Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Love, Live and Collage

Ilustrasi Coffee Shop
Ilustrasi Coffee Shop (unsplash.com/Nafinia Putra)
Intinya sih...
  • Bima, mahasiswa Sastra, merasa kebuntuannya dalam menyelesaikan skripsi tentang analisis semiotika pada kumpulan cerpen kontemporer.
  • Bertemu dengan Laras, seorang mahasiswi DKV yang sedang mengerjakan pameran seni kolase, membuka pandangan baru bagi Bima tentang proses kreatif dan cara melihat hidup.
  • Setelah mengamati cara kerja Laras dan mendengar filosofi di balik karyanya, Bima mulai menulis skripsinya tanpa terpaku pada struktur linear, seperti membuat kolasenya sendiri.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Layar laptop di hadapan Bima memantulkan cahaya remang lampu jalanan, menampilkan halaman Microsoft Word yang nyaris kosong. Hanya ada judul, nama, nomor mahasiswa, dan kursor yang berkedip-kedip ritmis, seolah mengejek kebuntuannya. Sudah dua jam ia duduk di bangku panjang angkringan langganannya, ditemani tiga bungkus nasi kucing yang sudah dingin dan segelas es teh yang esnya telah mencair sepenuhnya.

Revisi lagi, Mas?” sapa Pakde Min, pemilik angkringan, sambil meletakkan beberapa tusuk sate kere di atas bara arang. Asap tipis yang wangi mengepul, membawa aroma manis gurih yang biasanya mampu membangkitkan selera, tapi tidak malam ini.

Bima hanya mengangguk lesu. “Begitulah, Pakde. Bab empat ini rasanya seperti mendaki tebing tanpa tali.

Pakde Min terkekeh pelan. “Skripsi itu kayak bikin sambal, Mas. Kalau kebanyakan mikir resep, nggak diulek-ulek, ya nggak jadi-jadi.

Sebuah nasihat sederhana yang menusuk tepat di jantung masalah. Bima, mahasiswa Sastra tingkat akhir, sedang bergulat dengan analisis semiotika pada kumpulan cerpen kontemporer. Otaknya penuh teori dari Barthes hingga Derrida, tetapi jemarinya kaku untuk merangkai kata-kata menjadi analisis yang padu. Ia merasa seperti tenggelam dalam lautan konsep yang ia pelajari sendiri.

Di tengah lamunannya, seorang gadis berjaket jins pudar duduk di bangku seberangnya. Ia mengeluarkan sebuah buku sketsa dan beberapa batang pensil arang dari tas kanvasnya. Tanpa banyak bicara, tangannya mulai menari di atas kertas, matanya bergerak lincah, menangkap setiap detail kehidupan malam di sudut kota pelajar itu: Pakde Min yang mengipasi arang, sepasang kekasih yang berbagi tawa di ujung bangku, hingga seekor kucing belang yang tertidur di bawah gerobak.

Bima memperhatikannya dalam diam. Ada energi yang tenang namun fokus dari gadis itu. Caranya mengamati sekitar, lalu menerjemahkannya menjadi goresan-goresan hitam di atas kertas, tampak begitu mengalir, begitu alami. Berbanding terbalik dengan dirinya yang merasa seperti mesin yang macet.

Boleh pinjam stopkontaknya, Mas? Punyaku di ujung sana sudah dipakai,” suara gadis itu membuyarkan lamunan Bima. Suaranya renyah, dengan logat Jawa yang medok namun terdengar merdu.

Bima sedikit terkejut. “Oh, eh, monggo, Mbak. Silakan.” Ia menggeser sedikit ranselnya untuk memberi ruang pada adaptor laptop gadis itu.

Terima kasih,” katanya sambil tersenyum. Senyumnya tipis, namun cukup untuk membuat lesung pipit kecil muncul di pipi kirinya. “Lagi pusing sama skripsi, ya? Kelihatan dari auranya.

Bima tertawa kecil, sedikit getir. “Semacam itu. Rasanya semua ide di kepala ini berantakan, seperti kepingan puzzle dari seribu kotak yang berbeda.

Gadis itu berhenti menggambar sejenak, menatap Bima dengan saksama. “Aku Laras, anak DKV,” ia memperkenalkan diri.

Bima, Sastra.

Laras mengangguk-angguk paham. “Anak sastra, ya. Pantas saja. Kalian kan suka bermain dengan hal-hal yang tidak kasat mata. Kata, makna, simbol. Rumit.” Ia kembali pada sketsanya. “Kalau kami di DKV lebih sederhana. Apa yang kami lihat, kami rasa, ya itu yang kami tuangkan. Kadang nggak perlu makna yang dalam, yang penting pesannya sampai.

