Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
pexels.com
pexels.com

 

Dia berprofesi sebagai penulis. Kata orang, profesi menulis adalah profesi yang mulia. Kalimat itulah yang selalu ia katakan padaku saat aku bertanya perihal pekerjaannya. Mulia yang bagaimana, tanyaku lagi. Dan dia cukup tersenyum untuk menjawabnya.

Aku tahu ia menulis bukan untuk memenangkan nobel. Itu obsesi yang terlampau tinggi, meski kemungkinan selalu ada. Ia tak muluk-muluk, baginya menulis sekadar membagi apa yang ia tahu. Bila ia bosan, ia tetap akan terus menulis hingga kebosanan itu lenyap. Seakan-akan menulis menjadi penyembuh apa yang tak dapat disembuhkan oleh obat generik.

Belakangan ia sudah banyak menelurkan tulisan, dari mulai cerita mini, cerita pendek, novel, puisi, hingga artikel-artikel di media massa. Bukunya juga sudah banyak diterbitkan. Boleh dibilang ia adalah penulis terkenal sekarang. Siapa yang tak kenal dia di negeri ini?

Setiap ia ingin menulis, selalu aku dan hanya aku yang diberitahukan sebelumnya. Pesan WhatsApp atau telepon. Ia begitu bersemangat menceritakan ide imajinatifnya. Ia juga memintaku mendoakan agar tulisan-tulisannya terbit. Selalu kepadaku. Barangkali itu yang kutahu.

Aku ingat bagaimana reaksinya saat aku memberi komentar tentang tulisannya: sangat ekspresif!. Kadang tersenyum-senyum, kadang tertawa saja saat dikritik. Namun, ia simpan lekat-lekat seluruh ucapanku seolah-olah kata-kataku adalah mantera.

Ketika kutanya sudah berapa banyak ia menulis, ia hanya menggeleng, tak pernah tahu berapa persisnya jumlah tulisannya. Barangkali ia telah menulis ratusan ribu karya. Atau bisa saja lebih. Aku tak ambil pusing, karena yang pasti jutaan huruf telah ia ciptakan.

Aku selalu ditraktir jika tulisannya berhasil terbit. Seperti saat ini. Di tempat yang biasa kami kunjungi: warung kopi. Tempat biasa, kecil, dan tak banyak pelanggan.Tapi satu hal, tempat ini secara ajaib bisa menyuntikkan ide-ide kepadanya.

Pintu warung, bisa saja menjadi bahan tulisan. Gelas kaca berisi sejumput mawar plastik, mungkin memengaruhi gagasannya. Atau barangkali diriku membuat pikirannya menjadi penuh tema-tema untuk dirangkai sedemikian rupa. Hingga menyembul senyum dari wajahku yang kaku sebab membayangkan hal itu.

Aku menanyakan apa yang hendak ia tulis sekarang.

“Wanita misterius penghuni gubuk di kaki bukit,” jawabnya.

Wah! Kali ini ia ingin menulis cerita pendek. Cerita bagaimana itu? “Bolehkah aku memberi sedikit saran pada cerpenmu nanti?” tanyaku saat ia hendak mengeluarkan laptop dari dalam tas.

“Saran apa?”

“Sebaiknya kau memberi nama pada tokoh-tokoh pria ceritamu,” jujurku dengan rasa penasaran. Selama ini dan sampai detik ini ia belum membeberkan nama setiap pria itu. Aneh, bukan!

“Oh  baiklah. Aku terima saranmu,” katanya.

Ia mengeluarkan laptop dari tas punggungnya dan menyalakan. Aku perhatikan matanya seperti mencari sesuatu. Melirik ke segala arah. Jemarinya siap menotol-notol keyboard. Lalu ia fokuskan matanya pada layar. Aku yang duduk di hadapannya tak dapat melihat apa yang ia ketik. Aku seruput saja kopi hitam ini. Aku akan sabar menungguinya sampai ia menyelesaikan tulisan itu. Dan seperti biasa, aku akan melanjutkan membaca tulisannya yang lain, kali ini novelnya yang berjudul “Pulau Kelapa”.

Novel yang bercerita tentang penduduk pinggiran pantai daerah kelahirannya. Mayoritas penduduk di sana berprofesi sebagai nelayan. Kakek, ayah, paman, dan teman laki-lakinya adalah penangkap ikan yang ulung. Aku jadi ingat lagu dari band legendaris Koes Plus, Kolam Susu. Ada bait liriknya yang berbunyi,”...Ikan dan udang menghampiri dirimu...”, begitulah mudahnya menangkap ikan dan udang di kampung halamannya.

Di seberang pantai terdapat pulau kecil ditumbuhi banyak pohon kelapa. Ayah dan teman ayahnya kerap menyandarkan perahu mereka di pulau itu. Ayahnya bercerita bahwa mereka menjual kelapa kepada pemerintah untuk diekspor ke beberapa negara. Berkat melimpahnya rezeki kelapa di pulau kecil itu, tak pelak pulau itu dinamai Pulau Kelapa oleh penduduk. Dan kisah novelnya terinspirasi dari Pulau Kelapa.  Ia bercerita diawal novel dengan hal yang remeh-temeh. Tapi di dalamnya ada sebuah makna tersirat secara kasat mata. Sulit menerjemahkan maksud kisah tersebut. Bagiku ia memiliki tujuan lain di balik novelnya.

