Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
pexels.com

 

"That's it for today. Thank you so much for coming. I'll see you next week."

Senyuman tersungging di bibirku mengantar para murid berhamburan ke luar kelas. Aku membereskan perlengkapan mengajarku sambil berpikir bahwa aku harus mampir membeli makanan untuk kucingku saat perjalanan pulang nanti.

Semoga tidak lupa.

Pukul 21.15

Setelah dadah-dadah dengan rekan-rekan sesama guru, aku bergegas ke tempat parkir.

Bugh!

Saat membuka pintu keluar, sekilas ada yang menabrak bahuku. Tidak sakit, tapi cukup membuatku kaget.

Aku terdiam sejenak, namun memutuskan untuk terus melangkah. Bisa kurasakan tatapannya yang barusan menubrukku dari belakang.

Jangan ... jangan ... plis ...

wuush!

Sesosok perempuan berwajah pucat menghalangi jalanku. Otomatis langkahku terhenti. Ga bisa menghindar ini mah.

Perempuan itu melihatku dari atas sampai bawah. Aku belum pernah melihatnya. Sepertinya ia bukan penghuni tetap tempat kerjaku.Bisa jadi dia cuma sekedar sedang lewat.

Kau bisa melihatku, ya?

Bibir perempuan itu tidak membuka.Memang tidak harus. Karena aku bisa membaca apa yang terlintas dalam pikirannya. Semacam Profesor X di X Men. Bedanya Charler Xavier bertelepati dengan mutant, kalau aku dengan ... aaah sudahlah.

Aku tidak menjawab.

Hei, manusiaaa ... jawaaaab ...

Aku memelototinya.Terkadang kalau sedang lelah, aku kesal dengan mereka ini.

Minggir, aku mau pulang!

Wajahnya mengeras. Ia tidak suka. Kedua tangannya terentang ke depan. Aku tak peduli. Dia takkan bisa menyentuhku. Aku bukan manusia lemah. Aku memutari badannya dan berjalan menuju sepeda motorku di parkiran.

Masih bisa kurasakan kemarahannya di belakang punggungku.

Kustarter motor dan melesat ke Jalan Dago yang sudah sepi. Hanya numpang ke jalan di depan kantor, tepatnya,karena tak lama aku berbelok ke kiri, ke Jl Dayang Sumbi. Jalan ini cukup pendek, tapi 'ramai'. Dulu sebelum ada beberapa cafe tempat nongkrong ngehits di Bandung, aku harus konsentrasi penuh saat melintas. Sekarang dengan keramaian ini, konsentrasiku bisa agak melonggar.

Di depan aku agak meragu. Biasanya aku ambil ke kanan, ke babakan Siliwangi, selanjutnya ke Cihampelas dan Pasteur. Di situ lebih rame (literally), daerah yang tidak mengenakkan cuma pas Babakan Siliwangi sampai ke Gandok. Tapi malam ini aku sedang ingin cepat sampe.

Jadilah, aku belok ke kiri. Rute jalan Gelap Nyawang-Taman Sari yang gelap.

Dari sudut mataku, aku sudah melihat beberapa dari mereka bergelantungan di pohon-pohon depan kampus ITB. Banyak sekali. Di sini aku pasang wajah lempeng. Motor kugas kecepatan penuh. Kalaupun nanti 'menabrak'aku bakal cuek saja. Lebih baik begitu, ketimbang salah satu dari mereka nanti kepingin ikut pulang.

Di tengah jalan, seorang tentara tak berkepala berjalan mondar mandir. Di pinggir jalan duduk-duduk beberapa anak kecil berkepala plontos. Kawasan ini rame banget.

Aku bisa melihat mereka.

Mereka yang tak bisa dilihat oleh normalnya manusia.

Aku sudah lupa kapan tepatnya aku punya kemampuan ini. Kemampuan yang bagi sebagian orang membanggakan, dan bahkan bisa dijadikan alat untuk mencari uang. Bagiku, tidak. Seringnya malah mengesalkan.

Berbeda dengan orang lain, aku bisa berpura-pura tidak melihat makhluk-makhluk itu. Sejauh ini seringnya berhasil. Aku lebih suka seperti itu. Karena, ketika mereka sadar bahwa aku bisa melihat mereka, mereka biasanya senang mengikutiku. Bagian itu yang aku tidak suka.

