Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Jika Aku jadi Anak Orang Lain

ilustrasi anak jalanan (pexels.com/Gaurav Gupta)
ilustrasi (pexels.com/Gaurav Gupta)

Linggo tak tahu apa artinya benar. Tapi ia tahu, tiap petang, ia akan berjalan ke kebun, memungut ranting, dan pulang ketika senja tiba.

Bukankah segala sesuatu yang belum Waktunya, tak akan ada nikmatnya?

Begitu kata guru agama tadi pagi. Linggo tidak terlalu mengerti maksudnya, tapi kalimat itu seperti menempel di kepalanya.

Bel sekolah sudah lama berbunyi. Panas siang menempel di kulit seperti lem. Linggo dan teman-temannya berjalan di jalan tanah, menuruni bukit kecil di belakang sekolah. Debu menempel di betis, dan suara jangkrik mulai terdengar dari semak. Di tasnya, buku-buku sudah kusut dan ujung pensil patah.

Di rumah, ibunya sudah menunggu dengan sepiring nasi dan sambal cabe hijau. Tak ada lauk, hanya sedikit daun singkong rebus. Tapi Linggo makan lahap, karena sejak pagi belum ada yang masuk ke perutnya.

“Cepat ganti bajumu, Nak. Abahmu udah nunggu di luar,” kata ibunya.

Linggo meneguk air putih dari cangkir, lalu mengganti bajunya dengan kaos lusuh berwarna abu-abu. Celana yang ia kenakan sudah robek di lutut, tapi masih bisa dipakai kalau dilipat sedikit. Ia keluar rumah sambil membawa topi caping kecil.

Abahnya sudah berdiri di depan rumah, memegang cangkul di bahu.

"Jalan, Nak. Kita bersihin kebun orang siang ini, biar nanti sore bisa istirahat,” katanya.

Mereka berjalan berdua melewati kebun pisang, lalu menyusuri jalan kecil yang di pinggirnya tumbuh rumput tinggi. Matahari terasa berat di atas kepala. Kadang, angin lewat sebentar, tapi tidak cukup untuk membuat mereka berhenti berkeringat.

Kebun yang mereka tuju luas sekali, dipenuhi semak dan batang karet tua. Bau tanah lembap bercampur dengan daun busuk. Abah mulai mencangkul. Linggo mengambil dahan-dahan kering, menumpuknya di satu tempat. Kadang ia bermain dengan tanah, menggambar garis dengan ranting, lalu buru-buru menutupi gambar itu ketika Abah menoleh.

“Linggo, kau jangan malas. Kumpulkan yang kering aja, nanti kalau panasnya turun baru bakar,” ujar Abahnya.

Linggo mengangguk. Ia memungut daun-daun, tapi matanya kadang menatap langit. Awan bergerak pelan, seperti tahu mereka sedang lelah.

Dari jauh, terdengar suara motor. Seorang laki-laki dengan kemeja putih berhenti di pinggir kebun. Ia hanya melihat sebentar, lalu pergi lagi. Abah tidak berkata apa-apa, hanya menunduk lebih dalam saat mencangkul.

Ketika matahari sudah miring, Linggo duduk di bawah pohon karet. Ia membuka bekalnya nasi dibungkus daun pisang, sudah dingin, dengan sambal terasi di ujungnya. Ia makan perlahan. Abah duduk di sebelahnya, menghisap rokok linting dari tembakau kampung. Asapnya membuat mata perih, tapi entah kenapa baunya menenangkan.

“Bah,” kata Linggo pelan, “kalau kita kerja terus, nanti kebunnya jadi bagus, kan?”

“Iya, Nak.” Abah mengangguk. “Orang kampung kerja begitu aja, Nak. Selesai satu, pindah ke lain. Yang penting ada makan.”

Linggo diam. Ia memandangi pohon-pohon yang tinggi, seolah mereka juga sedang berpikir. Di sela akar karet, semut-semut berjalan rapi membawa daun kecil. Ia teringat guru IPA yang bilang semut itu hewan pekerja keras. Tapi ia juga ingat semut-semut itu sering diinjak kalau sedang baris.

Matahari makin turun. Langit berubah jingga. Mereka menyalakan api kecil dari ranting yang dikumpulkan. Abah berdiri sambil menatap nyala api, wajahnya terkena cahaya oranye yang redup. Linggo ikut menatap, matanya terasa berat.

