaman depan sekolah, sebuah keributan kecil terjadi di depan gerbang. Ran, seorang kakak kelasku yang menjadi primadona sekolah ini tercebur ke dalam selokan bersama sepedanya. Semua orang melihat, pakaian putih abu-abunya separuh menghitam tercelup got bau berair hitam. Anak-anak memenuhi pinggir jalan menonton adegan lucu tersebut. Kebanyakan tertawa--terutama para lelaki, sebagian menutup mulut--kebanyakan yang perempuan. Menyaksikan sang idola dalam keadaan sebegitu 'mengenaskan'nya. Tentu saja ia malu. Mukanya merah padam sambil berlarian menuju toilet sekolah dan tak masuk hari itu. Tapi berita hebatku bukan pada adegan memalukannya itu, tapi di bagian penyebab terjadinya peristiwa. Kata Isni, ia sendiri yang melihat Ran sebelum tercebur itu terus memperhatikanku menyapu halaman hingga lupa menatap depan. Baru sadar ketika ban sepedanya sudah tergelincir masuk got.

Ah, bagaimanalah ini. Jika benar Ran yang tampan sejuta sinar itu menyimpan perasaan kepadaku, bagaimana aku akan menolaknya?

Jika kalian tidak mengerti betapa menakjubkannya pesona Ran, biar kuceritakan sedikit tentangnya. Kerling matanya memukau bak aktor Brian dalam film Fast and Furious. Hidungnya mancung sedikit bengkok--seperti Syah Rukh Khan jika kalian suka nonton Bollywood. Kulitnya putih bersih, seolah anak perempuan yang dipingit seumur hidupnya. Tatapannya lembut, tutur katanya halus dan sopan, ia tak pernah punya kasus atau membolos sekolah. Malahan, di dalam lemari besar sudut kantor sekolah kami, hampir penuh sebagian bawahnya oleh piala-piala yang ia menangkan. Olimpiade matematika, yang membayangkan diriku mengikutinya saja tak berani, ia justru tampil sebagai sang nomor satu setiap kali menjadi peserta. Juara kelas? Jangan tanya. Ia sudah berkarat di ranking satu sejak pertama menginjak kelas satu SD.

Lantas jika benar ia mencintaiku? Oh Allah, apa yang harus kulakukan. Ah, tapi itu baru perkiraan Isni saja kan? Siapa tau dia melihat orang lain. Atau ada sesuatu yang lucu pada diriku yang membuatnya menoleh hingga tak menyadari ban sepedanya telah terperosok ke dalam selokan bau itu.

Sayang perasaan tak dapat dibohongi. Sorenya, tanpa kumengerti sebabnya, aku mematut-matut diri di depan cermin. Memandang raut muka dan postur tubuh. Ah, tak jelek juga. Bahkan cantik sekali, pikirku--tentu saja.. Mataku bulat besar, hitam sempurna. Jika melihatnya dari dekat, bayang-bayang yang tampak sangat samar. Lebih samar dari mata cokelat kebanyakan teman. Hidungku bangir, bibirku tipis dan merah kemuda-mudaan. Cukup memikat. Jika tersenyum, ada lesung pipit menymbul di pipi sebelah kanan. Rambutku hitam dan lurus seperti di-rebonding. Kulitku putih bersih tak berjerawat sebiji jua. Bentuk mukaku oval agak bulat. Baiklah, jika tidak karena takut dikira sombong, mungkin wajahku kukira mirip Jesica Mila..

Hari-hari pun berlalu. Tak kusangka semua yang dikatakan Isni itu benar terjadi. Pagi-pagi sekali, saat siswa-siswa sekolah baru datang satu-dua, mataku menangkap sesuatu yang aneh di pintu depan kelas. Aku baru saja memasukkan tas ke dalam bangku ketika sebuah bayang melintas, yang sekilas hanya kepala yang seperti mengintip. Berlalu cepat ketika aku menengok. Saat itu aku belum begitu peduli dengan apa yang kulihat, tetapi seiring berlalunya hari-hari, kejadian itu semakin sering terjadi. Kepalaku jadi dipenuhi tanda tanya. Siapakah itu? Atau terkadang, "apakah" itu? Ah, yang terakhir ini segera berusaha kuenyahkan secepat mungkin. Pun, mana ada makhluk halus mengintip di pagi hari di tempat yang agak ramai.

Ya, terkadang aku juga merasa seseorang memandangiku ketika upacara bendera, makan di kantin, membaca di perpustakaan, bahkan ketika tengah berbicara dengan teman-teman. Perasaan ini terus menghantui diperkuat dengan beberapa kali aku menemukan sebuah bayang kepala berkelebat cepat di ujung pintu.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Suatu hari, Isni, yang juga masuk pagi-pagi sekali hari itu menemukan siapa orang yang seringkali mengintipku di dalam kelas.

