Karena Bapak, Aku Tak Akan Lagi Makan Roti

Sebuah Cerita Pendek Tentang Bapak

Siapa sangka pertemuanku dengan Bapak menjelang kakak perempuanku menikah mengubah pikiranku tentang roti. Ya. Roti. Olahan gandum yang sebenarnya bukan makanan khas kita orang Indonesia ini. Bukankah lebih kenyang kalau makan nasi? Tentu. Tapi roti banyak macamnya. Aku suka. Aku suka roti manis, roti kacang, roti coklat, juga roti-roti vegan yang lebih banyak lagi macamnya.

Peduli setan dengan urusan ekspor impor gandum untuk bahan baku bikin roti. Biar itu jadi urusan pemerintah saja. Aku tak mau ikut campur. Yang penting di sini ada roti, bisa kubeli dengan uang bulananku dari ibu, enak, selesai urusan. Waktu itu aku memutuskan untuk pulang ke Purwokerto, dari tempatku kuliah di Yogyakarta. Dalam waktu dekat kakakku akan menikah dan pekerjaannya di rumah sakit membuatnya tak sempat mengurus segala jenis administrasi pernikahan, begitupun calon suaminya. Dengan perceraian orang tua kami dulu, agak sulit rupanya masalah surat-menyurat administrasi itu. Karena kuliahku tinggal sedikit sebab aku sudah tingkat akhir, aku memutuskan untuk mencoba membantunya dengan pulang ke rumah.

Tak pernah kukira, urusan itu melibatkan Bapak yang sudah tak pernah bertemu denganku sejak lima tahun yang lalu. Memang Bapak dan Ibu sudah bercerai jauh sebelum itu, delapan belas tahun yang lalu. Tapi sekali dua kali dalam setahun biasanya aku bertemu Bapak saat lebaran. Baru sejak aku SMA, enggan aku bertemu dengannya. Bagiku dia hanya pemabuk yang mematahkan hati ibuku dan membuatku iri kepada semua anak yang dibelikan arumanis oleh Bapaknya di pasar malam.

“Tolong ya, Ca. Nanti kamu ketemu Bapak, urus surat-surat pengantar di kantor kelurahan untuk dibawa ke KUA dan minta nomor register pernikahan mereka dulu.”, pinta kakakku tadi pagi sebelum berangkat kerja.

Sungguh, aku malas sekali. Tahu begini aku tidak akan jadi pulang. Tapi apa boleh buat. Lagipula bagaimana kalau nanti ketika aku menikah aku membutuhkannya? Ah, adik macam apa aku ini. Tak bisa barang sekali saja tidak egois.

“Ada lagi selain itu?”

“Nggak. Itu saja kok. Makasih ya. Nanti aku belikan wafer roll deh.” Kata kakak sambil tersenyum lebar melangkah ke teras.

Semenit kemudian setelah memanaskan mesin motornya, ia berangkat. Huh, memangnya aku anak umur berapa? Disogok dengan wafer roll. Kakak macam apa dia itu. Aku melihat air muka ibu yang masam. Ah, sudah pasti dia malas mendengar segala urusan kakak dengan bapak yang akan aku tangani. Sejak dulu Ibu memang tidak suka kami berhubungan dengan Bapak. Kalau ketahuan saling berkirim SMS, Ibu biasanya akan bilang, “Ganti nomor saja.” atau “Bilanglah sama Bapakmu biar jangan menghubungi kalian lagi. Untuk apa? Dulu diabaikan, sekarang dicari.”

Kebiasaan Bapak minum terlalu banyak berpengaruh besar terhadap perilakunya kepada Ibu, kakak, dan aku juga. Ibu menjadi buah bibir tetangga. Kami dulu tinggal di kampung. Tentu kau tahu sendiri bagaimana dinamika masyarakat pinggiran kota. Kakakku sampai malu berangkat TPA karena disana dia akan mendengar pula kalimat semacam, “Kemarin aku lihat Bapaknya teler di gang depan sana.”

