[CERPEN] Negeri Tanpa Penjahat

Ide Darmono memang sering kali terlalu liar. Ia banyak memimpikan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Tak ayal, ia sering dianggap gila oleh orang di sekitarnya karena tak berhenti berceloteh. Ia banyak beropini dan sering berkhayal. Pria itu punya banyak keinginan yang terkesan kurang wajar. Respon orang-orang hanya geleng-geleng kepala atau jika tidak, mereka akan mengatakan, "Sudahlah Darmono, mana ada hal seperti itu bisa terjadi di dunia ini. Jangan banyak berkhayal."
Imajinasi liar membuat pria itu bisa menulis. Saat orang lain belum bisa mengerti atau menerima ucapannya, lembaran kertas putih selalu bisa menjadi tempat untuk menuangkan dunia yang sudah terlalu berisik dalam kepalanya. Sebab, saat orang-orang memaksa mulutnya untuk bungkam, ia masih bisa punya jari untuk merangkai kalimatnya.
Tak ada hal besar yang perlu dipermasalahkan. Darmono hanya ingin mewujudkan dunia yang damai, di mana setiap orang bisa menjalankan peran masing-masing dan mereka bisa memenuhi kebutuhannya. Itu artinya, tak perlu ada orang yang bertindak merugikan. Tidak muluk-muluk, Darmono hanya menginginkan dunia tanpa penjahat. Meski demikian, ia masih cukup ragu tentang bagaimana jadinya negeri seperti itu. Tapi sudahlah, lagi-lagi Darmono hanya ingin negerinya damai.
"Kenapa tak hidup dengan baik saja? Menjalani peran tanpa harus main kotor untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar? Bukankah semuanya hanya sementara?" Tanya Darmono saat menikmati sore bersama kawannya, Suryo.
Suryo satu-satunya orang yang masih bisa bertahan mendengar ocehan Darmono. Meski ia kurang lebih seperti orang-orang yang menganggap bahwa dunia Darmono sedikit tak biasa, Suryo sebenarnya juga punya mimpi seperti Darmono. Dunia yang damai, sebab ia sudah lelah dan cukup menderita akibat ulah mereka yang serakah.
Suryo menarik napas, bersiap menerima pertanyaan yang terdengar seperti keluhan dari teman karibnya. "Mereka dibutakan kesenangan sesaat, Dar."
"Yah, aku tahu hidup enak hari ini, besok dan seterusnya memang jadi dambaan, tapi siapa yang bisa menjamin bahwa usaha mati-matian hari ini masih akan dinikmati esok harinya? Siapa yang tahu bahwa besok-besok kita masih punya nyawa untuk bersenang-senang?"
"Benar, tidak ada manusia yang menjamin, Dar," ujar Suryo sambil menatap bentangan sawah hijau di hadapannya.
"Makanya itu, bagaimana jika akhirnya seseorang telah bekerja keras mati-matian, bahkan rela menggunakan cara kotor yang merugikan, tapi pada akhirnya waktu mereka di dunia ini sudah habis. Sungguh apes, pada akhirnya setiap proses termasuk perbuatan kotor itu harus dipertanggungjawabkan."
Sudut kanan bibir Suryo tertarik. "Tapi yang mengherankan sampai saat ini orang-orang seperti itu masih menikmatinya, manusia memang kadang cukup serakah."
"Masalahnya, satu perbuatan kotor bisa menimbulkan perbuatan kotor lain, dunia jadi tidak bisa tenang. Sungguh memuakkan."
"Memangnya dunia seperti apa yang tidak memuakkan?" Tanya Suryo.
"Dunia yang damai. Negeri tanpa penjahat," ujar Darmono tenang.
"Apa kau bisa membayangkan bagaimana dunia ini dalam kehidupan seperti itu?" Tanya Suryo.
"Aku tak yakin, sejauh ini yang kupikirkan hanya damai."
Semilir angin membuat Darmono menikmati sore itu. Ia menutup mata. Merasakan angin yang menyapu wajahnya. Lalu saat ia membuka matanya. Semuanya berubah. Seolah ada yang berbisik bahwa ia sudah hidup di dunia yang ia impikan. Tak ada kecurangan. Tak ada penguasa yang semena-mena dengan kebijakannya dan tak ada warga yang bertindak di luar batas. Peran dijalankan dengan bersih tanpa main kotor. Penjara-penjara kosong, setiap kabar selalu baik. Tapi sayangnya, setiap orang menjadi bingung.
Benar, Darmono merasa senang, tapi entah mengapa ia diselimuti ketakutan. Tulisan-tulisan dalam buku yang ia rangkai dengan jarinya tentang dunia utopia benar-benar ada di depan mata.
Lalu di ujung jalan. Sekelompok orang datang bertanya-tanya, "Apa yang terjadi? Siapa yang melakukan ini? Orang-orang jadi bingung, tak ada batas yang benar dan salah."
Darmono tersentak, matanya terbelalak. Ia baru saja terbangun dan mendapati dirinya terbaring mengenaskan. Dari kedua lengannya, mengalir darah. Ia kehilangan jarinya untuk menulis dan untuk menciptakan dunia seperti itu lewat tulisannya. Habis sudah mulutnya sudah dibungkam, kini ia tak lagi diizinkan untuk menulis.
Dalam kondisi lemahnya, Darmono masih diselimuti pertanyaan, "Apa dunia seperti itu memang sebuah kedamaian?"