"Gila, Kha! Tau nggak siapa yang aku temuin di pintu tadi? Ngintipin kamu!" nadanya eksposif dan berapi-api. Aku mengernyit.

"Siapa?" kataku.

"Ran!" serunya sembari matanya membulat. Besar-sebesar bola pimpong—hanya majas. Tawanya menyeringai, memegangi tanganku dengan keras—atau lebih tepatnya meremas-remas. Dia benar-benar mirip anak kecil yang berhasil berubah menjadi Power Rangers—sekali lagi, hanya majas..

Aku tertegun. Hatiku terasa dibalut sejuta perasaan bercampur aduk. Gembira, sedih, terharu, kecewa. Rasa-rasanya, aku makhluk dengan campuran perasaan teraneh di dunia ini. Kenapa baru sekarang?

Ah, maksudku, aku juga sungguh menyukai lelaki itu sejak dulu. Kenapa baru sekarang ia menampakkan perasaan itu? Kenapa tak dari dulu?

Hari-hari yang kujalani seketika benar-benar sulit kumengerti. Memandangi Daf'an terkadang membosankan. Dulu, kulit hitam manisnya benar-benar memikat hatiku—yang juga sepenuhnya tak kumengerti bagaimana bisa terjadi. Berbicara dengannya sekarang mulai tak menarik. Terkadang tidak nyambung rasanya. Di dalam kepalaku berkecamuk sejuta sesal seribu rindu. Menyesal telah menerima cinta Daf'an, rindu menatap seseorang yang masih menjadi misteri dalam hidupku..

Aku tak tahan lagi. Mungkin memang sejak dulu aku harusnya memutuskan hubungan dengan Daf'an. Maka, di sebuah hari yang terik, ketika matahari siap tergelincir di kaki langit, ketika anak-anak berbondong-bondong pulang sekolah, aku memutuskan mengakhiri hubunganku dengan Daf'an. Ia bertanya-tanya. Memegang tanganku, berusaha meminta penjelasan. Tapi aku yang benar-benar telah dicuri hatinya segera saja menemukan berjuta alasan beribu alibi atas sikapku: Ia sering membuat aku cemburu, terkadang duduk berdua dengan sekretaris OSIS itu membayang-bayangi kepalaku hingga sulit tidur di malam hari. Kami tak mempunyai jalan keluar. Ia tak mungkin jauh dari gadis itu, maka aku juga tak mungkin terus bersamanya. Ia juga kini semakin jarang memperhatikanku. Semakin jarang membanunkanku shalat malam seperti dulu—yang sebenarnya tanpa dibangunkan pun aku sudah cukup bersama jam beker.

Begitulah seseorang yang ingin pergi, selalu punya sejuta alasan untuk menjauh. Bahkan jika sebenarnya tak masalah awalnya. Sama seperti seorang yang ingin tinggal, juga memiliki semilyar pembenaran dan alibi menipu hati sendiri, bahkan ketika telah jelas tak ada yang masih tersisa.

Tapi tak kusangka, hari itu Daf'an ternyata merelakan aku berpisah dengannya. Mengatakan akan terus mencintaiku walaupun aku bukan miliknya lagi. Hatiku sedikit terenyuh, namun tetap saja tak cukup untuk membuat aku memutuskan bertahan.

Dengan tatapan sayu berkaca-kaca, ia pergi bersama sejuta sesal dan pasrah yang tak bisa ia temukan jalan keluarnya. Pergi besama perasaan yang masih menggebu kepada seseorang yang tergyata lebih memilih orang lain. Ah, betapa teganya aku..

Sayangnya hati tak dapat dibohongi.

Keesokan harinya, ternyata tak menunggu hari-hari menghapus kegamangan, Ran benar-benar menembakku. Menyatakan cinta dengan berlutut. Mempersembahkan sekuntum mawar biru dan membacakan selarik puisi. Hari berasa begitu hidup pagi itu. Aku seperti bisa mendengar setiap kicau burung dan nyanyian daun kelapa bergesekan. Teman-teman memandangiku dengan tatapan menyunggingkan senyum. Ikut berbahagia. Kami nyatanya sepasang pasangan yang sungguh serasi. Matahari menyinar lembut rumput-rumput basah yang dipeluk embun. Bunga-bunga bermekaran. Taman mini di depan kelas berpesta diselingi kelepak sayap sejuta kupu-kupu.

Kawan, perkenalkan. Namaku Kha..

Lengkapnya.. K-H-A-Y-A-L-A-N.

 

Cahaya Bayangan Photo Writer Cahaya Bayangan

Member IDN Times Community ini masih malu-malu menulis tentang dirinya

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Arifina Budi A.

Berita Terkini Lainnya