Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Seorang perempuan duduk di dekat jendela kafe
ilustrasi seorang perempuan duduk di dekat jendela kafe (freepik.com/freepic.diller)

Intinya sih...

  • Seorang perempuan duduk di kafe dengan pensil di tangan, menggambar dengan penuh ketulusan dan keberanian.

  • Ia menatap keluar jendela, memandangi hujan yang mulai jatuh pelan, lalu tersenyum kecil dan melanjutkan garisnya.

  • Pengalaman tersebut mengajarkan bahwa passion bukanlah tentang hasil, melainkan tentang keberanian untuk tetap mencipta, bahkan saat dunia tidak memperhatikan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Udara sore di luar lebih dingin dari biasanya, di dalam kafe ini, aroma seduhan kopi panas mengalahkan petrichor yang biasanya menenangkan hati. Di balik jendela kafe yang berembun halus, seorang perempuan duduk menunduk dengan pensil di tangan. Wajahnya tenang, nyaris hening. Namun di matanya, ada cahaya kecil yang hidup. Cahaya dari orang yang sedang melakukan sesuatu yang ia cintai.

Tangannya bergerak ringan di atas kertas, seolah setiap garis memiliki napas sendiri. Aku yang duduk di seberang mejanya, tanpa sengaja menyaksikan pertunjukan indah dan tenang namun paling memikat di sore itu. Alunan gitar akustik "Shallow" dari Lady Gaga dan Bradley Cooper bersenandung di setiap sudut kafe, menjadi latar di antara gesekan pensil, secangkir kopi yang mendingin, dan waktu yang terasa melambat.

Ada sesuatu yang tulus dalam caranya bekerja.

Ia tidak sedang menggambar untuk dipuji,

Ia sedang berbicara dengan dirinya sendiri dalam bahasa yang tak semua orang mengerti.

Sesekali ia berhenti, menatap keluar jendela, memandangi hujan yang mulai jatuh pelan. Lalu, seperti teringat sesuatu, ia tersenyum kecil dan kembali melanjutkan garisnya. Di momen itu, aku tahu, passion bukanlah tentang hasil, melainkan tentang keberanian untuk tetap mencipta, bahkan saat dunia tidak memperhatikan.

Aku menatapnya lama, mencoba mengerti kenapa pemandangan sesederhana itu terasa begitu dalam. Mungkin karena di tengah dunia yang serba tergesa, masih ada seseorang yang sabar menekuni apa yang ia cintai.

Ketika ia selesai, ia menutup bukunya perlahan, menatap keluar jendela satu kali lagi, lalu berdiri dan pergi tanpa menoleh. Di mejanya, tersisa secarik kertas dengan sketsa sederhana pemandangan hujan, dengan goresan halus yang memancarkan kedamaian.

Sore itu aku duduk lebih lama dari biasanya, ditemani secangkir kopi yang hangat dan dessert matcha. Aku menghabiskan menit-menit berikutnya, bukan untuk menikmati hidangan tersebut, melainkan untuk membayangi aktivitas yang membuatku bisa sedamai dirinya.

Aktivitas yang membuatku tak perlu lagi peduli pada validasi orang lain. Aku merenungkan proyek-proyek yang terhenti, membeku oleh keraguan dan tumpukan alasan yang kubuat sendiri, dan ambisi buruk yang mendominasi karena terlalu sering melihat pencapaian orang lain.

Aku berharap, suatu hari nanti, aku bisa menemukan passion yang sama sehingga mampu membuatku lupa pada dunia dan hanya ingat pada diriku sendiri.

Sore itu, walau aku tak mengenalnya, tapi kesan yang kudapat mengajariku sesuatu yang lebih berharga, bahwa kekaguman sejati bukan pada kehebatan seseorang, melainkan pada dedikasi yang lahir dari cinta terhadap apa yang ia lakukan, bahkan ketika hanya langit dan hujan yang menjadi saksinya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team