Klakson bergemuruh di sepanjang jalan yang beratapkan lembayung. Pengendara lain hanya bisa sabar menunggu. Segala sisi seperti tak bercelah untuk melihat jalanan aspal. Burung-burung kembali ke sarangnya, sama halnya dengan para insan yang berselimut peluh dan letih ini. Namun, apakah dari kita semua punya tempat pulang yang pantas disebut 'rumah'?.
Sejumlah raga masih berkeliaran. Di kolong jalan tol, para pemuda sedang asik bercengkrama. Anak-anak kecil berpakaian lusuh masih sibuk menjajakan dagangannya ke setiap pengendara. Lalu, tepat di depan ruko yang tutup, seorang ibu dan anak terbaring beralaskan tumpukan kardus.
"Neng...".
"Iya?".
"Setiap hari begini, Neng? Kenapa gak kost aja?".
"Ehmm... enggak, Mas. Sekali-kali aja. Soalnya udah mau lulus juga".
"Oh, kirain tiap hari naik ojek. Kalau gitu semangat sampai lulus, ya, Neng!".
Dukungan dari seseorang yang tak kukenal, hampir seperti angin sejuk di tengah musim kemarau. Semua rasa menjadi nostalgic, berpadu dalam senja.
**Dari kaca spion, sekilas kumelihatnya. Suka memandang langit ternyata. Kepalanya terus mendongak, matanya berbinar memandang burung-burung terbang di atas sana. Suasananya memang damai, membuat badan dan perasaanku pun lebih ringan.
"Akhirnya, sudah sampai, Neng". Leganya. Kubalas pesan masuk dari istriku.
"Yah, belum pulang?".
"Lagi nganter penumpang ini, rumahnya jauh. Sebentar lagi pulang, kok!(emot love)".
"Neng,, udah sampe". Tidak ada jawaban. Aku pun menoleh ke belakang. Loh, disappear. Hanya terlihat helm di atas jok. Aku turun dari motor, melihat ke sana ke mari. Apa dia kabur tidak mau bayar?.
"Cari apa, Mas?". Tanya seorang ibu dengan mukena biru yang baru pulang dari masjid.
"Ee...gini, Bu. Saya nurunin penumpang cewek di rumah ini. Apa Ibu liat dia?". Ibu itu bingung.
"Kenapa?" Tanya bapak tua yang mendekat sambil mendorong sepedanya.
"Ini, si Mas katanya habis antar penumpang yang tinggal di sini". Mereka keheranan.
"Mas, rumah ini kosong. Tadi, saya juga gak liat Mas boncengin penumpang pas sampai sini". Deg. Jangan-jangan terjatuh saat aku tidak sadar. Tidak mungkin.
"S, saya serius, Pak, Bu. Saya tadi ada boncengin anak itu. Gak mungkin saya jauh-jauh ke sini. Ini ada bukti di aplikasi saya, nama anaknya tadi Shila, nah alamat dan rumahnya di sini". Bapak tua dan ibu itu saling menatap.
"Masnya kecapean kali.", kata ibu itu.
"Rumah ini memang pernah dihuni sama yang namanya Shila, dia masih kuliah, tapi orangnya udah meninggal kecelakaan dua tahun lalu. Masnya pulang aja. Untuk ongkosnya berapa, Mas? Saya aja yang bayar. Kasian Mas ini". Bapak tua itu merogoh sakunya.
Lampu hijau menyala, perlahan kususuri kembali persimpangan jalan, gedung-gedung tinggi, dan juga pepohonan rimbun. Otakku masih memproses kejadian hari ini. Takut, sih tidak. Hanya saja, sedih mengingat gadis itu. Entah, adakah orang yang menanti dan menanyakan keadaannya? Entah, adakah orang di sampingnya saat dia 'pergi'?. Ternyata, hidupku jauh lebih beruntung karena punya istri dan anak yang selalu menunggu ku pulang dan menanyakan kabarku setiap waktu. Angin kencang mulai menghantam tubuhku, mengundang setitik demi setitik air langit yang mengetuk kaca helmku. Bunga kuning jatuh berhamburan di jalan. Salah satu kelopaknya hinggap di kaca helmku.
Binar jingga mulai mengabur seiring dengan kumandang azan magrib. Purnama terlihat jelas. Bayang diriku mulai samar. Ternyata hampir usai. Beruntung, aku bisa kembali menghirup udara, walau hanya sebentar. Menjadi saksi tentang keadaan para insan yang merakit hidup. Entah, apa mereka baik-baik saja atau tidak?. Kuharap mentari selalu terbit di saat mendung hati mereka, kuharap langit senja selalu merangkul di saat letih raga mereka, kuharap pelangi kan merekah di saat hujan rintangan menghantam jalan mereka. Kuharap dunia tidak terlalu jahat pada mereka yang baik.
Dia menghilang sedetik sebelum gelap menyelimuti langit. Jiwa, raga, impian, bahkan kenangannya pergi dalam sunyi. Terbang bersama ribuan bunga terompet kuning yang berguguran. Jalannya selesai, tapi harapannya akan selalu mengudara di semesta.