Aku masuk dalam dimensi ruang dan waktu yang semua orang pernah merasakan. Mungkin hanya waktu saja yang membedakannya. Benang merah dari cerita itu sama saja, hanya objek kecil yang didalam itu memberikan kesan berbeda. Objek itu memberikan cerita yang berwarna yang bisa dinikmati tiap manusia bila mengetahuinya. Aku salah satu objek kecil yang menjadi pemeran utama dengan segenggam cahaya yang akan kutuliskan bagaimana mendapatkannya dan belum dapat aku lepaskan.
Aku manusia yang berharap pada angin sang sahabat tak terlihat, memintanya untuk membawakan segenggam cahaya yang dapat menerangi ruang gelap ini. Cahaya datang lalu pergi begitu beragam, cahaya masuk kecelah ruang hati yang tertutup. Aku hanya bisa tersenyum dikala sadarku melihat cahaya datang sejenak dan redup seketika. Sudah biasa untukku tiap kali angin sang sahabat tak terlihat membawa cahaya demi cahaya itu, ketabahanku sudah melebihi batas dan aku anggap itu upaya demi kebahagiaan.
Di pagiku, aku merasakan cahaya yang memberikan kehangatan namun terasa menyengat di kala siang tapi masih ada kesejukan di sore hari. Sadarkah kalian, itulah permainan dan kemampuan dari sang cahaya yang bisa merombak hati sang manusia. Kembali aku berbisik pada angin sang sahabat tak terlihat, salahkah dan egoiskah aku mengharapkan cahaya datang namun hanya bisa memberikan kehangatan dan kesejukan saja tanpa perlu merasakan sengatnya cahaya itu di siang hari?
Sang angin hanya berkata, bukankah bila salah satu tak kau rasakan, maka itu akan mengurangi satu warna dalam hidupmu. Aku tersentak dan hanya terdiam mendengar ucapan sang angin. Benar apa katanya namun aku masih ragu dengan keyakinanku. Duhai cahaya yang aku impikan, kapankah aku akan menemuimu dan bisa kugenggam kau lalu kubawa pergi, kataku dalam hati.
Aku merasa menjadi sang manusia penuh sabar di kala cahaya silih berganti menemuiku. Harapanku tanpa batas dan tak akan pernah pupus menantikan satu cahaya yang membuat terang jalan gelapku. Lalu di kala sore itu, saat aku memandangi langit abu-abu, ujarku tak akan lagi kudapatkan cahaya di hari ini, namun ternyata aku salah, seketika cahaya menyapaku yang telah hilang harap ini. Satu cahaya penuh kehangatan dan kesejukan dalam satu waktu memberiku tawa. Cahaya itu datang begitu lama, bukan hanya sekedar menyapaku, namun menemani dan memberi kemyamanan.
Tak ingin rasanya aku kehilangan cahaya pengharapanku. Namun cahaya itu sedup dikala sang langit perlahan berubah hitam. Tak seperti cahaya sebelumnya yang pergi meninggalkan perih, yang justru aku rasakan adalah tersisanya kedamain hati. Harapku terukir panjang untuk sang cahaya kala sore itu. Aku hanya sang manusia penuh harap, menanti kebahagian menghampiri dengan usaha keluh kuperjuangkan senyum merekah di wajah ini.
Tak banyak harapku, bila salah satu mimpi dan angan konyol itu terjadi disitulah buah manis yang kugenggam. Lalu dilamunanku cahaya kemarin kembali menyapa dan sejak saat itu aku tak pernah kehilangan tawa lagi. Ketika hari perlahan berubah menjadi bulan, aku masih terbuai dengan angan bersama cahaya yang kugenggam. Mimpiku semakin besar karena cahaya telah mengajarkanku untuk tidak takut menggoreskannya. Bukan hanya terbuai namun juga aku mulai terbiasa dengan adanya satu cahaya.
Aku sadar tak setiap saat cahaya itu menemaniku, dia juga memiliki tugas untuk menemani hati manusia lain, namun aku tau dititik mana cahaya menemukan kenyamanan untuk berdiam diri dan memamerkan keindahan sekaligus tak segan menceritakan kekurangannya, yaa itu hanya dia lakukan padaku dan aku syukuri itu. Dalam hati penuh kagum ini aku masih saja berterima kasih padanya sang cahaya yang memilihku untuk percayakan segalanya.
Aku bahagia ketika dia datang penuh senyum, sedih ketika dia kehilangan kilaunya, bahkan aku marah ketika dia menceritakan kisah sang manusia lain. Namun aku hanya manusia yang memainkan perannya, mencoba tetap terlihat tegar dan bahagia ketika sang cahaya tak ada menyapaku. Tapi aku tak pernah tau apa yang cahaya pikirkan tentangku, aah sudahlah nyatanya aku selalu saja bahagia karenanya. Di saat kita mulai merangkai satu angan menjadi mimpi itulah masa keemasan dalan perjalanan panjangku dengannya.
Banyak waktu yang kita butuhkan untuk mewujudkan satu demi satu mimpi itu. Sudah kusiapkan satu waktu agar terlaksana apa yang kita inginkan. Kupersiapkan hati dan raga ini, karena aku tau proses itu akan melelahkan. Di saat aku siap untuk memulainya, sang cahaya datang membawa satu kabar teramat penting dan berpengaruh untuk perjalanan ini. Aku hanya bisa diam, tak tau apa yang harus aku lakukan, yang terjadi saat itu hanyalah kembali teringatnya semua memoriku bersama sang cahaya.
Aku ingat sore dimana cahaya menyapaku, saat dia mengubah senyum menjadi tawa, menggoreskan luka dan perih, mengajariku untuk selalu memaafkan, membuat aku tabah dan membuat aku berani untuk bermimpi. Kisah sebentar namun begitu penuh makna. Aku tak pernah tau kabar yang dia bawa untukku itu baik atau tidak, yang aku pahami hati ini tergores luka. Kembali aku kuatkan hati ini, karena aku hanya sang manusia yang sedang memainkan perannya.
Bulan kedua sejak saat itu aku mulai terfikir mungkin inilah jalan yang Tuhan berikan agar aku tau sampai di mana aku bisa bertahan. Masih aku lewatkan hariku dengan penuh harap dan angan konyol bersama cahaya... Cahaya lain yang tak lagi sama. Karena cahaya yang memberiku segalanya telah bersinar ditempat lain yang mungkin saja sedang menerangi manusia lain. Aku tahu pasti, cahaya itu masih berada dilangit yang sama walau aku tak pernah melihat sinarnya, namun kehangatannya masih terasa sampai detik ini, bahkan detik disaat cerita ini sampai padamu sang cahaya pengharapanku. Maafkan aku yang kembali menjadikanmu sebagai pemeran utama dicerita ini. Aku hanya rindu dan inilah ungkapan rinduku.