Percakapan itu membuka sebuah celah kecil di dinding kebuntuan Bima. Mereka mulai mengobrol lebih banyak malam itu. Tentang tenggat waktu, dosen pembimbing yang punya standar setinggi langit, hingga keindahan sederhana dari segelas kopi joss yang arangnya masih membara. Bima mengetahui bahwa Laras sedang mengerjakan tugas akhir berupa pameran seni kolase dengan tema “Wajah Kota yang Terlupakan”.

Kolase?” tanya Bima, tertarik.

Iya. Aku mengumpulkan sobekan poster lama, bungkus makanan, tiket parkir, apa saja yang kutemukan di jalanan. Lalu aku susun ulang jadi sebuah karya baru,” jelas Laras dengan mata berbinar. “Aku suka filosofinya. Dari kepingan-kepingan yang dianggap sampah dan tidak berarti, bisa tercipta sebuah keindahan yang utuh. Setiap sobekan punya ceritanya sendiri, tapi saat disatukan, mereka menciptakan cerita yang sama sekali baru.

Kata-kata Laras berdengung di kepala Bima sepanjang malam, bahkan setelah ia kembali ke kamar kosnya yang sempit. Dari kepingan-kepingan yang tidak berarti, tercipta sebuah keindahan yang utuh.

Beberapa hari kemudian, hujan turun deras saat Bima baru saja keluar dari ruang dosen. Revisi di tangannya penuh dengan coretan tinta merah. Harapannya untuk segera mendapat acc kembali pupus. Dengan langkah gontai, ia berteduh di selasar fakultas, memandangi tirai hujan yang seolah ikut menertawakan nasibnya.

Butuh tumpangan?

Bima menoleh. Laras berdiri di sana, memegang sebuah payung berwarna pelangi yang mencolok. Ia tersenyum, seolah membawa sedikit warna di tengah hari yang kelabu.

Kamu Laras, kan? Yang di angkringan tempo hari,” kata Bima, memastikan.

Seratus buat Mas Bima,” candanya. “Kosmu di mana? Searah nggak sama tempatku?

Singkat cerita, Bima berakhir berjalan di bawah payung pelangi yang sama dengan Laras. Jarak mereka yang dekat membuatnya bisa mencium aroma sampo Laras yang berbau seperti apel hijau. Mereka berjalan pelan, menikmati ritme hujan dan percakapan ringan yang mengalir tanpa paksaan.

Laras mengajaknya mampir ke sebuah kedai kecil yang menjual wedang ronde. Di dalam, semangkuk kuah jahe hangat dengan bola-bola ketan kenyal menjadi penyelamat dari dingin yang menusuk. Di sanalah Laras menunjukkan beberapa foto proyek kolasenya dari ponsel.

Bima terpukau. Di layar kecil itu, ia melihat wajah seorang tukang becak yang terbentuk dari sobekan koran dan karcis bioskop. Ada siluet Tugu Jogja yang terbuat dari bungkus-bungkus gudeg dan label botol minuman. Semuanya acak, tetapi secara ajaib membentuk sebuah kesatuan yang harmonis dan penuh emosi.

Begini caraku bekerja,” kata Laras. “Aku tidak pernah merencanakan harus menempel sobekan ini di mana. Aku biarkan tanganku bergerak mengikuti intuisi. Kadang hasilnya aneh, kadang tidak sesuai ekspektasi. Tapi di situlah seninya. Menerima ketidaksempurnaan dan melihat bagaimana semuanya saling terhubung pada akhirnya.

Sebuah bola lampu terang menyala di kepala Bima. Selama ini, ia berusaha menulis skripsinya secara linear. Pendahuluan, landasan teori, analisis, kesimpulan. Semuanya harus urut, rapi, dan sempurna sejak awal. Ia terlalu terpaku pada struktur, pada resep, seperti yang dikatakan Pakde Min. Ia lupa bahwa sebuah argumen bisa dibangun dari berbagai kepingan ide yang mungkin pada awalnya tampak tidak berhubungan.

Teori Barthes tentang kematian pengarang, konsep dekonstruksi Derrida, analisis naratologi Genette semua itu adalah sobekan-sobekan kertas di dalam kepalanya. Ia tidak harus menatanya secara paksa. Ia hanya perlu membiarkannya saling berbicara, saling mengisi, dan melihat keutuhan seperti apa yang akan terbentuk.

Laras,” panggil Bima pelan. “Boleh aku melihat karyamu secara langsung kapan-kapan?

Laras tersenyum lebih lebar kali ini. “Tentu saja. Studioku selalu terbuka untuk orang yang sedang mencari inspirasi.

Kunjungan ke studio Laras yang sebenarnya adalah kamar kosnya yang disulap menjadi bengkel seni menjadi titik balik bagi Bima. Ruangan itu berantakan dalam artian yang paling indah. Ada tumpukan majalah bekas, kaleng-kaleng cat, guntingan kertas di mana-mana, dan kanvas-kanvas yang bersandar di dinding. Aromanya adalah perpaduan antara lem, cat akrilik, dan kertas tua.