Aku ingat di halaman pertama yang telah kubaca, ada ucapan bocah kecil pencari ikan penghuni Pulau Kelapa: “Di antara ikan aku berenang, seolah surga telah kutemukan.” Aku tahu dia menulis itu sebagai representasi dirinya yang telah menemukan surga pada bakat menulisnya. Tapi bisa saja aku hanya “sok” tahu.

Kembali aku berpikir pada teka-teki tentang makna di balik tulisannya yang masih belum kutemukan. Yaitu pria-pria tanpa nama. Aku hanyut memikirkan ini dan tanpa sadar ia menegurku.

“Hei, jangan melamun, di belakang area pekuburan. Nanti kesurupan!”

Ah ya, ia mengagetkan dengan ucapan mitos-mitos itu lagi. Padahal aku memikirkannya.

“Boleh aku melihat sedikit draft tulisanmu?” tanyaku.

“Bagaimana ya, biasanya aku jadi malas menulis kalau tulisanku yang belum lengkap ini ada yang melihat.”

“Sedikit saja.”

“Kalau aku kehilangan mood, bagaimana? Kamu mau tanggungjawab?”

Aku tertawa kecil. “Seserius itukah?”

“Baiklah jika kau benar-benar penasaran!” ia akhirnya menyerah, dan memperlihatkan padaku.

Ia benar, aku memang penasaran sekali, terutama apakah ia menepati perkataannya akan menamai pria-pria bikinannya.

Kugeser layar laptopnya ke arahku. Aku sedikit kaget. Tulisannya sudah berhalaman-halaman. Banyak juga, dengan waktu hanya lima belas menit, batinku. Aku baca perlahan dari awal. Aku perhatikan betul-betul tiap hurufnya. Rapi, penuh makna dan luar biasa indah. Seperti khas tulisan-tulisannya, selalu dominan dengan dialog.

Aku nyaris hanyut pada kisahnya dan melupakan tujuanku mencari tahu nama-nama pria di ceritanya. Dan semakin dibaca semakin membuatku penasaran. Kisah wanita penghuni gubuk itu sebenarnya menyedihkan, dan tragis. Berakhir dengan berpisahnya wanita itu dengan seseorang. Siapa seseorang itu? Misterius juga.

“Baru kali ini kau menulis kisah seaneh ini,” kataku.

“Eksperimen! Lagipula tak ada salahnya, kan?”

“Eh,  wanita itu berpisah dengan siapa? Pria atau wanita?” aku bertanya sambil memandang matanya.

“Pria. Kau pikir wanita itu seorang lesbian?” ia tertawa.

“Nah, kalau begitu siapa pria itu?”

“Tak bernama, karena itu, kan, pria misterius!” ujarnya. Hal ini seakan menamparku dari titik penasaran ke titik penasaran lainnya.

“Kau masih menyembunyikan nama itu?”

“Tidak!” jawabnya singkat.

Aku memutuskan untuk diam saja dan menyerahkan laptop itu agar kisahnya dilanjutkan.

*

Esoknya ia berjanji akan menunjukkan cerpennya yang sudah utuh. Di sini rasa penasaranku kembali muncul. Kami bertemu di warung sate. Memesan sepuluh tusuk sate ayam. Dan aku langsung menanyakan akhir kisah wanita misterius.

“Aku mengedit sedikit alur ceritanya. Karena itu kau mungkin kaget kalau membacanya lagi.”

“Bisa kau ceritakan saja akhirnya,” tanyaku. “Dan tentu siapa pria itu?”

“Pria itu Bima.”

Aduh! Sepertinya dia sedang bercanda, aku membatin.

“Bima yang dulu menyukaimu?” aku bertanya seakan-akan tak memercayai pendengaranku.

“Errr.. Ya bisa dikata begitu.”

“Kita sudah berteman lama, lima tahun,” ia melanjutkan, sementara aku masih mengumpulkan serpihan nyawaku yang melayang. “Meski tanpa status pacaran. Kita sudah memahami satu sama lain. Tetapi di relung hatiku paling dalam, tersembunyi sebuah nama. Dan kau bisa mengikuti bahasa hatiku dari tulisanku, kan?.”

Seperti ditusuk penusuk sate, hatiku sakit.

“Wanita misterius itu aku. Pria misterius itu Bima. Aku gambarkan bagaimana diriku seperti wanita itu tinggal di tempat yang jauh, terpencil dari keramaian. Aku juga merasa seperti itu. Wanita itu menderita, sama seperti aku yang menderita karena tanpa Bima. Dan Bima memisahkan aku dengan ragaku, sekaligus membunuh rasa di hatiku.”

Lima tahun terasa singkat saat mendengar kejujuran darinya. Samar-samar terdengar lagu Pupus dari Dewa 19. Entah datang dari mana.

 

Editorial Team