Para 'penghuni'di kosanku sih sudah biasa. Tapi makasih banyak, aku tidak mau ditambahin lagi. Bukan apa-apa, mending kalau cuma ngikutin.Kadang, mereka suka ada yang minta bantuan ini dan itu. They still have some unfinished business, begitulah.

Beres membeli makanan kucing, aku kembali menaiki sepeda motorku dan bersiap pulang. Kosanku sudah dekat. Tinggal sekitar 5 menit lagi. Aku merogoh-rogoh saku mencari uang receh untuk membayar parkir. Minimarket yang kusinggahi ini buka 24 jam, jadi petugas parkirnya selalu ada.

Aku celingukan mencari tukang parkir. Biasanya tak jauh. Asal melihat orang bersiap naik motor, mereka juga sudah siap membantu menarik motor dan menagih uang parkir.

Nah, itu dia!

"A, ini ..." aku menyodorkan uang.

Ia menoleh.

Wajahnya pucat. Sekilas kulihat daerah gelap disekitar kemeja yang ia kenakan.

Waduh, mampus! mampus!

"Teh, udah beres?" tukang parkir asli yang memakai rompi hijau bergegas menghampiriku. Aku buru-buru menunduk, setelah mengiyakan. Mamang parkir menarik motorku dan menerima uang parkir dari tanganku.

Si wajah pucat itu berdiri di samping motorku. Menatapku aneh.

Atulaaaaah ...

Jangan ikuti aku! Pergi sana!

Sebelum ia sempat berkomunikasi, aku sudah lebih duluan menyampaikan pesan.

Aku menjalankan motor.

Bugh!

Jalan motorku agak oleng.

Turun! turun! jangan ikut!

Aku memerintah.

Ia diam saja. Bisa kurasakan beban tubuhnya di motorku. Sentuhan kulitnya ke jaket yang kukenakan serasa dingin menusuk tulang.

Seven Hells!

Ia baru mau 'turun' setelah tiba di depan pintu pagar kosan. Itu juga mungkin karena makhluk-makhluk yang gentayangan di tempatku tidak suka dengan kehadirannya.

Siapa itu?

Mbak Kunti yang biasa nongkrong di pohon depan kosanku menjajari langkahku.

Tau! jawabku.

Awas! jangan biarkan dia masuk! Dia bukan warga sini!  Kakek di sudut pintu yang suka melinting rokok mendelik padaku. Ia dulu korban kekejaman PKI. Dua daun telinganya tak pernah sempurna. Sekujur tubuhnya penuh baret-baret luka.

Siapa juga yang ngundang! jawabku,tak kalah ketus.

Aku masuk kamar kosanku diiringi tatapan makhluk-makhluk lainnya.

Beginilah ngenesnya hidupku.

Bukannya ditatap cowok-cowok keren, malah arwah-arwah penasaran. Nasib. Udah jomblo, aneh pula.

Aku panggil kucingku, dan menuangkan makanan yang tadi kubeli ke mangkuknya.

Aku mau tidur.

 

******

 

"Tolonglah, bantu akuu ..."

Laki-laki itu bersimpuh di hadapanku.

"Bantu apa?"

"Aku tunjukkan."

Tangannya menjangkau tanganku.

Wuuush!

Tiba-tiba aku berada di sebuah rumah sederhana. Nampak seorang lelaki paruh baya sedang duduk di bale-bale rumah, memegang sebuah alat. Kelihatannya seperti radio. Dari dapur menguar bau masakan sedap.

Dari kamar tengah, keluarlah sesosok pemuda. Perawakannya tinggi kurus. Ia cukup tampan, jika sering tersenyum. Jika tidak, kesan pemurung yang akan aku dapatkan.

"Aa ... sarapan heula!" (=sarapan dulu) perempuan paruh baya keluar dari dapur sambil membawa piring mengepul berisi nasi goreng panas.

"Dibungkus we mak, teu sempet" (=dibungkus aja mak, ga sempet)

Si emak mengangguk. Kembali ke dapur, membawa si piring.

"Naha isuk-isuk teuing ayeuna mah?" (= kenapa hari ini pagi sekali?") tanya si Bapak yang sedang ngotak-ngatik radio.

