Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[CERPEN] Sunyi yang Tertinggal dalam Cerita Usang

Ilustrasi pria berbaring di bunga putih
Ilustrasi pria berbaring di bunga putih (pexels.com/Fernando Cabral)

Suara hujan terdengar dari balik jendela kamarku, tetesan itu begitu kuat hingga percikannya menciptakan suara nyaring di telinga. Sudah beberapa minggu ini, musim hujan mendera jantung Kota Jakarta. Secercah kilasan mengingatkanku saat kali pertama menjejakkan kaki di rumah kos ini. Bangunan yang sudah dimakan usia hingga corak dindingnya tak lagi putih, koridor sempit dengan lampu neon menyala temaram, serta pintu-pintu kayu berderet rapi. Kami—aku, Ipan, Malik, dan Andika—menyebutnya rumah kedua. Memanglah jauh dari kata sempurna, tetapi di sinilah kami mengadu nasib, harapan, dan cerita-cerita usang di sudut kamar.

Sebagai anak rantau yang jauh dari keluarga, tentunya kesepian menjadi salah satu masalah utama yang terasa nyata. Terkadang aku berpikir bahwa kehadiran mereka adalah pemantik semangat hidupku di balik bayangan kelam. Aku menyukai momen-momen ini, rasanya tak bisa begitu saja kulepaskan ke langit malam, dengan kilauan bintang bertabur tak beraturan. Meski aku tahu, pada akhirnya, waktu adalah arloji rusak dan tetap berjalan pada titik yang sama sehingga berhasil menelan puing-puing masa tuannya.

Hidup kami sederhana. Pagi sekali aku berangkat kuliah bersama mereka, melintasi lorong sempit yang berdenyut hangat, penuh warna. Kehidupan berjalan dengan ritme yang sama—para perempuan berdaster batik mencuci baju di ember biru, seorang ibu menyuapi anaknya yang enggan berangkat sekolah, serta dari kejauhan terdengar sayup suara pasangan bertengkar perkara uang belanja. Di sela hiruk-pikuk itu, aku merasa seperti penonton, menyaksikan drama orang lain berputar tanpa henti, sementara langkahku terjebak di antara kebisingan dan sepi yang menelan. Mungkin di tempat sesempit ini manusia belajar arti bertahan—bukan karena kuat, melainkan karena tak punya pilihan selain hidup.

Kami berempat pun sampai di kampus dan segera berpencar menuju ruang masing-masing. Jurusan kami memang berbeda. Aku dan Andika satu jurusan di Sastra Inggris, sedangkan Ipan dan Malik merupakan anak Teknik. Kami harus berpisah dan berjanji bertemu di tempat biasa melepas letih.

Kelas berakhir saat matahari mulai condong ke barat. Langit tampak berdebu, seperti menahan gerimis. Namun, langkah kami perlahan, tidak buru-buru, mengikuti aroma sambal kacang yang melayang dari kejauhan. Tempat itu tidak jauh dari kampus, bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sebuah warung kecil beratapkan asbes dengan dinding tripleks yang sudah retak di beberapa sisinya. Mungkin kalian menyebutnya gubuk reyot, tetapi percayalah di tempat ini impian dan harapan diagungkan, seolah masa depan terasa mungkin. Apalagi ketoprak buatan Mbok Jarni membuat kami mempunyai dunia sendiri dengan segala ketidaksempurnaan.

Kami duduk di bangku plastik yang mulai goyah, sementara Mbok Jarni menyiapkan ketoprak dengan wajah teduh yang tak lekang waktu. Suara ulekan antara kacang dan bumbu-bumbu ketoprak menambah suasana begitu hangat dengan aroma khasnya yang menyeruak ke lubang hidung.

“Mbok, ketopraknya empat ya, kerupuknya yang banyak,” kataku sambil menaruh tas di meja kayu kecil.

Mbok Jarni hanya mengangkat alis, menatapku heran memesan empat porsi ketoprak. “Kalau kerupuknya banyak, sambalnya dikit, ya.”

