Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
delightfulcycles.tumblr.com
delightfulcycles.tumblr.com

Reyna telah bersepakat dengan mama. Reyna akan kuliah, tetapi sebelum itu Reyna akan bekerja dulu. Bekerja apa, itu urusan nanti, semoga keberuntungan berpihak pada Reyna. Sungguh, Reyna ingin sekali mencari uang sendiri.

“Baiklah. Kau boleh bekerja selama satu tahun,” kata mama.

“Dua tahun, Ma,” Reyna menukas.

“Satu tahun.”

“Dua tahun dong, Ma. Please.”

Mama terdiam memandang Reyna yang memasang wajah memelas. Reyna sudah tahu trik jitu agar permintaannya dituruti mama. Mama yang lemah lembut, pasti akan menyerah bila melihat Reyna memohon dengan wajah memelas.

“Baiklah. Dua tahun. Tetapi janji, setelah itu kamu harus kuliah Hubungan Internasional. Mama ingin kamu menjadi diplomat, lalu mengajak mama keliling dunia. Mama ingin sekali pergi ke New York, London, Paris....”

“Makasih, Ma. Makasiiihhh,” Reyna memeluk dan mencium mama.

Hari-hari berikutnya, dengan mengendarai Vario pink kesayangan, Reyna menuju alamat-alamat yang memasang iklan lowongan kerja di koran. Dengan penuh semangat, tak peduli jalanan padat, terik matahari, gadis itu memasuki gedung demi gedung menawarkan ijazah SMA-nya. Namun, ternyata mendapatkan pekerjaan yang cocok tak seindah dalam impian Reyna. Sebetulnya, beberapa perusahaan siap menerima Reyna bekerja di sana sebagai cleaning service atau sales. Oh, tidak!

Pada hari ke-17 petualangan mencari pekerjaan, Reyna mengantar berkas lamaran ke perusahaan jasa pengiriman barang. Usai dari kantor itu, Reyna duduk di kursi taman kota.

Matahari bersinar hangat. Di bawah pohon peneduh, di kursi beton di sudut taman kota, Reyna duduk terpekur. Semangat di wajahnya tak semenyala hari-hari kemarin. Sepasang matanya bersinar redup. Beberapa kali gadis itu tampak menghela napas, sebuah petunjuk bahwa ia mengalami kelelahan semangat. Detik berikutnya, Reyna menengadahkan kepala menatap langit biru.

“Ya, Allah. Bila aku pernah berbuat baik, tolong, jadikan kebaikanku itu untuk melepaskanku dari kebuntuan ini,” bibir Reyna menggumamkan harapan.

Reyna masih duduk di sana. Taman kota tak seramai saat sore. Banyak kursi taman yang kosong. Mungkin hanya pengangguran seperti Reyna yang duduk di taman kota pada saat jam kerja.

Reyna mendekap tas selempang hitam. Ada dua berkas lamaran di dalam tas itu, tetapi Reyna merasa malas untuk mengantarkannya. Dalam satu helaan napas yang ke sekian, gadis itu merasa bahwa keberuntungan belum berpihak padanya. Ia hendak menyerah dan berpikir untuk membatalkan kesepakatan dengan mama.

Reyna memutuskan hendak pulang, tetapi dering ponsel membuatnya berpikir ulang. Reyna menerima telepon itu dan seketika senyum mengembang di bibir ranumnya. Ia bergegas meninggalkan taman kota, melajukan Vario menuju kantor perusahaan jasa pengiriman.

Reyna masih tak percaya, sekitar satu jam yang lalu ia mengantarkan berkas lamaran di perusahaan jasa pengiriman itu, kini ia telah berada di ruangan manajer.

Reyna duduk tegak dan bersikap sopan layaknya seorang pelamar. Di depannya, seorang wanita paruh baya sedang membuka-buka berkas lamaran Reyna.

“Saya sudah baca berkas lamaran Anda,” kata wanita itu. “Tetapi sayang, posisi Administrasi sudah terisi. Posisi yang tersisa hanya sebagai kurir. Bagaimana? Anda bersedia?”

“Bukan sales, kan, Bu?” tanya Reyna.

