Riko tidak pernah tidur cepat. Sudah hampir dua tahun, jam biologisnya rusak. Entah karena kerja remote, deadline acak, atau karena ia sendiri tak tahu lagi untuk apa bangun pagi.
Jam favoritnya, pukul 03.00 dini hari.
Bukan karena romantisme. Tapi karena itu satu-satunya waktu yang terasa jujur, tak ada keramaian, tak ada topeng. Hanya lampu jalan yang kuning pucat, udara dingin, dan langkah kakinya di trotoar yang terdengar jelas.
Ia hafal siapa saja yang juga muncul di jam itu. Seorang ibu tua yang tiap hari mendorong pot tanaman ke ujung gang, laki-laki berhoodie dengan tato burung hantu di lengannya, seorang bapak paruh baya menyapu trotoar yang sebenarnya sudah bersih.
Ada juga seorang remaja laki-laki yang selalu muncul dari gang sempit dengan jaket lusuh, celana training, tangan menggenggam termos. Di punggungnya tergantung tas sekolah. Tapi sorot matanya, tidak seperti anak sekolah biasa.
Mereka semua, tidak pernah saling menyapa. Tapi tidak juga terkejut jika bertemu.
Riko iseng mengunggah foto dan menulis thread Twitter,
“Orang-orang jam 3 pagi. Apa mereka nyata, atau aku aja yang terlalu waras untuk jam segini?”
Thread-nya menarik perhatian. Banyak yang bilang, “Wah aku juga sering liat ibu tanaman itu di Jakarta Timur!”
Tapi malam berikutnya, satu hal aneh terjadi.
Pria berhoodie itu menatap Riko lebih lama.
"Nama kamu Riko, ya?" tanyanya pelan.
Riko mengangguk, refleks.
"Boleh ikut saya sebentar?"
Mereka berjalan sampai ke taman kecil yang tidak punya nama. Di bawah pohon yang mulai gugur, pria itu mengeluarkan selembar kertas peta.
Bukan peta kota, tapi peta tangan. Buatan tangan.
“Apa yang kamu lihat selama ini bukan kebetulan,” katanya. “Kami menyebut diri Komunitas Pukul Tiga.”
Riko tertawa kecil, “Kalian cosplay jadi pengintai malam?”
Pria itu tidak tersinggung. Hanya menjelaskan, “Kami sukarelawan. Penanda titik rawan.”
Mereka menandai, sudut jalan yang remang dan sering jadi tempat copet, rumah kosong yang rawan dijadikan tempat mabuk, kamar kost anak-anak yang tidak pernah pulang, bahkan satu jembatan tua yang hampir roboh tapi belum diperbaiki karena katanya 'tidak ada laporan warga'.
“Lalu kenapa jam 3 pagi?” tanya Riko.
"Karena pada jam segitu, kami bisa memperbaiki kerusakan tanpa ada yang tahu, lebih tepatnya karena gak ada yang bersedia melihatnya, kecuali mereka yang tak bisa tidur." ujarnya
Dari pertemuan singkat itu, Riko jadi ikut jalan tiap malam. Awalnya untuk lucu-lucuan. Lalu jadi kebiasaan. Lalu jadi kebutuhan.
Sampai satu malam, Riko menghampiri remaja yang biasa ia lihat sambil membawa termos di depan pos ronda. Ia membuka tutup termosnya, dan menunjukkan puluhan surat tulisan tangan.
Riko terkejut, awalnya ia mengira termos tersebut berisi dagangan, karena termos tersebut biasa dipakai pedagang nasi.
“Ini pengaduan masyarakat,” kata remaja itu dengan lirih.
“Semua ditolak RT. Jadi kami kirim ke komunitas.”
Riko menatapnya diam-diam. Anak sekecil ini? Ikut jaga kota?
Remaja itu tersenyum,
“Bukan jaga, Kak. Cuma pengin bikin kota ini tahu, masih ada yang peduli".
Beberapa bulan kemudian, lampu jalanan diganti lebih terang. Jembatan diperbaiki. CCTV tiba-tiba muncul di gang gelap. Tidak ada nama komunitas. Tidak ada berita.
Jam 3 pagi masih sunyi. Tapi tidak sepi.
Riko masih menyusuri jalan pukul tiga. Kadang mencatat. Kadang hanya duduk. Tapi kini ia tahu, yang membuat sebuah kota terus hidup, bukan jumlah gedungnya, tapi jumlah orang yang tetap peduli.