Di sana, Bima melihat Laras bekerja. Melihat bagaimana jemari lentik itu dengan sabar memilih setiap sobekan, memberinya lem, dan meletakkannya di atas kanvas. Ada proses hening yang penuh perenungan, namun juga ada momen spontan saat Laras tiba-tiba menemukan potongan yang tepat.

Malam itu, Bima pulang ke kosnya dengan semangat yang baru. Ia membuka laptopnya. Alih-alih membuka file skripsinya, ia membuka dokumen baru. Ia mulai menulis apa saja yang ada di kepalanya. Kutipan teori, analisis mentah sebuah paragraf, pertanyaan-pertanyaan filosofis, bahkan keraguannya sendiri. Ia tidak peduli dengan struktur. Ia hanya menumpahkan semua kepingan itu ke halaman putih.

Hari-hari berikutnya, proses itu terus berlanjut. Halaman kosong itu perlahan terisi dengan paragraf-paragraf acak. Bima merasa seperti sedang membuat kolasenya sendiri. Ia mengambil sedikit dari sini, menempelkannya di sana, menghubungkan satu ide dengan ide lain yang tampaknya jauh. Dan perlahan, sebuah argumen yang utuh dan orisinal mulai terbentuk. Kerumitan teori-teori itu tidak lagi menjadi beban, melainkan menjadi warna-warni cat untuk lukisannya.

Sebulan kemudian, Bima kembali duduk di angkringan Pakde Min. Kali ini, laptopnya tertutup. Di sampingnya, segelas teh hangat mengepulkan uap. Ia menatap langit malam dengan perasaan lega yang luar biasa. Bab empatnya telah disetujui, bahkan mendapat pujian dari dosen pembimbingnya.

Tak lama, sosok yang ditunggunya datang. Laras, dengan tas kanvas andalannya.

Bagaimana?” tanya Laras sambil duduk di seberangnya.

Bima tersenyum tulus. “Terima kasih, Laras. Kamu tidak hanya mengajariku tentang seni kolase, tapi juga tentang cara melihat hidup.

“Aku tidak mengajari apa-apa. Kamu menemukan jawabannya sendiri,” balas Laras merendah.

Tapi kamu yang memberiku gunting dan lem-nya,” ujar Bima.

Mereka terdiam sejenak, membiarkan suara khas angkringan desis arang, denting sendok dan gelas, serta obrolan pengunjung lain menjadi musik latar. Di tengah keramaian itu, Bima merasa menemukan sebuah titik hening yang nyaman bersama Laras.

Hidup, pikirnya, memang sebuah kolase raksasa. Ada kepingan kebahagiaan, sobekan kekecewaan, potongan-potongan kecil dari orang-orang yang kita temui. Semuanya mungkin tampak acak dan tidak berarti jika dilihat satu per satu. Namun, jika kita mundur sejenak dan melihat gambaran besarnya, semua kepingan itu ternyata membentuk sebuah mozaik yang unik dan indah. Mozaik tentang perjalanan, tentang cinta, dan tentang proses menemukan diri di tengah simpang siur kehidupan perkuliahan.

Dan malam itu, di bawah temaram lampu jalanan kota Jogja, Bima tahu persis kepingan mana yang ingin ia letakkan dengan hati-hati di tengah kolase hidupnya. Kepingan itu adalah seorang gadis berjaket jins pudar dengan senyum berlesung pipit dan payung berwarna pelangi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Fiction

See More

[CERPEN] Love, Live and Collage

31 Okt 2025, 21:12 WIBFiction
gambar perempuan membaca surat

[PUISI] Sepotong Rindu

31 Okt 2025, 15:07 WIBFiction
Ilustrasi bunga layu

[PUISI] Perihal Duka

31 Okt 2025, 05:15 WIBFiction
ilustrasi pekerja yang pulang kerja di sore hari

[PUISI] Perjalanan Pulang

30 Okt 2025, 20:07 WIBFiction
ilustrasi berusaha menggapai langit

[PUISI] Perihal Langit

30 Okt 2025, 10:07 WIBFiction
ilustrasi peduli apa aku

[PUISI] Peduli Apa Aku

29 Okt 2025, 21:17 WIBFiction
ilustrasi pasangan (pexels.com/Pixabay)

[PUISI] Pada Suatu Entah

29 Okt 2025, 20:07 WIBFiction
ilustrasi perempuan membawa lentera dikelilingi kunang-kunang

[PUISI] Belajar Bijaksana

29 Okt 2025, 17:07 WIBFiction
ilustrasi memberi

[PUISI] Tak Perlu Alasan

28 Okt 2025, 20:17 WIBFiction
ilustrasi orang bertopeng

[PUISI] Nafsu Psikopat

28 Okt 2025, 05:04 WIBFiction