“Bukan. Bukan sales.”

Tanpa pikir panjang Reyna langsung mengangguk. Ia sudah lelah bila harus menenteng-nenteng ijazah lagi. Lagi pula, pekerjaannya bukan sebagai sales. Lagi pula, ia begitu menggebu ingin mendapatkan penghasilan sendiri.

“Kapan saya mulai kerja, Bu?”

***

Pagi ini, sebagai langkah awal karir sebagai kurir, Reyna harus mengantar paket untuk seseorang bernama Hardiman Suryajaya. Kata Mbak Marina, resepsionis, hampir tiap hari ada paket untuk Hardiman Suryajaya.

“Beliau pengarang buku. Semua paket untuknya, mayoritas dari penerbit. Entah apa isinya,” kata Mbak Marina.

“Mbak Marina tahu ancar-ancar rumahnya?” tanya Reyna.

Mbak Marina mengangkat bahu.

“Saya ini resepsionis, kawan, bukan kurir,” jawab Mbak Marina tersenyum.

Setelah bertanya sana-sini, Reyna menemukan alamat rumah Hardiman Suryajaya. Rumah itu besar dengan pagar besi. Reyna memencet bel di dinding pagar, seraya berseru “Assalamualaikum”.

Seorang cowok keluar dari pintu rumah. Tergopoh-gopoh mendekati pagar dan tersenyum ramah.

“Wa’alaikumsalam. Ada paket untuk ayah saya? Ayah sedang ke luar kota, launching buku  terbarunya,” kata cowok itu sambil membuka pintu pagar.

Reyna melepas helm cakil.

“Lho, cewek, to? Saya kira Mas Bayu yang biasa ke sini,” kata cowok itu terkejut.

“Ya, Mas. Saya pegawai baru,” kata Reyna. Sengaja ia mengganti kata kurir menjadi pegawai, biar keren.

“Silakan masuk, Mbak.”

Mereka duduk di teras. Reyna menyerahkan paket pada cowok itu.

“Mohon tanda tangannya, Mas,” kata Reyna.

Cowok itu membubuhkan tanda tangan di lembar tanda bukti terima paket. Pada saat itu tersedia cukup waktu bagi Reyna untuk mencuri pandang, memperhatikan beberapa jenak cowok di depannya itu.

Wajah cowok itu membuat Reyna takjub, sehingga ia tak menyadari bila si cowok telah selesai membubuhkan tanda tangan.

“Mbak...” ucap cowok itu membuat Reyna tergeragap.

“Eh, iya. Sudah ditanda tangani, Mas?” sahut Reyna berusaha tenang.

“Sudah, Mbak. Ini pulpen anda.”

“Terima kasih, Mas. Maaf, apa Mas anaknya Pak Hardiman?” tanya Reyna untuk mencairkan suasana.

“Ya, Mbak. Saya anak sulung Pak Hardiman,” jawab cowok itu tersenyum membuat dada Reyna berdebaran.

Berapa usia cowok itu, masih kuliah atau sudah kerja, dan pertanyaan lain mengendap di kepala Reyna. Reyna ingin bertanya banyak hal pada cowok berkulit putih itu, tetapi tumpukan paket masih menanti di keranjang di jok belakang Vario-nya.

“Saya permisi dulu, Mas. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumsalam.”

Pukul lima sore, Reyna kembali ke kantor dengan tubuh letih. Banyak paket bertumpuk di lantai, untuk diantar esok hari. Reyna terkejut membaca paket bertuliskan: Kepada Bapak Hardiman Suryajaya.

“Benar, bukan?” kata Mbak Marina. “Hampir tiap hari ada paket untuk beliau?”

Reyna tersenyum. Keletihannya setelah seharian mengantar belasan paket, seketika lenyap. Besok ia akan melalui hari yang mendebarkan. Reyna tersenyum lebar dan merasa bahwa, Tuhan telah menganugerahi pekerjaan yang menyenangkan untuknya.

***SELESAI***

Sulistiyo Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Senang menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media lokal dan nasional. Bermukim di Batang, Jawa Tengah.

Editorial Team