Kenapa pagi tak datang lagi, padahal sangat dirindukan? Apalagi ketika aku, kau dan pagi saling bertegur sapa, berebut senyuman yang tersungging indah. Namun tetap saja, pagi tetap tak lagi menyambutku, meskipun kuharus menunggu selama 100 tahun.. Karena kau pergi tanpa mengucapanya...
Rupanya pagi telah melelahkan hati Nina tuk menunggu. Tanpa matahari di dalam hutan yang rimbun hanya sebotol air minum menggelantung di celananya telah sama-sama menyulitkan nina bernafas lega. Pagi begitu sepi dibuyarkan oleh nafas tersengal rombongan berbaju orange. Dengan tulisan di punggung belakang " Rapid, respon team". Tampak Nina dan 21orang lainnya lagi menelusuri jalan setapak nan jauh. Dan tak berselang 15 menit akhirnya rombongan itu sampai di daerah yang sedikit hijaunya. Deretan rumah telah hancur tertimbun tanah coklat becek. Bahkan sekarang apakah itu disebut rumah atau tidak. Tak ada yang tahu. Yang pasti semua telah hancur dimakan oleh sebukit tanah coklat yang runtuh akibat bencana longsor.
Tak ulung Nina dan rombongan mencari nafas korban longsor. Berharap masih ada yang selamat dari bala yang hanya direncanakan tuhan. Tapi sia-sia semua yang ditemukan meninggal tanpa mengucap pagi yang dingin di daerah itu.
"Nafas Karang Kobar menghilang lagi" Nina mendengus berkali-kali. Rasa kesal dengan raga yang tak mampu meyelamatkan puluhan nyawa telah meninggal. Padahal dirinya sudah berusaha secapat mungkin. Namun pagi bukan sahabat baginya untuk sekarang. Karena arwah yang pergi tak mau mengucap pagi. Walaupun sebelum pagi arwah itu tetap berharap. Namun sayang pagi yang mereka tunggu terlambat menolong mereka...
Lain pagi Nina dan lain pagi Elnino. Meskipun pagi tak datang lagi, Elnino tetap tersenyam dalam tidur. Rupanya debat di acara TV semalam telah menguras pikirannya. Bingung karena dirinya tak dapat petunjuk siapa yang akan dipilih menjadi pemimpin daerahnya. Seandainya Elnino mampu melihat, mungkin ia akan memilih yang tampak gagah. Sayangnya Elnino hanya termasuk kaum difabel. Yang tak pernah disebutkan dalam debat semalam. Akhirnya sikap apatis menjadi pilihan Elnino agar bisa melanjutkan tidurnya. Karena Elnino tau, pagi yang hilang telah direnggut oleh mereka yang saling berdebat. Dengan segala iming-iming untuk menggugah hati rakyat agar bisa saling berucap pagi pada mereka yang akan menang. Padahal iming-iming yang mereka banggakan juga akan merebut pagi yang ditunggu rakyat.
Seandainya jika para pendebat itu lebih menajamkan mata, meresapi suara-suara yang kehilangan pagi, mungkin Nina tak akan mendengus lagi, ataupun Elnino tak akan tidur lagi. Namun selama apa Nina dan Elnino menunggu, pagi tetap tak akan datang lagi...