Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi jersey Manchester United
ilustrasi jersey Manchester United (pixabay.com/AllenDo04)

Aku tahu sejak awal bahwa dekat dengan Riga akan membuatku jadi bahan lelucon. Di grup Whatsapp Red Army kampus, komentar-komentar seperti, "Wah, Adis ditaklukkan warga Anfield!" atau "Awas, nanti kamu diajak nonton pembantaian 7-0 berulang-ulang!" sudah jadi makananku sehari-hari. Tapi aku hanya tertawa. Mereka teman-temanku, dan aku tahu mereka bercanda. Setidaknya sebagian besar dari mereka.

Yang tidak bercanda hanya Juan.

Juan pernah mengajakku ngopi berdua setelah nonton pertandingan bareng teman-teman. Aku menolak dengan halus tetapi tegas. Aku dan Juan sama-sama fans Manchester United, dan kami juga punya beberapa kesamaan lain. Tapi, aku tak punya perasaan apa-apa selain pertemanan. Juan mencoba lagi beberapa kali setelah itu, dan setiap kali aku selalu menolak. Aku tidak mau memberinya harapan palsu, dan sepertinya ia menerima dengan lapang dada. Sampai aku mulai dekat dengan Riga.

Riga adalah tipe orang yang akan menyanyikan lagu "You'll Never Walk Alone" di telingaku untuk memancing reaksi. Ia akan habis-habisan mendebat saat aku bilang Nemanja Vidic lebih hebat daripada Virgil van Dijk. Riga tak segan mengeluarkan uang untuk mentraktirku setiap kali kami jalan bareng. Tapi saat aku menggodanya dengan minta dibelikan gantungan kunci Manchester United, ia hanya nyengir sambil mencibir, "Gak sudi. Kamu beli sendiri aja kalau urusan Setan Merah-mu itu."

Tapi justru itu yang membuatku mau dekat dengan Riga. Ia benar-benar menganggapku pendukung klub rival, sama seperti fans Manchester United lainnya. Riga tak meremehkanku hanya karena aku perempuan. Ia tidak menuduhku mencontek Google saat aku bisa menyebutkan starting eleven Manchester United di final Liga Champions 1999 dengan lancar. Yang terpenting, Riga tidak pernah menganggapku suka bola hanya karena "pemainnya ganteng-ganteng". Tak seperti Juan, yang pernah bilang, "Kamu suka Cristiano Ronaldo karena ototnya, kan?"

Aku masih ingat sore itu, saat Juan menghampiriku di parkiran kampus. "Jadi kamu lebih milih fans Liverpool daripada sesama Red Army?" katanya, nadanya datar tapi matanya menyimpan bara.

Aku menghela napas. "Aku memilih orang yang menghargai aku, Juan. Bukan soal dia fans klub apa, tapi karena dia tahu aku bukan cuma penonton yang cari wajah tampan di lapangan."

Juan terdiam. Aku tahu kata-kataku menamparnya, meski aku tidak bermaksud demikian. Tapi aku tidak menyesal. Kadang, kebenaran memang harus disampaikan meski berpotensi menimbulkan luka.

Malamnya, Juan mengirim pesan. "Maaf, Dis. Aku sadar aku pernah meremehkan kamu. Aku salah."

Aku membalas, "Aku sudah maafkan, Juan. Tapi aku tetap tidak bisa dekat denganmu lebih dari teman."

Sejak itu, Juan mulai menjaga jarak. Di grup, ia masih aktif tapi jarang menanggapi pesanku. Saat nonton bareng, ia duduk agak jauh. Tapi aku tetap menyapanya, tetap tertawa saat ia melempar candaan, tetapi jadi Adis yang sama. Karena hubungan antarmanusia selalu lebih penting dari urusan sepak bola, dan aku tidak pernah mau punya musuh.

Aku belajar bahwa cinta bisa datang dari arah yang tak terduga. Bahwa hobi bisa menyatukan, tapi kadang juga bisa mengaburkan. Dan yang terutama, aku belajar caranya menghargai orang lain, bahkan ketika aku tak bisa membalas perasaannya.

Aku masih Red Army, Riga masih Kopites. Tapi kami bisa duduk berdampingan, saling ejek dengan senyum dan saling menghormati. Karena pada akhirnya, yang membuatku bertahan adalah cara Riga menghargaiku sebagai manusia. Itu lebih penting daripada lambang apapun yang ada di jersey-nya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team