Kakak bahkan pernah memalingkan muka dan pura-pura tidak kenal dengan bapak. Usianya baru lima tahun waktu itu, pulang dari TPA, bertemu bapak di jembatan, ia lari sampai ke rumah. Bapak bingung. Dengan aku, bapak tidak terlalu dekat. Apalah yang diingat anak umur tiga tahun yang terpisah dari bapaknya? Aku hanya ingat Bapak sering membelikanku roti kacang, yang murahan itu, yang kadang bagian atas atau bawahnya agak gosong. Setelah Bapak dan Ibu bercerai pun, Bapak sering membelikanku jam tangan dan memberiku uang yang besar jumlahnya untuk ukuran anak SD. Maka aku sayang saja padanya.

Tapi kata Ibu, aku dulu tidak diakui sebagai anaknya Bapak. Seringkali Ibu berkata, “Ibu tahu kamu orangnya gampang nelangsa, sensitif. Iya, kan? Mungkin gara-gara waktu ibu hamil kamu, batin ibu tersiksa terus, tapi ditahan. Kamu tahu? Ibu baru sadar mengandungmu ketika kamu sudah hampir empat bulan di rahim ini. Dan ketika ibu  memberitakan kehamilan itu, bukannya bapakmu itu senang. Malah dia bilang ‘Kamu yakin itu anakku?’. Bayangkan Ca! Bayangkan! Lelaki macam apa yang tega mengatakan itu kepada istri yang sedang mengandung anaknya, yang selama ini juga turut bekerja banting tulang karena suaminya itu banyak duit tapi kerjanya mabuk saja? Ya, bapakmu itu, Ca!

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Editor’s picks

Karena itu Ibu selalu panas hati jika melihat kalian bertemu dia.” Tentu saja aku tidak tega pada ibuku. Dan setengah hati aku mengiyakan juga perkatannya. Kenapa pula aku masih sayang dengan laki-laki yang tidak mengakui aku sebagai anaknya dulu? Kadang aku kasihan juga pada ibu. Wajahku mirip Mbah Putri dari pihak bapak. Aku takut sekali wajahku ini mengingatkannya pada luka masa lalu. Tapi mau berbuat apa? Operasi plastik aku tidak mau. Untuk apa pula? Ah itu tidak penting.

Siang itu juga aku bertemu dengan bapak di kota untuk mengurus surat-surat administrasi pernikahan yang kubilang tadi. Niatku hanyalah bertemu di rumah mbah, lalu pergi ke kantor ini-itu, lalu pulang. Ternyata bapak mengajakku ke rumah barunya. Rumah yang ditempatinya bersama istri baru dan anak-anaknya. Kedua anaknya laki-laki. Yang sulung kelas dua SMP, adiknya kelas tiga SD. Terakhir kali aku bertemu mereka, yang bungsu baru berumur empat tahun.

Bobi, anak bungsu itu, tampan seperti Bapak. Matanya belo, hidungnya mancung. Dulu waktu dia masih kecil, aku mau memangkunya. Tapi lihatlah kelakuannya sekarang ini. Pulang sekolah, ia minta dibelikan jajan oleh ibunya. Padahal ibunya itu berjualan lotek dan jajan di depan rumah. Apa yang dipikirkan anak itu?

“Pak, seragam sekolahku mana yang kemarin di sini?” teriak Bobi sambil menunjuk lemari di kamarnya.

“Nggak tahu lah. Coba tanya Mamah. Mah, seragam Bobi dimana? Memangnya kenapa Bob? Paling juga sedang dicuci.” Jawab Bapak bergantian sambil bertanya ke istrinya.

“Kemarin ada duitku tiga ribu, Pak. Mau buat beli jajan.” Anak itu mulai merajuk. Aku muak. Beruntung kamu punya Bapak untuk merengek, dasar bocah tidak tahu diuntung.

