Aku menjatuhkan diri ke sebuah sofa cokelat berlapis kain pudar dengan motif persegi khas vintage yang hangat. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengagumi interior sebuah kedai kopi klasik bergaya vintage yang baru kukunjungi untuk pertama kalinya. Lampu gantung di atas sana memancarkan cahaya kuning temaram yang lembut, menciptakan suasana damai yang sulit dijelaskan oleh lisan. Dindingnya diselimuti jam antik, radio tua, dan foto hitam-putih dalam bingkai kayu yang mulai lapuk. Alunan musik beraliran jazz yang diputar melalui sebuah gramofon tua melengkapi kesempurnaan dunia kecil di dalam sini.
Sayangnya, kesempurnaan itu tak mampir ke benakku yang kacau. Aku tersenyum getir, melanjutkan riset terakhir yang akan kulakukan hari ini melalui ponselku yang tampak tak berumur lebih dari sepuluh hari lagi. Aku mengangkat bahu acuh tak acuh. Aku jelas tak peduli dengan apa yang akan terjadi pada sepuluh hari ke depan.
“Wow, apa kau seorang penulis, Nona?” seru seseorang dari balik pundakku, diikuti siulan singkat.
Aku terkejut bukan main, nyaris meloncat dari tempat dudukku. Belum sempat aku menoleh, tiba-tiba sofa di depanku terisi oleh seorang pemuda tampan dengan postur wajah yang tegas nan memesona. Kulitnya putih pucat, sedikit kemerahan. Alisnya tebal dan rambutnya ditata dengan gaya comma hair. Benar-benar sempurna. Aku nyaris tak berkedip memandangnya. Rasanya seperti melihat model majalah yang baru kubaca kemarin sore.
Pemuda itu mengulurkan tangan, “Namaku Jake Sim. Kau?”
Aku segera mengontrol diri, membalas uluran tangannya, “Stella Isley.”
Jake tersenyum, “Kau seorang penulis, ya?”
"Mengapa kau berpikir begitu?" tanyaku, agak tertarik dengan sikapnya yang aneh dan tiba-tiba.
Jake sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan, “Tadi aku tak sengaja melihat ponselmu. Kulihat kau tengah membaca artikel tentang cara paling mudah untuk mengakhiri hidup. Kau pasti ingin menjadikannya referensi untuk tulisanmu, kan?”
Aku terkekeh hambar, sedikit terhibur dengan kepolosannya, “Mungkin.”
Jake menjentikkan jarinya dengan semangat, ia berseru, "Sudah kuduga!" Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, kemudian dengan serius mendekatkan wajahnya padaku, berbisik pelan, “Aku tahu, karena sebenarnya aku seorang penulis terkenal.”
Aku mengangkat satu alis, tersenyum tipis, “Oh, ya?”
"Hei, kau meragukanku?" Jake tampak tak terima. "Kalau tak percaya, kau bisa mencari namaku di internet. Jangan kaget kalau ternyata aku sangat populer."
Aku tersenyum, sedikit menggodanya, "Oke-oke, Tuan Penulis Tampan nan Terkenal. Aku percaya padamu."
Kulihat wajah Jake yang kemerahan makin merah.
Aku tak bisa menahan tawaku.
Jake tersenyum, "Kau menang, Nona Isley."
Aku mengangkat bahu, "Nah, sekarang kau bisa menjelaskan alasanmu duduk di depanku, Tuan Sim."
Jake menyeringai, "Sebagai penulis terkenal, aku hanya ingin memberimu saran," katanya penuh percaya diri. "Ceritamu akan jadi lebih baik jika tokohmu tak melakukannya."
Aku mengernyitkan dahi, "Melakukan apa?"
"Mengakhiri hidup. Jangan biarkan ceritamu berakhir begitu," ujar Jake sungguh-sungguh.
"Mengapa?"
"Sederhana saja. Sebab masih ada ribuan akhir cerita yang jauh lebih baik baginya," kata Jake. "Kau bisa memilih akhir cerita mana pun, bahkan yang jauh lebih indah. Tapi jangan memilih untuk mengakhiri hidup. Itu sama sekali bukan pilihan."
Aku menghela napas berat, memandang kopiku yang nyaris dingin, "Justru karena itu bukan pilihan, Tuan Sim, melainkan satu-satunya jalan yang tersisa. Tak ada jalan lain, jadi ia memutuskan untuk mengakhirinya."
"Hei, kau tahu? Terkadang pandangan kita menjadi sempit sebab terlalu fokus dengan apa yang kita pikirkan. Padahal nyatanya banyak jalan lain yang tak pernah kita susuri hanya karena kita menginginkan sebuah jalan sempurna yang tercipta dalam pikiran kita sendiri," ucap Jake lembut.
"Kau bukan tokoh ceritaku, Tuan Sim. Kau tak pernah merasakannya," rutukku dingin.
"Kau benar. Aku bukan tokoh ceritamu," balas Jake. "Tapi aku pernah merasakannya. Kau tahu, tidak? Justru seseorang bisa menasihati orang lain karena pernah merasakannya."
Aku terkesiap, lantas memandang Jake. Kini aku menyadari sebuah emosi yang samar di wajah tampannya.
Jake menatapku lekat, "Dengar. Seseorang yang berteriak ingin menghilang adalah seseorang yang justru ingin ditemukan. Seseorang yang berbisik ingin pergi adalah seseorang yang justru ingin tinggal. Dan seseorang yang berbicara ingin mati adalah seseorang yang justru ingin hidup. Kau tentu mengerti maksudku."
Aku kehabisan kata-kata untuk menanggapi saran Jake yang ((sialnya)) mulai terdengar masuk akal.
Jake tersenyum hangat, "Karena itu, kau bisa memberi akhir cerita yang lebih baik untuk tokohmu, Nona Isley."
Aku berkata serak, hampir bergumam, "Caranya ...?"
"Mudah. Temukan alasan sederhana untuk bertahan. Se-simple kau ingin menunggu lagu terbaru idolamu, menantikan drama favoritmu, atau ingin menyaksikan pertunjukkan teater nanti malam," terang Jake. "Tapi, meski begitu, sebetulnya kau tak memerlukan sebuah alasan untuk bertahan. Kau hanya harus melakukannya. Dan akhirnya kau akan menemukan banyak hal baik yang tak pernah kau temui sebelumnya, hanya dengan bertahan. Setelah itu semua, kau bahkan tak pernah berpikir ingin mengakhirinya lagi."
Aku tertawa, "Kau ini psikolog atau penulis, sih, Tuan Sim?"
Jake menyeringai, "Keduanya," katanya. "Jadi idolamu pun aku bisa."
"Klasik," selorohku.
Jake tertawa.
Aku kini berpikir serius, tampak menimbang-nimbang keputusan, lantas menjentikkan jari, "Oke, akan kupakai saranmu. Aku akan membuat sebuah alasan sederhana untuk membuat tokohku bertahan."
Jake tampak senang, "Saranku memang tak pernah mengecewakan, sih." Ia kini sedikit penasaran, "Omong-omong, apa alasan tokohmu bertahan?"
Aku tersenyum, menatapnya, "Kau."
Semburat merah menghiasi wajah Jake yang sempurna, ia tersenyum, "Kalau begitu, aku yakin ceritamu akan berakhir jauh lebih manis daripada yang kaukira."