Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Potret secangkir kopi hitam (unsplash.com/Nader Ayman)
Potret secangkir kopi hitam (unsplash.com/Nader Ayman)

Intinya sih...

  • Meja kafe selalu kosong, hanya dengan segelas kopi hitam yang dingin hingga senja, menyimpan rahasia panjang dari seorang gadis muda dan ayahnya.

  • Gadis itu pecinta kopi hitam tanpa gula, menulis cerita di meja itu setiap hari hingga suatu hari ia pergi terlalu cepat karena penyakit.

  • Ayahnya memesankan segelas kopi hitam setiap hari untuk putrinya yang sudah tiada, hingga akhirnya pria tua itu datang untuk terakhir kalinya dan menemukan pesan dari putrinya.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Di sudut kafe kecil yang selalu ramai oleh obrolan, ada satu meja yang berbeda. Meja kayu tua di dekat jendela itu selalu kosong, hanya ditemani segelas kopi hitam yang dibiarkan dingin hingga senja. Tak ada yang pernah duduk di sana, seolah kursi dan mejanya menyimpan rahasia yang tak terbagi.

Orang-orang yang sering datang ke kafe mulai terbiasa melihatnya. Mereka tak lagi bertanya mengapa kopi itu selalu hadir, seakan ditujukan untuk seseorang yang tak pernah tiba. Namun di balik keheningan meja itu, ada kisah panjang yang hanya diketahui oleh pemilik kafe.

Bertahun-tahun lalu, seorang gadis muda sering duduk di sana. Rambutnya yang panjang selalu ia ikat sederhana, dan di depannya terbuka buku catatan berisi coretan cerita. Ia pecinta kopi hitam tanpa gula, katanya, “Pahit kopi itu jujur, sama seperti hidup.” Dari pagi hingga sore, ia menulis, tersenyum, lalu terkadang termenung lama menatap jalanan di luar jendela.

Ayahnya, seorang pria sederhana, sering mengantar dan menemaninya. Mereka berdua hanya saling bertukar senyum, kadang tanpa kata-kata. Bagi sang ayah, duduk di seberang meja sambil melihat putrinya menulis adalah kebahagiaan yang tak ternilai.

Namun suatu hari, gadis itu berhenti datang. Ia pergi terlalu cepat karena penyakit yang diam-diam menggerogoti tubuhnya. Ayahnya tak pernah benar-benar siap menerima kenyataan itu. Maka sejak saat itu, ia terus memesankan segelas kopi hitam setiap hari, menaruhnya di meja favorit putrinya. Kopi itu jadi doa, jadi kenangan, sekaligus cara untuk tetap merasa dekat dengan anak yang tak lagi pulang.

Bertahun-tahun kemudian, pria tua itu kembali duduk di meja itu untuk terakhir kalinya. Tangannya yang bergetar menyentuh cangkir kopi yang sudah dingin. Matanya berkaca-kaca saat ia berbisik lirih, “Aku datang, Nak. Maaf baru sekarang.”

Malamnya, pemilik kafe menemukan sebuah amplop di atas meja. Di dalamnya, selembar kertas berisi tulisan tangan yang begitu familiar: “Ayah, jangan lagi memesankan kopi untukku. Aku sudah tenang, tapi aku tahu, setiap tegukan kopi yang Ayah rindukan selalu sampai padaku.”

Sejak hari itu, kopi dingin tak pernah lagi hadir di meja jendela. Namun bagi siapa pun yang duduk di sana, selalu ada rasa hangat yang aneh, seolah seseorang masih menulis, masih menunggu, dan masih mencintai dalam diam.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team