“Waduh, Mbok, masa anak kos ditindas juga,” jawabku pura-pura mengeluh, disambut tawa Ipan, Malik, dan Andika yang mengekor di belakangku.

Mbok Jarni hanya menggeleng dan fokus membuat sambal kacang khasnya. Aku hanya tersenyum, menatap kepulan asap dari wajan kecil di pojokan. Aroma tempe mendoan hangat yang baru saja ditiriskan membuat perutku berdendang. Di luar, langit mulai menggulung kelam, tetapi suasana di warung ini seperti menolak sore.

“Kalian pernah kepikiran nggak sih, hidup kayak gini tuh bakal sampai kapan?” tanya Ipan pelan.

“Entah,” jawabku, menghela napas. “Hidup ya … karena masih hidup aja.”

Suasana hening sejenak. Angin yang mendesis disertai gerimis mulai menitik di antara asbes, suaranya terdengar nyaring dan teratur. Kami saling berpandangan, tetapi tak ada yang bicara lagi. Pikiran kami membeku—begitu pula raga kami—ketika angin dingin mulai menelusuk lewat celah-celah retakan tripleks. Masing-masing dari kami diam dalam konflik batin, mencoba memahami arti dari senyap sore itu, di depan seporsi ketoprak yang tak kami tahu, lebih sunyi dari biasanya.

Malam datang tanpa banyak suara. Jalanan sempit di depan warung sudah sunyi, hanya tersisa genangan air yang memantulkan cahaya lampu jalan. Kami berjalan tanpa banyak bicara seakan sore itu menelan kata-kata dalam diam. Setiap langkah terasa berat di jalanan becek, ada sesuatu di udara yang sulit dijelaskan: antara dingin, getir, dan sepi yang menempel di kulit.

Setibanya di kos, kami berpisah ke kamar masing-masing. Suara pintu berderit dan gesekan sandal yang diseret serta percikan hujan kembali datang membasahi raga tanpa tuan. Bunyinya menciptakan orkestra aneh, membuat dada terasa semakin sesak. Aku menatap sudut kamarku yang bocor dan mencoba mengambil ember biru sebagai penadah. Setiap tetesan itu terselip kenangan yang tak sempat kumiliki.

Suara hujan semakin rapat, ritmenya seperti mengetuk-ngetuk jendela dengan maksud tertentu. Aku memejamkan mata, mencoba tidur, tetapi kepalaku hanya ada bayangan—tentang rumah, tentang Ibu, tentang momen-momen kecil yang tak akan kembali. Aku rindu rasanya dicintai, dihargai atas hal-hal kecil meski tak seberapa, tetapi semuanya hanya berputar seperti doa-doaku yang menggantung di celah langit, tak pernah benar-benar turun. Kini, kegelapan tak berujung merambat pelan-pelan, seperti kabut yang menelanku utuh, mungkin yang tersisa hanya cerita usang yang kutinggalkan di sudut kamar ini, di bawah atap bocor yang tak sempat menyembuhkan lukanya.

Entah bagaimana, aku merasa ada yang ikut mendengarkan setiap napasku dan entah kenapa suara hujan terdengar seperti langkah seseorang yang berhenti tepat di depan pintuku. Jantungku berdebar dan langkahku ragu-ragu. Namun, saat kubuka pintu tua itu, wajah berseri Ipan, Malik, dan Andika terpampang jelas di sana. Aku mulai bernapas lega.

“Bikin mi instan, yuk! Sambil makan di teras atas,” ajak Andika.

Aku mengangguk seolah setuju dan membiarkan mereka menyeretku ke dapur umum. Uap air mendidih disertai bau bawang goreng segera memenuhi ruangan itu, seolah menepis hawa dingin yang sedari tadi menempel di kulit. Untuk sesaat, aku merasa malam ini tak terlalu sepi. Hujan telah reda dan kami berempat pergi ke balkon atas. Sejenak kami menikmati mi kuah hangat dengan uap yang masih mengepul di mangkok. Dari atas, cahaya lampu jalan tampak redup, menembus sisa kabut tipis yang menggantung.

