Inge bercerita pada Anita bahwa ia akan mengalami stres tingkat tinggi. Inge akan pindah ke rumah yang jauh dari impiannya. Gadis berambut sebahu itu ingin tinggal di rumah besar, modern, ada taman di belakang dan gazebo tempat ia akan menghabiskan waktu sepulang sekolah dengan membaca novel-novel detektif. Bukan tinggal di rumah kuna yang gelap!
“Aku penasaran, seperti apa sih calon rumah barumu?” tanya Anita di kantin saat jam istirahat kedua.
“Nanti pulang sekolah aku ajak kamu ke sana,” jawab Inge sambil mencomot bakwan jagung. “Tapi janji jangan ngompol, ya? Kamu lewat depan kuburan saja ngompol.”
“Kamu masih ingat kejadian itu?” Anita tertawa. “Itu dulu, Ing, saat kita masih SMP. Lagi pula dulu itu malam hari, malam Jumat lagi.”
“Ya, minimal kamu jangan pingsan. Bisa repot aku menggotong tubuhmu yang gendut,” sahut Inge lalu disambut Anita dengan tertawa.
***
Dinding rumah itu terbuat dari bahan yang berbeda. Dinding bagian bawah dari semen dan telah banyak yang mengelupas dan menampakkan bongkahan bata merahnya. Dinding bagian atas dari kayu yang juga telah jebol di beberapa bagian.
Atapnya berbentuk joglo dan banyak genteng yang bolong. Rumput liar setinggi pinggang dan beberapa pohon mangga yang tinggi mengelilingi rumah itu. Meski siang, tapi suasana di sekitar rumah itu seperti malam. Di halaman depan ada pohon sawo yang tinggi dan rindang!
Inge dan Anita berjalan hati-hati. Anita menempel di belakang tubuh Inge, seakan ingin bersembunyi dari sesuatu.
“Berapa harga rumah ini, Ing?” bisik Inge, suaranya terdengar bergetar.
“Tiga ratus juta.”
“Harga itu sudah termasuk untuk hantunya?”
Inge menoleh.
“Awas kalau ngompol!” kata Inge.
“Kita pulang saja, yuk,” Anita menarik tangan Inge.
“Kita masih di halaman. Kamu harus melihat bagian dalam rumah itu.”
“Aku mau pipis, Ing. Kita pulang saja, yuk!”
Pada saat itu mereka mendengar suara memanggil. Inge dan Anita mencari asal suara dan mereka melihat seorang bapak berkulit gelap dan bermata keruh, berdiri di bawah pohon rambutan tak jauh dari rumah joglo itu.
Inge dan Anita melangkah mendekat.
“Ada apa, Pak?” tanya Inge dengan tatapan penuh tanya.
“Perkenalkan, nama saya Sukirjo,” kata bapak itu. “Rumah saya di sana. Saya dulu pernah jadi calo rumah ini, tapi saya batalkan. Tanah dan rumah ini bermasalah.”
“Maksud bapak?” tanya Inge.
“Tanah ini dalam sengketa. Ada sertipikat ganda untuk tanah ini. Kasusnya masih di pengadilan, belum selesai. Sebaiknya jangan beli rumah ini. Jangan ambil risiko,” kata bapak itu dengan menolehkan kepala ke berbagai arah.
“Maaf, saya harus pergi. Kalau ketahuan calo rumah ini, saya bisa celaka. Saya mohon, jangan bilang siapa-siapa kalau saya kasih info ini, ya?” pesan bapak itu lantas bergegas melangkah pergi.
***
Sampai rumah, Inge bergegas mencari mama dan menemukannya di dapur. Inge bertanya apa papa sudah pulang? Ada hal penting dan papa harus tahu. Mama menyilangkan jari di bibir.
“Sstt...jangan ganggu papa. Papa sedang sedih,” bisik mama.
“Maksud mama?”
“Lihat,” mama menunjuk ke arah taman.
Dari jendela dapur, Inge melihat papa duduk di kursi taman belakang rumah. Papa tampak murung.
“Papa kenapa, Ma?”
“Papa punya rencana akan merenovasi rumah joglo itu menjadi rumah yang besar, modern, ada taman dan gazebo untuk tempat kamu membaca novel-novel detektif. Tapi rencana itu musnah. Tadi papa ke Kantor Pertanahan. Ternyata tanah dan rumah itu masih dalam sengketa.”
Inge tertegun. Dadanya berdegup kencang. Matanya mendadak berkaca-kaca. Inge tersadar bila ternyata papa ingin membahagiakan dan mewujudkan impian Inge tentang rumah yang besar, modern, ada taman dan gazebo.
Setetes air meleleh dari sudut mata Inge.
“Kasihan papa ya, Ma?”
***SELESAI***
Sulistiyo Suparno, lahir di Batang 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai koran lokal dan nasional. Pernah pula menulis novel teenlit Hah! Pacarku? (Elexmedia, 2006). Bermukim di Batang, Jawa Tengah