Eh, eh, apa yang barusan dilakukannya? Saat itu aku duduk di sofa tamu. Di depanku ada satu meja dan di sisi satunya Bapak duduk di kursi kecil yang lebih cocok diduduki Bobi. Setelah ribut-ribut tak jelas akibat uang tiga ribu tadi (yang akhirnya diganti oleh Mamah dan Bapaknya lalu ternyata seragamnya ada di gantungan pintu kamar), ia keluar hendak beli jajan dengan teman atau sepupunya, entahlah. Dengan enaknya ia menoyor kepala Bapak sambil berjalan melewatinya.

Demi Tuhan! Umurnya baru delapan atau sembilan tahun, kurang ajarnya sudah seperti itu? Dan kenapa Bapak diam saja? Ulu hatiku rasanya seperti baru ditonjok. Antara kasihan kepada Bapak dan ingin menampar pipi anak kecil itu. Ingin kukatakan padanya, “Heh. Kamu sudah untung punya Bapak. Kepingin mainan tinggal minta. Kepingin jajan tinggal minta. Mau naik bianglala tinggal bilang Bapak. Delapan belas tahun aku ingin melakukan itu! Tapi aku tak punya Bapak. Bapakku sudah jadi Bapakmu dan Bapakmu saja. Aku tak punya bagian. Lain kali pikirkanlah itu sebelum bertindak kurang ajar pada Bapak!”

Adegan itu akan menjadi kenyataan kalau satu sisi otakku tidak berpikir hal lain. Sisi otak yang sebagian itu memberitahuku bahwa ini adalah karma yang didapatkan Bapak atas apa yang telah dilakukannya kepada Ibu, kakak, dan aku. Sebab itu aku diam saja melihat kekurangajaran Bobi. Aku tidak ingat, tapi mungkin waktu itu aku hanya melongo. Antara berharap Bapak melakukan pembelaan diri dari sikap anak kurang ajar itu atau barangkali Bapak akan berkata hal itu sudah biasa. Tapi nyatanya kedua kemungkinan itu tidak terjadi.

Bapak memang memanggil Bobi. “Hei, Bob. Bapak titip roti, ya. Belilah yang agak mahal. Yang dua ribuan atau tiga ribuan. Beli tiga. Kamu mau? Kalau mau, beli empat. Bapak lagi kepingin roti yang enak. Terima kasih, ya.” Katanya sambil mengeluarkan beberapa lembar uang dua ribuan.

Lagi-lagi ulu hatiku tertonjok. Keras. Sampai mual rasanya. Dan aku teringat semua roti yang pernah kumakan. Di rumah, di kampus, di kost, di mall, di festival jajanan, di mana-mana. Lalu aku teringat semua merk roti yang pernah kumakan. Ramona, Swiss Bakery, Breadtalk, Dunkin Donuts dan J.Co (kalau itu termasuk jenis roti), Sari Roti, segala jenis pastry dan roti-roti di pasar organik untuk vegetarian, bolu pisang di kedai kopi, apple crumble, apple pie, croissant, segala macam roti homemade, semuanya. Lalu aku teringat harga-harga roti yang kumakan itu. Paling murah 3.500. itu yang aku tidak ingat apa merknya dan hanya kubeli di minimarket yang buka 24 jam ketika aku benar-benar lapar tapi malas juga untuk memasak mie instan.

Aku kadang membenci Bapak, tapi sejak saat itu hingga sekarang, sudah lima tahun lamanya, tak pernah sekalipun aku beli roti, apalagi memakannya. Tak peduli dapat parcel, snack seminar, apapun, kalau ada rotinya, kuberikan pada orang lain atau terpaksa kubuang kalau tak ada yang mau. Seberapapun jahatnya Bapak, seberapapun bencinya aku padanya, tidak akan dapat kutelan barang secuil roti tanpa berpikir, “Apakah Bapak pernah merasakan roti seperti ini? Yang adonannya lembut, yang aroma pisangnya menyeruak dari plastik pembungkusnya, yang keluar dari oven masih hangat langsung disajikan?” Tidak. Bapak tidak pernah merasakannya. Sebab itu, tak akan lagi aku makan roti.

Chandra Wulan Photo Writer Chandra Wulan

hai!

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya