[CERPEN] Pelatuk

Benar sekali, Harlina hanya manusia biasa pada umumnya yang juga menyimpan sebuah pelatuk dalam dirinya. Ada masa di mana ia tak bisa lagi menahan untuk melepaskannya, sebab tekanan serta dominasi dari orang-orang di sekitarnya yang terlalu angkuh cukup membakar rasa sabar yang selama ini ia pegang erat.
Harlina. Seorang gadis yang kini menghuni tembok besar yang memisahkan manusia-manusia dari ekonomi kelas atas dan bawah. Dari tembok besar itu ia banyak menyaksikan ketimpangan yang luar biasa memuakkan. Meski hidup berdampingan, tapi melihat penguasa yang tak becus dan rakyat semakin hari juga semakin menggila, ia memutuskan untuk turun tangan. Bukan untuk jadi pahlawan, ia hanya sudah muak melihat hal yang kurang rapi di matanya dan fenomena tentang orang-orang yang mengambil keuntungan hingga merugikan orang lain terlihat seperti noda yang harus dibersihkan bagi Harlina.
Menurutnya, noda-noda itu merusak keindahan dan harus disingkirkan. Berangkat dari keresahan yang terus mengganggunya itu, Harlina turun tangan. Entah orang-orang akan melihatnya sebagai pahlawan atau penjahat, ia tak peduli. Sebab meski tak berada di antara kedua itu, Harlina cukup tahu bahwa apa yang ia lakukan hanya sebuah paradoks yang selalu bisa membuatnya berada pada garis abu-abu di mata orang lain.
Dari atas tembok besar, Harlina selalu tak bisa menghindar pada tangisan yang terdengar seperti rintihan dari seseorang yang berada dalam labirin gelap sambil mencoba mencari jalan keluar. Orang-orang dalam labirin itu selalu berharap belokan selanjutnya akan membawanya pada cahaya kebebasan tanpa takut terjebak lagi.
Di sudut labirin yang lain, sosok-sosok dengan hati yang tulus memberikan bantuan namun berakhir dikhianati oleh mereka yang gila dengan keuntungan yang membuat mereka lupa diri. Mereka menyimpan egoisme yang mengalir dalam setiap aliran darahnya hingga mereka lupa akan banyak hal yang lebih berarti daripada keuntungan duniawi yang sementara. Mereka melupakan makna.
Sementara di suatu tempat yang mewah nan menyenangkan beberapa orang tertawa ria dengan jamuan nikmat seolah tak ada hak orang lain yang tengah mereka rampas. Entah benar-benar lupa atau pura-pura lupa, keduanya cukup merugikan dan menyengsarakan.
Tidak tahan lagi. Harlina memasuki kubangan para penjahat. Sebuah tempat di mana benar-tak ada empati. Meski diselimuti amarah, Harlina masih menyimpan keraguan akan tindakannya. Tapi ingin membereskan dan menyingkirkan semua noda yang menciptakan ketidakadilan. Setidaknya agar dunia hanya diisi oleh orang-orang yang tulus.
Sebuah senjata disiapkan. Harlina siap menarik pelatuk. Dalam sepersekian detik peluru dilayangkan dan mengenai sosok paling menyebalkan dan merugikan.
"Enyahlah, dunia akan lebih damai jika orang sepertimu disingkirkan."
Laki-laki itu terhuyung, menatapnya dengan mata setengah terbuka. Dengan nada lemah dan kemeja biru yang dipenuhi darah mulutnya bergetar. "Siapa kau yang berhak menentukan bahwa orang sepertiku sudah tak layak hidup?"