“Udah, cukup hari ini,” kata Abahnya, “besok lanjut lagi.”

Mereka pulang lewat jalan yang sama. Di kampung, suara ayam dan anak-anak kecil bercampur dengan bau asap dapur. Dari jendela rumah-rumah, terlihat lampu minyak menyala. Langit sudah ungu, dan suara azan dari surau kecil terdengar seperti datang dari jauh.

Di rumah, Ibu sudah menyiapkan makan malam. Nasi, sayur daun singkong, sambal terasi. Sama seperti siang tadi. Mereka makan bertiga. Tak banyak bicara. Di meja kayu itu, hanya terdengar suara sendok menyentuh piring logam.

Di dinding, kalender toko pupuk tergantung di samping foto pernikahan Abah dan Ibu. Linggo menatap lama, tapi tidak tahu kenapa foto itu selalu terlihat bahagia.

Malamnya, ia berbaring di tikar pandan. Angin masuk dari jendela bambu. Di luar, jangkrik terus berbunyi. Ibunya menepuk-nepuk punggungnya pelan.

“Tidur, Nak. Besok kau sekolah lagi.”

Linggo memejamkan mata, tapi belum benar-benar tidur. Ia berpikir sebentar tentang teman-temannya di sekolah yang bajunya bersih, sepatunya masih baru, dan bekalnya roti isi coklat. Ia tidak iri, tapi ada sesuatu di dadanya yang tidak bisa ia sebut namanya.

Ia menarik selimut tipis, menatap langit-langit bambu yang gelap, lalu berbisik pelan ke dirinya sendiri.

“Aku ingin jadi anak orang lain saja."

Di luar, jangkrik terus bernyanyi. Angin membawa suara itu jauh ke ladang, ke kebun yang tadi mereka bersihkan, ke malam yang panjang dan tak banyak menjanjikan apa-apa kecuali hari esok yang mirip dengan hari ini.

Pagi datang bersama kabut tipis yang turun dari perbukitan. Ayam-ayam berkokok bersahutan, dan suara ibu terdengar dari dapur, menyalakan tungku kayu. Asapnya keluar dari celah atap seng.

“Cepat, Nak, nanti kau terlambat,” katanya.

Linggo menyambar bajunya yang digantung di belakang pintu. Seragam itu masih basah sedikit di ujungnya karena semalam tidak kering sepenuhnya. Ia menyetrikanya dengan cara menekan-nekan tangan di bagian yang kusut, lalu memakai tasnya yang diikat tali rafia.

Abah sudah pergi ke kebun ketika Linggo keluar rumah. Di tangan ibunya, ada sebungkus kecil nasi dengan garam dan cabe.

“Buat kau makan di sekolah. Jangan kasih liat teman-teman, ya,” katanya sambil tersenyum.

Linggo mengangguk. Ia berjalan cepat melewati jalan tanah. Embun masih menempel di rumput. Dari jauh, terdengar suara anak-anak lain, beberapa naik sepeda, sebagian diantar orang tua naik motor. Mereka tertawa, rambutnya disisir rapi, baju putihnya berkilau di bawah matahari pagi.

Di gerbang sekolah, guru piket berdiri sambil memegang buku absensi.

“Cepat baris! Siapa yang belum pakai sepatu, berdiri di kanan!” katanya lantang.

Linggo menunduk. Ia berdiri di kanan, bersama dua temannya. Ia memang tidak punya sepatu. Sejak dua bulan lalu, sandal jepitnya sudah putus. Abah berjanji akan membelikan yang baru kalau upah kebun sudah dibayar. Tapi sudah tiga minggu, orang kebun belum datang membawa uang.

Di kelas, guru menjelaskan pelajaran IPS tentang “kegiatan ekonomi masyarakat”. Di papan tulis, guru menggambar sawah, pasar, dan rumah besar yang diberi nama pengusaha sukses.

“Anak-anak, kalau sudah besar, kalian mau jadi apa?” tanya Bu Guru sambil tersenyum.

“Polisi, Bu!”

"Dokter, Bu!”

"Youtuber!”

“Pilot!”

Linggo diam. Ia menggambar sesuatu di buku tulisnya gambar pohon karet, gubuk kecil, dan dua orang dengan cangkul.

Bu Guru mendekat.

“Kau, Linggo, kenapa diam saja? Nanti mau jadi apa?”

Linggo berpikir sebentar. “Orang yang nggak capek, Bu.”

Kelas tertawa. Bu Guru juga tersenyum, tapi matanya sebentar berhenti pada gambar di buku Linggo. Ia tak berkata apa-apa lagi.

Saat istirahat, anak-anak lain membuka bekal nasi goreng, roti isi, kue cokelat. Linggo duduk di pojok halaman, di bawah pohon ketapang. Ia membuka bungkusan dari ibu pelan-pelan, supaya tidak tercium baunya. Nasi putih, garam, dan cabe hijau. Ia makan pelan, menatap lapangan yang kering.

Wandi datang menghampiri. “Kenapa kau makan di sini?”

“Biar nggak kena debu.”

Wandi duduk di sebelahnya. Ia membuka bekalnya, lalu membagi sepotong telur dadar. "Ambillah. Ibuku masak banyak.”

Linggo menatap telur itu lama, lalu menggeleng pelan. “Nggak usah. Nanti ibumu marah.”

“Enggaklah. Cepat, makan.”

Linggo akhirnya mengambil potongan kecil. Rasanya enak, asin dan hangat. Tapi di dadanya ada sesuatu yang aneh antara senang dan ingin menangis. Ia tidak tahu namanya apa.

Bel berbunyi lagi. Anak-anak masuk ke kelas. Linggo menatap ke luar jendela, melihat langit yang biru dan awan bergerak perlahan. Di sana, ia membayangkan Abah sedang mencangkul di kebun, menunduk di bawah matahari yang sama.

Di kepalanya, kalimat guru agama kembali muncul: “Segala sesuatu yang belum waktunya tidak akan ada nikmatnya.”

Linggo tak tahu apa artinya benar. Tapi ia tahu, sore nanti, ia akan berjalan lagi ke kebun, memungut ranting, dan pulang ketika langit oranye. Ia akan makan nasi garam lagi bersama Ibu dan Abah, dan besok pagi akan kembali ke sekolah dengan kaki telanjang.

Mungkin itu saja yang disebut waktu. Sesuatu yang terus berulang, seperti bunyi bel sekolah yang tak pernah bosan berbunyi.

Dan di antara semua itu, di dalam kepala kecilnya, Linggo masih menyimpan satu kalimat yang tidak pernah ia ucapkan lagi dengan suara: “Aku ingin jadi anak orang lain saja.”

Tapi kali ini, ia hanya mengucapkannya dalam hati tanpa marah, tanpa sedih. Hanya seperti anak kecil yang sedang menatap langit, menunggu sesuatu yang belum waktunya datang.

Tamat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Fiction

See More

[PUISI] Retakan di Balik Senyuman

14 Nov 2025, 21:07 WIBFiction
ilustrasi berdoa

[PUISI] Patuh Pada Senyap

14 Nov 2025, 20:17 WIBFiction
ilustrasi rindu

[PUISI] Sirkulasi Rindu

14 Nov 2025, 17:00 WIBFiction
Foto jendelan terkena tetesan hujan

[PUISI] Tutur Sore

14 Nov 2025, 08:10 WIBFiction
ilustrasi siluet pasangan kekasih

[PUISI] Datang dan Pergi

13 Nov 2025, 21:48 WIBFiction
ilustrasi jalanan kota (pexels.com/Chi Hou Ong)

[PUISI] Bising Metropolis

13 Nov 2025, 21:07 WIBFiction
Potret dermaga

[PUISI] Dermaga Rindu

13 Nov 2025, 20:07 WIBFiction
ilustrasi media sosial

[PUISI] Notifikasi

13 Nov 2025, 15:00 WIBFiction
ilustrasi mendaki gunung

[PUISI] Naungan Merapi

13 Nov 2025, 08:15 WIBFiction
ilustrasi bayangan seorang perempuan

[PUISI] Bukan Fatamorgana

12 Nov 2025, 21:48 WIBFiction
ilustrasi lilin

[PUISI] Temaram Tak Padam

12 Nov 2025, 21:02 WIBFiction
ilustrasi rerumputan

[PUISI] Missing You

12 Nov 2025, 20:59 WIBFiction