"Muhun, Pa.Aya rapat ti enjing." (= iya Pak, ada rapat dari pagi)

Si Emak kembali dari dapur dengan bungkusan nasi dipincuk beserta sebotol minuman air mineral.

"Ulah burit teuing uihna Aa, hariwang .." (=jangan terlalu larut pulangnya, emak khawatir)

"Muhun, Mak." Iya Mak, jawab si Aa sambil menerima bungkusan bekal dari tangan ibunya,

Setelah berpamitan, pemuda itu pergi mengendarai sepeda motor matic warna hitam.

wuuush!

Aku berada di tempat berbeda lagi.

Kali ini jalan raya yang sudah sepi. Ini pasti sudah sangat malam. Kendaraan yang lewat sudah sangat jarang.

Di pinggir jalan nampak dua orang lelaki sedang memarkir motor sambil bercakap-cakap. Kukira motor mereka rusak.

Aku berjalan mendekat.

Tak lama sebuah sepeda motor ikut mendekat.

Si Aa yang pake motor matik warna hitam.

"Kang, kunaon? mogok?"(=kenapa) Ia bertanya pada dua orang yang tadi.

"Muhun Kang, duka kunaon ieu."(= iya nih Kang,ga tau kenapa) jawab salah seorangnya.

Si aa meminggirkan motornya dan parkir.

Duh, duh, perasaanku kok ga enak.

Aa motor matik berjongkok di samping motor dua orang tadi. Sekian detik mereka bercakap-cakap mengenai masalah motor.

Tak lama, salah seorang lelaki itu berdiri dan memutar ke belakang si Aa motor matic.

Aaaaaarghhhhh! aku menjerit kencang.

Si Aa motor matic tersungkur ke tanah. Darah menggenangi tubuhnya dari luka-luka tikaman laki-laki jahat itu.

Sambil tertawa-tawa, mereka berdua mengambil tas si Aa dan motornya.

"Bodo siah jadi jelema teh maneh mah!" (= bego sih kamu jadi orang!) Salah seorang darinya menendang kepala si Aa sebelum pergi menjauh.

Aku menatap si Aa yang tergeletak mati. Airmata membanjiri pipiku. Tapi aku tak bisa apa-apa. Aku tahu ini masa lalu. Ini sudah terjadi.

Si muka pucat yang tak lain Aa bermotor matik itu muncul kembali di hadapanku.

Tolong ... pergilah ke rumah orangtuaku ..

Sambil mengusap airmata, aku mengangguk.

Aku terbangun.

******

 

Rumah itu persis seperti yang ada di mimpiku. Bedanya, pintunya tertutup dan tak ada orang di bale-bale.

Aku memarkir motor dan berjalan ke pintu.

Tok tok!

"Assalamualaikum!" seruku.

"Wa'alaikumussalam ... sakedaaap!" (= sebentar)

Pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya. Si Emak.

Ia menyambutku dengan senyum.

Nah, ini bagian yang paling sulit.

"Bu, punten, betul ini rumahnya A Deden?"

Wajah si Emak memucat sesaat.

Duh, duh.

"Muhun Neng, ari neng siapa?"

Aku menelan ludah.

"Saya temennya Deden, Mak."

Si emak menatapku sejenak kemudian merangkulku dalam pelukan.Aku pasrah mendengarkan suara isak tangisnya selama sekian menit.

Aku dibimbingnya masuk, ditawarinya minum. Aku menolak dengan halus.

"Mak, saya ke sini mau menyampaikan pesan dari Deden."

Terdengar suara langkah kaki di luar.

Seorang lelaki masuk.

"Pa kadieu, geura! ieu aya Neng, rerencanganna Deden!" (= Pak, kesini,ada temennya Deden)

Aku menangguk takzim pada Bapak.

Setelah beliau duduk, aku melanjutkan.

"Ada pesan dari Deden yang harus saya sampaikan sama Bapak dan Emak."

"Pesan apa, Neng? Kapan titip pesannya?"

"Eh, sebelum ... sebelum kejadian itu ..."

Mereka berdua terdiam.

Damn, I hate this!

