Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
ilustrasi sungai (dok. Pribadi/ Adam Budiansyah)

Di tepi barat Bukit Gondomayit, hiduplah Mada, seorang petani muda yang cekatan dan gagah, meski tak tampan. Ia sangat disiplin bak komando cadangan, setiap hari, Mada bangun saat fajar, menyiapkan peralatan lalu tenggelam menyibukkan diri di kebun warisan mertuanya. Setiap sore, setelah bekerja keras, Mada selalu singgah di warung kopi milik Mbak Yayuk. Warung itu terbuat dari batang dan anyaman bambu. Kini sedikit reot dengan beberapa lampu bercahaya kuning yang bohlamnya berdebu dan berdiri di bawah pohon bambu yang rimbun di tepi Sungai Bango yang dangkal. Meski begitu, warung ini selalu ramai oleh petani yang lelah dan bocah-bocah bolos pengajian mencari ikan dengan penuh harap saat sore.

Untuk mencapainya, orang-orang harus melewati jalan setapak beralas tanah yang bisa dilalui motor trail. Di depan warung, di tepi jalan setapak yang berbatasan langsung dengan Sungai Bango, terdapat bangku-bangku bambu. Itulah tempat favorit Mada untuk duduk dan memandangi sungai, ditemani riuh celometan Mbak Yayuk serta suara angin yang membenturkan daun-daun bambu bersautan dengan gemericik suara sungai. Di dalam sungai, gerombolan ikan gatul berbibir monyong berlalu-lalang, menunggu apes terjebak jaring bekas wadah nasi bocah-bocah setempat.

Pada sore itu, saat kabut tipis mulai turun dan suasana warung semakin riuh, Mada duduk di bangku favoritnya sambil merenung. Tiba-tiba terdengar suara deru motor trail dari kejauhan. Sahabatnya, Pala, muncul dengan motor trail odong-odong yang penuh dengan tali karet bekas ban dalam di beberapa bagiannya. Pala, dengan motor trail odong-odong yang penuh dengan tali karet bekas ban dalam di beberapa bagiannya, nyeletuk, "Mada, kawanku titisan Angrok, lagi-lagi kau melamun dalam keramaian. Memang apa sih yang kau lamunkan itu kawan?" tanyanya dengan nada celometan sembari menyeruput kopi hitam milik Mada tanpa izin, lalu mengangkat topi berlogo "M" ori seken warna ungu yang selalu dikenakannya setiap hari.

"Aku merenungi sifat bangsa ini, Pala," jawab Mada serius tanpa mengalihkan pandangan dari air sungai. "Orang-orang selalu berkata bahwa hidup ini hanya sementara. Tapi menurutku, mereka mengatakan itu hanya sebagai alasan karena takut berinovasi, dan bersembunyi dari kecemasan, cibiran, dan perubahan."

Editorial Team

Tonton lebih seru di