“Lihatlah dunia lebih baik, Kawan. Setidaknya momen kecil seperti ini akan selalu menemanimu, di saat kau merasa tak sempat mendapatkan hal itu,” kata Malik sambil menepuk punggungku pelan.

Aku termangu mendengar kata-kata itu. Ada perasaan tertinggal di setiap rangkaian diksi yang ia berikan kepadaku. Cahaya bulan berpendar menembus awan, memantul di wajah mereka yang terlihat sedikit pucat dalam bayangan lampu jalan.

Ipan dengan gitar usangnya mulai memetik senar yang nyaris tak berirama. Andika ikut bernyanyi pelan, suaranya samar terbawa angin.

“Andaiku cukup dewasa ….”

“Untuk menerima semua yang terjadi ….”

Aku tersenyum. Semakin lama lagu itu terdengar, semakin asing rasa yang merambat pada jiwaku. Mi di tanganku mulai dingin dan uap yang tadi mengepul, kini lenyap seolah terbawa waktu. Malam itu, untuk kali pertama kesendirian tak menjadi bayang-bayang yang selalu mengintip dari balik punggung.

Gang Kelinci dipenuhi kerumunan orang-orang. Ada yang berbisik, ada pula yang menjerit tanpa suara. Bau amis samar terbawa angin sisa hujan semalam, tatapanku kosong menyadari kedatangan para petugas berseragam serta garis kuning membalut sepanjang rumah kos ini. Aku berdiri di depan kamarku, menatap nomor lima yang menempel pada pintu kayu yang kini dikerumuni orang. Hatiku begitu berisik ketika salah satu petugas membawa sesuatu keluar—dibungkus kain putih, basah di ujungnya. Ipan, Malik, dan Andika tak ada di mana pun. Entah sejak kapan, aku berhenti mendengar suara mereka. Samar-samar celetukan tentang mahasiswa bunuh diri di kamar nomor lima menyaru dengan bisingnya orang-orang.

Aku ingin tertawa, tetapi tenggorokanku kering. Perlahan aku menyadari apa yang sebenarnya menimpaku. Hujan dan puing harapan yang tertinggal dalam debu di sepanjang jalan pulang. Ternyata kebahagiaan yang sempurna itu hanya dalam imajinasiku. Mungkin memang benar bahwa momen-momen kecil akan selalu menemani, tetapi mereka tidak benar-benar bersamaku. Hanya kesendirian yang selama ini menempel di dadaku. Kesendirian diam-diam mengajariku bertahan tentang rasa perih dan luka yang tak pernah sembuh. Hingga, ketika suara akhirnya menghilang, aku merengkuh dalam langit legam di atas cakrawala—perlahan, menjadi bagian dirinya.

Di kamar nomor lima, ember biru itu masih menampung sisa hujan.

Mungkin, di sudut itu pula,

sebuah alur cerita masih berulang—

tentang luka, tentang mimpi,

tentang sunyi yang tertinggal dalam cerita usang.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Fiction

See More

[CERPEN] Sunyi yang Tertinggal dalam Cerita Usang

25 Okt 2025, 20:28 WIBFiction
bulan di langit malam

[PUISI] Sisi Gelap Bulan

25 Okt 2025, 05:52 WIBFiction
ilustrasi hujan

[PUISI] Selepas Hujan

25 Okt 2025, 05:15 WIBFiction
ilustrasi nyala lampu (pexels.com/Makafood)

[PUISI] Pantang Padam

23 Okt 2025, 23:42 WIBFiction
ilustrasi jembatan

[PUISI] Jembatan Kertas

23 Okt 2025, 05:15 WIBFiction
Danau Toba

[PUISI] Kaldera dari Utara

23 Okt 2025, 05:04 WIBFiction
ilustrasi perempuan galau

[PUISI] Memungut Rindu

22 Okt 2025, 05:15 WIBFiction
ilustrasi sepasang kekasih

[PUISI] Dalam Nama Cinta

22 Okt 2025, 05:04 WIBFiction