Setelah itu aku meminta ijin untuk masuk ke kamarnya almarhum. Karena memang seperti itulah yang diinstruksikannya padaku.

Bertiga beriringan kami masuk ke kamar.

Kamar yang rapi dengan perabotan seadanya. Sebuah dipan dekat jendela, bersampingan dengan meja dan kursi. Di seberangnya sebuah lemari berukuran sedang. Satu-satunya pajangan di ruangan itu hanyalah foto berpigura berukuran cukup besar yang digantung diatas kepala tempat tidur. Foto saat Deden diwisuda, didampingi Bapak dan Emak.

Kesanalah aku menuju.

Ragu-ragu aku memandang pasangan suami istri tersebut.Bagaimanapun ini rumah mereka. Aku tidak punya hak di sini.

Namun,mereka diam saja. Jadi kuteruskan langkahku. Ku raih pigura foto itu dan kuturunkan. Ternyata tidak seberat yang kuduga. Aku duduk di lantai ubin sambil memegang pigura.

Kubalikkan pigura itu.

Tepat seperti yang sudah Deden ceritakan, sepucuk amplop ditempel di bagian belakang. Amplop berwarna cokelat agak besar. Jenis yang biasa digunakan di Bank untuk tempat uang.

Kuserahkan amplop itu pada Bapak dan Emak, yang hanya melongo melihatku.

Bapak dan Emak ikut-ikutan duduk di lantai. Bapak, dengan tangan gemetaran membuka amplop tersebut.

Sebuah buku kecil dikeluarkan Bapak dari situ. Buku tabungan salah satu Bank di negeri ini.

Tangan Bapak merogoh lagi. Sepucuk kertas berwarna putih dan sebuah plastik kecil.

Di dalam plastiknya terdapat seuntai kalung emas. Bapak mengeluarkannya dengan wajah bingung.

Emak meraih kertas putih tadi. Matanya mengerejap.

"Aya suratna Neng, naon ceunah?Mata Emak geus kirang awas." (= ada suratnya neng, tolong bacakan, mata Emak kurang bisa lihat)

Aku membuka lipatan kertas itu.Dadaku sesak, bahkan sebelum aku membacanya.

Emak sareng Bapak,

Ieu tabungan Haji kangge Emak sareng Bapak. Deden tos mulai nabung ti barang damel. Mugia sakedap deui tiasa dipanggil. 

Anu dina palastik, eta kalung kanggo Emak. Kapungkur,waktos nguliahkeun Deden, Emak kantos ngical kalung mas kawin ti Bapak. Nuhun Mak.

Hapunten, Deden tacan tiasa  mulang tarima ka Emak sareng Bapak.

(Emak sama Bapak,

Ini tabungan Haji untuk Emak sama Bapak. Deden udah mulai nabung sejak pertama masuk kerja.Semoga sebentar lagi kepanggil.

yang di plastik itu, kalung untuk Emak. Dulu, waktu Deden masuk kuliah, Emak terpaksa menjual kalung mas kawin dari Bapak. Makasih, Mak.

Maafkan, Deden belum bisa membalas jasa Emak dan Bapak)

 

Emak tergugu di pangkuanku. Bapak menutupkan kedua tangannya di wajah.

Aku ikut terisak.

Dalam keheningan yang hanya terisi isak tangis masing-masing, aku ikut mengenang sosok Deden, yang sangat berbakti dan mencintai ayah ibunya.

Dengan terbata-bata, Emak bercerita, bahwa Deden anak bungsu dari tiga bersaudara. Dua kakak perempuannya sudah menikah. Deden anak yang pandai sejak kecil dan berkemauan keras.Meskipun Bapak hanyalah seorang buruh harian, Deden kecil selalu punya cinta-cita untuk bisa hidup lebih baik.

Dadaku bergemuruh ribut. Mengingat wajah kedua lelaki yang tanpa ampun membantai Deden dan meninggalkannya di jalanan begitu saja. Para begundal yang tidak hanya mengambil paksa hidup Deden, namun juga merampas cahaya rumah ini.

Aku berjalan meninggalkan rumah itu. Menjalankan motorku kembali.

Membelah jalanan kota Bandung.

Lirih sebuah suara berbisik padaku,

Terima kasih ...

 

 

 

 

 

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team